WARNING 21+!
Vote dulu sebelum membaca
.
.
.Malam ini kembali Rigel mengajak bermalam di villa dan saat ini Binar tengah mematut wajah di depan cermin. Rencananya Rigel akan mengajaknya makan malam di luar, maka dari itu selepas sholat Isya mereka bersiap-siap. Namun, di saat keduanya tengah berjalan menuju pintu utama, suara-suara yang mengusik indra pendengaran membuat mereka menghentikan langkah.
Tangan kiri Rigel menghalau tubuh Binar, sedangkan jari telunjuk tangan kirinya disimpan di depan bibir sambil mengeluarkan desisan kecil. "Apa kau dengar?" tanyanya disusul sebuah anggukan dari Binar dan bunyi nyaring seperti benda jatuh, membuat Binar segera melingkarkan tangan di lengannya.
"Sebaiknya kau tunggu di sini, aku akan memeriksa dulu," ucap Rigel seraya melepas tangan Binar yang melingkar di lengannya.
Binar menggeleng---enggan ditinggal Rigel. Ia pun kembali melingkarkan tangan di lengan Rigel. Kali ini semakin erat. "Aku ikut."
Alis Rigel bertaut, lantas bibirnya menyeringai seakan mengejek. "Kau takut?" Refleks Binar segera mendorong tubuhnya, membuat ia terkekeh geli. Lantas ia mendekatkan bibirnya ke telinga sang istri lalu berbisik, "Orang bilang arwah orang yang bunuh diri akan bergentayangan."
Sore tadi ada warga desa yang ditemukan meninggal bunuh diri di dalam kamar, entah apa penyebabnya. Namun demi Tuhan, bukan karena ia takut pada makhluk tak kasat mata yang konon bergentayangan karena kematiannya tidak diterima, tetapi ia takut pada gerombolan penjahat yang bisa saja mencelakainya dan sang suami.
"Aku lebih takut pada manusia, daripada makhluk tak kasat mata," ungkap Binar. "Dengan kondisi kakiku yang seperti ini, bagaimana caranya aku menyelamatkan diri dari penjahat?" imbuhnya disusul bunyi yang memekik.
"Semua akan baik-baik saja," sahut Rigel. Pria itu sama sekali tak mengindahkan rengekan Binar, malah memilih berlalu dari hadapan sang istri.
Berdecak kesal, Binar pasrah dan memilih menunggu di ruang tengah seraya menggerutu dalam hati, karena lagi-lagi Rigel menyuruh para pekerja pulang lebih awal, bahkan petugas keamanan yang memang tinggal di luar villa pun dipulangkan.
Menit demi menit bergulir, tetapi Rigel tak kunjung kembali. Beberapa untaian doa terucap di bibir Binar. Setidaknya itu bisa mengobati sedikit kegelisahan yang melanda. Namun, seluruh lampu yang tiba-tiba mati membuat suasana berubah mencekam dan dahinya mulai bersimbah peluh terutama saat erangan Rigel terdengar keras.
Binar beranjak, mengeluarkan ponsel dari dalam tas, kemudian menyalakan senter dari ponselnya. "Kak ...," panggilnya, tetapi tak ada sahutan dari Rigel. Ia pun menarik kaki dengan tertatih, mengikuti gerasak-gerusuk suara yang terdengar seperti sedang baku hantam. "Kak!" panggilnya lagi. Demi Tuhan, detak jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya sedikit bergetar, apalagi ketika ia seperti melihat bayangan hitam melintas dengan cepat.
"Bi---nar!" Jeritan susah payah Rigel terdengar lagi.
Pupil Binar seketika membesar, ia pun semakin mengerahkan tenaga menarik kakinya yang terseok menuju sumber suara. Kini ia sudah berada di belakang villa. Dalam kegelapan mermodalkan cahaya senter, matanya beredar mencari sosok yang berusaha ingin ia selamatkan dari para penjahat, tak memedulikan dirinya yang sebenarnya diselimuti ketakutan.
"Kak Ri---" Ucapan Binar pun terhenti kala seseorang membekap mulutnya dari belakang. Dengan gerakan sekejap mata orang itu sudah merampas ponselnya, memanggul tubuhnya di pundak dan membawanya entah ke mana. Ia hanya bisa berteriak sambil memukul punggung orang itu sekuat tenaga. Tuhan ... tolong selamatkan aku dan suamiku, doanya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Kill My Baby
RomanceBinar bersimpuh dengan kesepuluh jarinya yang saling bertaut di depan dada. "Bunuh aku," lirihnya bersama bulir-bulir kepahitan yang membasahi wajahnya. "Tidak sekarang, aku masih ingin bermain-main denganmu," bisik Rigel di telinga Binar dengan pos...