Part 26

17.9K 1K 175
                                    

Vote dulu sebelum membaca

Happy reading!

.
.
.

Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, terhitung satu bulan sudah setelah malam di mana Rigel dan Binar memutuskan untuk menjadi suami-istri sungguhan. Kini tak ada lagi benteng es yang menjulang kokoh membatasi keduanya. Musim salju telah berganti menjadi musim semi yang menebarkan kehangatan. Selama sebulan ini pula, Rigel benar-benar berubah. Perhatian, kasih sayang, dan tatapan memuja terlihat dari sikapnya. Pria itu juga senantiasa memanjakan sang istri dan memperlakukan bagai seorang ratu. Namun, jangan lupakan sikap posesif pria itu. Tingkat keposesifannya kini naik berkali-kali lipat. Terkadang hal itu membuat Binar muak. Untunglah, Xavier tak terlihat batang hidungnya. Pria itu benar-benar menjaga jarak. Ah ... ralat, menjaga hati juga.

Dalam keheningan malam Binar menggulirkan tubuhnya ke sana-sini, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tak kunjung juga berhasil. Seperti malam-malam sebelumnya, tengah malam begini perutnya selalu memanggil dan meminta diisi. Demi Tuhan, ia telah berusaha menahan lapar dan memejamkan matanya rapat-rapat, tapi bayangan sate ayam dan lontong menghantuinya, membuat lidahnya basah tak tahan ingin menyantap makanan khas orang Indonesia.

Binar mengubah posisi tidur menjadi duduk. Tangannya menggoyang-goyangkan bahu sang suaminya. "Kak, bangun."

Setelah beberapa menit Rigel tak kunjung juga membuka mata, malah mengubah posisi tidur hingga membelakangi Binar, membuat wanita bernetra cokelat terang itu menggigit bibirnya yang bergetar. Entah mengapa, melihat reaksi sang suami yang seperti itu membuat hatinya seperti tertusuk sebilah belati. Sial! Entah mengapa akhir-akhir ini ia begitu sensitif.

"Kak, bangun. Aku lapar. Temani aku beli sate." Binar tak menyerah. Ia terus membangunkan suaminya agar hasratnya terhadap daging tusuk yang dibakar itu tersalurkan.

Rigel melenguh pelan, dengan mata yang tetap terpejam ia berkata, "Besok saja oke. Aku ngantuk sekali."

"Tapi, Kak ...." Ucapan Binar menggantung saat mendengar dengkuran halus suaminya. Ia sadar, suaminya pasti sangat lelah setelah melakukan penerbangan panjang usai menangani mega proyek di Batam, terbukti sehabis sholat Isya, pria itu langsung terkapar di pulau mimpi, padahal biasanya sebelum tidur pria itu mengajaknya mengarungi lautan kenikmatan. Astaga, mengingat hal itu membuat pipinya merona. Memang, setelah malam itu suaminya seolah tak pernah puas menyentuhnya. Seminggu penuh mereka tinggal di villa untuk menjalani honeymoon yang ternyata telah direncanakan dengan matang oleh suaminya. Suaminya bahkan mengatakan kalau ia telah menjadi candunya.

Menghela napas kasar, Binar turun dari ranjang. Dengan kaki yang pergerakannya belum normal, ia melangkah mengambil sweater, dompet dan gawainya. Setelah itu, dengan perasaan dongkol ia memutuskan untuk keluar rumah. Tujuannya apa lagi selain memburu sate. Tak peduli Rigel menemaninya atau tidak.

Beberapa meter Binar bersusah payah berjalan tanpa kruk, rasanya ia ingin menjerit. Seandainya saja ia sudah bisa berjalan normal dan diperbolehkan mengendarai mobil, mungkin ia tidak akan susah payah seperti ini. Saat di pos keamanan cluster, Binar menemui dua security yang tengah berjaga.

"Maaf, Pak, bisa antar saya ke tukang sate depan?" tanya Binar.

Salah satu security mengernyit saat menatapnya. Namun sepersekian detik selanjutnya, security itu tersenyum. Melihat Binar di tengah malam begini bukanlah pemandangan aneh. Hampir tiap malam ia melihat wanita itu diantar sang suami---menggunakan mobil---keluar cluster dengan alasan mencari makan.

"Wah ... jadi malam ini adik bayi ngidam sate, ya, Bu?" Kedua alis Binar saling bertaut saat mendengar ucapan security ber-name tag Banyu.

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang