Pelan, Rigel---pengusaha muda nan tampan itu---membuka pintu kamarnya yang berada di rumah orangtuanya dengan perasaan takut membangunkan sang istri yang sudah terlelap dengan damai. Ya, sejak kematian sang ayah, ia dan Binar memutuskan untuk menemani sang mama sementara waktu.
Lelah tampak kentara di wajah Rigel. Ia menarik dasi yang terasa mencekiknya seharian ini sambil menarik kaki ke arah sang istri. Setelah sampai, ia duduk si sisi ranjang, tersenyum kecil sambil mengusap lembut surai kecoklaatan istrinya yang sedang tertidur dalam posisi miring membelakanginya. Menghentikan usapan, sejenak kepalanya berpaling sambil menutup mata dan mengembuskan napas berat. Perkataan dokter sungguh menghantui pikirannya, belum lagi fakta-fakta yang harus ia selidiki. Membuka mata, ia lantas kembali memberi usapan di kepala sang istri. Setelah itu, lama sekali ia mendaratkan bibir di surai kecoklatan itu sampai suara isakan menghentikannya.
"Jangan ... hiks ... jangan pergi ...." Igauan Binar membuat Rigel mengernyit.
Dibaliknya posisi Binar oleh Rigel, hingga pria itu sedikit tersentak kala melihat jejak keringat dingin membasahi dahi dan jejak air mata membasahi pipi wanita hamil itu.
"Sayang ... hei, bangun ...," lirih Rigel. Tangannya sedikit mengguncang lengan sang istri.
"Jangan ...." Pekikan yang diikuti menegaknya tubuh Binar membuat Rigel hampir terperanjat. Kedua mata sayu itu terbuka sempurna diikuti napas yang kian memburu.
Rigel menyentuh pundak Binar seraya berkata, "Sayang ...."
Binar menoleh ke arah samping. Dengan cepat wanita hamil itu menyeka jejak basah di pipi. Menarik telapak tangan Rigel dan mencium punggung tangan suaminya itu dengan hormat. Setelah selesai, ia menatap sang suami seraya melemparkan senyum lembut seolah tak terjadi apa-apa.
"Kakak sudah pulang?" Pertanyaan retoris itu meluncur sebagai basa-basi.
Rigel mengangguk, kemudian satu tangannya menyelipkan surai coklat sang istri ke belakang daun telinga. "Mimpi buruk, hmm?" tanyanya yang dibalas sebuah anggukan.
Binar mengalihkan pandangan ke arah mesin penunjuk waktu yang menempel di dinding. Sudah pukul satu malam. Tumben sekali suaminya pulang selarut ini.
"Kenapa pulangnya malam?" tanya Binar yang malah dijawab kekehan Rigel.
"Merindukanku, hmm?" goda Rigel sambil menjawil hidung Binar.
Binar mencebik kesal. Namun, wanita itu kembali memokuskan pandangan pada wajah lelah suaminya. Perlahan tangan halusnya terulur menyusuri kantung hitam Rigel. Kendati barusan suaminya terkekeh, ia dapat melihat dengan jelas suaminya sedang menyimpan beban berat.
"Sudah makan?" Melihat Rigel yang menggangguk, Binar kembali bertanya, "Emm ... mau aku pijat? Kakak pasti lelah." Kali ini, suaminya membalas dengan sebuah gelengan.
Rigel tersenyum kecil kala mengagumi perhatian sang istri. Tiba-tiba saja, rasa bersalah atas masa lalu kembali menyeruak ke permukaan. Ya Tuhan, ia sungguh berdosa karena telah menyia-nyiakan wanita sebaik istrinya.
"Tidurlah, aku mau bersih-bersih dan ganti baju dulu," ucap Rigel. Mengecup dahi sekilas, lantas ia pergi ke kamar mandi.
Setelah sekian menit berlalu, calon ayah itu sudah kembali dengan penampilan yang lebih segar. Rigel lantas menaiki ranjang dan duduk di samping sang istri. Rupanya, wanita itu tidak menurut. Bukannya tidur, malah menunggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Kill My Baby
RomanceBinar bersimpuh dengan kesepuluh jarinya yang saling bertaut di depan dada. "Bunuh aku," lirihnya bersama bulir-bulir kepahitan yang membasahi wajahnya. "Tidak sekarang, aku masih ingin bermain-main denganmu," bisik Rigel di telinga Binar dengan pos...