Part 29

18.8K 1.1K 1K
                                    

Astaghfirullah, butuh selama ini biar target voment terpenuhi. Sebegitu jelek n tak pantaskah cerita aku? Tapi, kenapa ttp dibaca? 😢😢😢

Makasih bgt buat yg udah ikhlas voment. Voment kalian adalah moodbooster-ku.

Part ini didedikasikan buat kakak-kakak syantiek n tamvan yang udh setia voment. 💕💕💕

Happy reading!

.
.
.

Waktu terus bergulir, tak terasa kini usia kandungan Binar sudah memasuki minggu ke-25. Banyak hal yang dialami wanita hamil itu. Bukan hanya berat badannya yang bertambah, seiring perutnya yang membuncit, tetapi semakin ke sini ia merasa kondisi tubuhnya menjadi lemah. Meski ngidamnya telah lenyap akhir trimester pertama, mual dan mutah yang dialaminya hingga kini masih melanda. Belum lagi sesekali ia merasa sakit di bagian atas perutnya, bahkan beberapa minggu ini pandangannya seringkali mengabur.

Bunyi antara gelas jatuh dan lantai yang beradu memekik ruangan. Rigel yang berniat ingin menghampiri sang istri untuk meminta dipasangkan dasi terlonjak kaget dan bergegas menuju dapur.

"Berhenti!" titah Rigel kala matanya menangkap sang istri yang hendak berjongkok untuk membersihkan serpihan kaca yang berserakan.

Satu tangan Rigel terulur ke depan, menandakan agar Binar menjauh dari serpihan gelas. Dengan hati-hati ia melangkah. Setelah itu, ia menyerahkan dasi kepada sang istri, mengambil kantung keresek di kabinet kitchen set, memasukan pecahan yang lebih besar ke dalam keresek, menyapu sisanya, membersihkan lantai dengan lap basah hingga bersih, lantas memasukkan lap itu ke dalam keresek tadi. Setelah memastikan lantai benar-benar bersih, barulah ia memapah sang istri untuk duduk di kursi makan.

"Maafkan kecerobohanku," lirih Binar seraya menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Rasa takut hinggap di hatinya, karena semakin ke sini fungsi indra penglihatannya semakin menurun dan ia takut hal itu akan semakin parah. Ia takut ke depannya, ia tak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai istri.

Rigel mendekati Binar dengan duduk di sebelah wanita itu, lalu memeluknya. Ia tahu istrinya bersedih. Hal itu terbukti karena selang beberapa menit kemudian, air mata jatuh mengenai punggung tangan istrinya.

"Hei, mengapa kau meminta maaf?" tanya Rigel lembut. Sesekali pria itu mengusap puncak kepala istrinya. Binar tak menjawab, calon ibu itu terus menunduk sambil menyeka pipinya yang basah. "Dengar, aku tidak mau melihatmu lagi bekerja. Aku tidak ingin kau kenapa-napa. Ingat, ada anak kita yang sedang tumbuh di sini," lanjutnya seraya mengusap perut Binar.

"Aku hanya ingin menyiapkan sarapan. Selama aku hamil, aku sudah tidak melayanimu lagi. Yang kulakukan hanya tidur dan bersantai. Aku merasa tidak berguna, lagi pula hari ini Bik Jum tidak datang," ungkap Binar parau.

Sejak kejadian beberapa bulan lalu di mana dokter menyarankan Binar untuk bedrest sementara waktu, Rigel benar-benar protektif. Pria itu melarang istrinya melakukan ini-itu dan hal itu berlangsung hingga detik ini, meski saat kontrol dokter memberi tahu kalau kondisi Binar mulai membaik. Pria itu dilanda kekhawatiran yang berlebih. Meski di sisi lain Binar bahagia karena cinta dan perhatian yang diberikan suaminya semakin besar, di sisi lain ia bagai burung yang terkurung dalam sangkar emas yang tak bisa ke mana-mana.

"Stt ... apa yang kau bicarakan? Kau adalah istri terbaik. Kau bukan pelayan yang harus selalu mengerjakan pekerjaan rumah. Kau melayaniku di atas ranjang, itu sudah jauh lebih cukup," sahut Rigel yang dibalas dengan pelototan tajam yang dilayangkan Binar. Dengan tampang polos ia lantas bertanya, "Kenapa?"

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang