Part 16

17K 1.2K 121
                                    

Menit demi menit berlalu, tetapi selama itu mulut Rigel tetap terkunci. Lidahnya terlalu kelu dan otaknya seakan tumpul. Di depan pria itu, Binar masih menatapnya---menunggu jawaban dari dirinya. Namun, pria itu masih menunjukkan reaksi yang sama---bergeming---hingga akhirnya seulas senyum kecil terlihat di bibir ranum istrinya bersama helaan napas kasar.

Binar mengangguk dengan bibir yang masih memperlihatkan seulas senyum, meski sebenarnya jauh di lubuk hatinya ada rasa sakit yang menjalar akibat disayat sebilah pedang tajam. "Aku mengerti." Setelah mengucapkannya, ia meraih kruk dan beranjak. Namun, baru saja ia beranjak, pergelangan tangannya ditarik Rigel hingga membuatnya terduduk kembali.

Selama beberapa detik kedua mata Rigel dan Binar saling beradu. Selama beberapa detik itu pula hanya hening yang menemani keduanya. Sampai akhirnya pria itu meraih tangan kiri istrinya, menggenggamnya erat tanpa melepaskan tatapannya yang mengunci.

"Kau bukanlah bunga yang jika layu bisa diganti dengan bunga lainnya." Akhirnya, setelah sekian lama menunggu, Rigel berbicara juga. Namun jawaban itu sama sekali tak membuat Binar puas.

"Jawab saja," ketus Binar.

"Jika kau diibaratkan dengan setangkai bunga, maka yang akan aku lakukan adalah menempatkanmu di tempat yang selalu bisa dijangkau penglihatanku agar aku bisa memandangmu selama mungkin. Selama menanti batas waktu yang dengan kejamnya akan merebut kebersaamaan kita, aku juga akan merawatmu sebaik mungkin agar ketika aku harus menyaksikan bagaimana kelopakmu layu, jatuh, dan mati secara perlahan bersama goresan yang setiap detiknya membuatku teriris pedih, meninggalkanku dengan tetes darah tak kasat mata, setidaknya aku telah berusaha memberikan yang terbaik untukmu." Rigel menghela napas panjang sejenak seraya mengeratkan genggamannya. "Jika kau berpikir setelah kematianmu aku akan mengganti vas yang kau tempati dengan bunga yang baru, maka kau salah, karena tak ada yang bisa mengganti posisimu sekalipun jutaan bunga yang dikirimkan untukku sangat mirip denganmu."

Binar tertawa kecil. "Itu mustahil. Kakak butuh bunga untuk mengisi kekosongan vas Kakak, dalam arti ... Kakak butuh seseorang yang mengisi kekosongan hati Kakak."

"Siapa bilang aku punya vas kosong? Kau tahu, vas itu telah kukubur bersama tangkaimu yang mengering. Jika kau tanya kenapa, itu karena aku tak ingin kembali menyaksikan kematian dan merasakan kepedihan akibat kehilangan." Melihat dahi Binar yang mengerut, Rigel tersenyum seraya menyelipkan helai rambut istrinya ke belakang telinga. "Raga memang bisa mati, tapi segala kenangan dan cinta akan selalu hidup. Tak perlu mencari pengganti, karena melihat fotomu, itu lebih dari sekadar cukup membuatku merasa kalau dalam diam kau berada di sisiku dan memerhatikanku."

Jujur, hati Binar sedikit menghangat mendengar penuturan Rigel. Tapi, di sisi lain entah mengapa ia tak melihat ketulusan yang dipancarkan manik coklat gelap suaminya? Jelas ia melihat luka di manik coklat gelap itu, tapi luka itu seperti bukan tertuju padanya. Jika ditelisik, sorot itu hadir karena kehilangan, bukan karena perumpaan ia yang menjadi bunga yang mati, tapi karena kehilangan bunga pertama yang menempati vas suaminya. Bunga itu, siapa lagi kalau bukan Naresha? Ah, benarkah seperti itu atau itu hanya pikiran negatifnya saja? Ah ... kata-kata manis yang tadi suaminya lontarkan kini bagai sebuah kopi yang diseduh dengan gula---manis yang meninggalkan pahit.

Tiba-tiba Binar tergelak, mencoba mengalihkan pikirannya. "Oh Tuhan ... apa yang kita bicarakan? Kita berbicara seolah Kakak akan menyaksikan kematianku atau aku akan pergi jauh. Aku jadi takut," ucapnya sambil bergidik.

"Aku juga. So, jangan pernah coba-coba meninggalkanku," sahut Rigel, sementara itu Binar tidak mengangguk ataupun menggeleng. Wanita itu lebih memilih membuang pandangannya pada buket mawar putih yang berada di atas pangkuannya seraya menyembunyikan wajah sendu.

"Jika aku mati dalam kecelakaan itu, masihkah Kakak bisa berkata seperti itu?" Perlahan ia mendongak, kemudian melempar seulas senyum getir. "Seharusnya kematian itu adalah berita baik, karena itu berarti tak ada lagi penghalang di antara Kakak dan Kak Naresha. Kalian bisa kembali lagi bersama."

Rigel tertegun. Kembali, lidahnya menjadi kelu. Benarkah kematian Binar adalah yang terbaik untuknya? Kehilangan Naresha memang meninggalkan luka, tapi lihatlah sampai saat ini ia masih bisa baik-baik saja. Ia tidak yakin kalau ia akan baik-baik saja jika harus kehilangan Binar, wanita yang sudah dikenalnya bahkan sejak wanita itu masih berada dalam kandungan ibunya.

Di tengah keterpakuannya, Rigel merasa sebuah usapan lembut di dadanya. Ia tersadar dan menatap si pelaku. Kini, ia merasakan usapan itu berganti dengan jari yang menunjuk-nunjuk dadanya.

"Semanis apa pun bibir berbicara, hati takkan pernah bisa berdusta. Jangan pernah membohongi perasaan Kakak sendiri," ucap Binar seraya menghentikan telunjuknya. Sungguh, diamnya Rigel membuat batinnya semakin tersayat. Di saat ia mengusap dada suaminya pun ia tak merasa debaran kencang pertanda cinta untuknya. Ia lebih merasa irama jatung tak beraturan yang timbul karena ... patah hati. Itu berarti perkiraannya tadi benar, suaminya hanya berkata manis. Mungkin niatnya untuk menyenangkan hatinya, tapi ia tidak butuh itu. Baginya, kejujuran pahit lebih baik daripada kebohongan manis.

Binar beranjak tanpa membawa buket mawar putih miliknya. Tak ia indahkan cekalan suaminya. Berulang kali ia tepis. Menarik kakinya agar sesegera mungkin ia bisa bersembunyi di suatu tempat untuk menumpahkan air mata yang sedari tadi ditahannya. Sudah cukup! Rigel benar-benar membuatnya merasa sebatas pelarian karena pria itu sedang patah hati.

Lelah mendapat tepisan, Rigel memeluk Binar dari belakang hingga membuat langkah wanita itu terhenti. "Aku takkan bisa menghapus masa lalu. Aku juga tak bisa mengubah fakta kalau hatiku pernah menjadi milik Naresha. Tapi, please ... percayalah, semua itu bisa berubah, termasuk pemilik hati ini." Ia melepaskan pelukannya, memutar tubuh Binar agar menatapnya, kemudian duduk dengan satu kaki yang ditekuk. "Mari membangun cinta!" ajaknya seraya mengulurkan sebelah tangannya, berharap agar sang istri menyambutnya.

.
.
.
TBC

Ya Allah, berapa lama aku menghilang dr peradaban?
Aku tuh habis melaksanakan tugas negara yang menguras pikiran, tenaga, waktu, dan juga ... hati di tengah kondisi tubuh yg drop. So, ttp jadi penyemangatku, ya. 😢

Entahlah ... aku sepertinya akan pensiun dini dr dunia orange ini.

Berandai-andai yuk! Kira-kira, apa yang dirasakan bebeb Rigel kalau ...

Binar mati/pergi

Naresha kembali

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang