Part 10

22.8K 1.3K 114
                                    

Degup jantung Rigel berdetak tidak karuan, hatinya tak sabar bertemu dengan sang pujaan hati yang dirindunya selama tiga minggu ini saat kaki panjangnya menyusuri lorong-lorong apartemen milik pujaan hatinya. Saat langkahnya terhenti tepat di depan pintu apartemen, ia menarik napas panjang, menutup mata selama beberapa detik, hingga kemudian mengembuskan napas perlahan seraya membuka mata. Ia hirup dalam-dalam aroma wangi yang menyeruak dari sebuket bunga mawar merah yang dibawanya. Bayang-bayang Naresha dengan senang hati menyambutnya, menyukai bunga yang dibawanya, dan mau memaafkan kesalahannya muncul dalam khayalannya.

Tapi, apakah khayalannya yang terwujud? Ah, ia tidak tahu mengingat gurat luka dan kecewa, serta marah yang ditampakkan wanita itu sebelum memutuskan pergi meninggalkannya. Sekarang ia pesimis, meski begitu ia akan tetap berusaha memadamkan amarah dan mendapatkan maaf pujaan hatinya.

Jari telunjuk Rigel menekan bel pintu apatemen Naresha. Selama beberapa menit pintu itu belum terbuka. Pikirannya mencoba positif, barangkali pujaan hatinya sedang tidur atau sedang di kamar mandi. Sial, ia tidak punya nomor kontak wanitanya yang baru. Wanitanya? Hmm ... memang benar 'kan kalau wanita itu adalah miliknya? Dan ia tak sabar mengubah status wanitanya menjadi istrinya. Arghh ... ia menggeram kesal. Satu tahun terasa begitu lama baginya. Lehernya terasa tercekik, menimbulkan napas yang tercekat di tenggorokan. Naresha adalah separuh napasnya, ketiadaan wanita itu sama dengan kehilangan separuh napasnya.

Berulang kali Rigel menekan bel dan berulang kali pula yang ia dapatkan hanya kebisuan dari pintu. Ia mendesah kecewa, tapi sejurus kemudian ia merutuki kebodohan dirinya. Bukankah ia tahu password kamar apatemen Naresha? Mengapa ia tidak buka saja apartemen itu secara langsung? Jika ternyata wanita itu tidak ada, itu tak mengapa. Ia akan menunggu dan ketika wanita itu datang, ia akan bersembunyi lalu mengagetkan wanita itu.

Di saat jemari besar Rigel hendak memasukkan password apartemen Naresha, pintu akhirnya perlahan terbuka, membuatnya batal memasukkan password kamar wanita itu. Seulas senyum lebar membingkai wajah tampannya. Dengan cepat ia menaruh buket bunga di depan wajahnya hingga menutupi seluruh wajahnya. Satu detik, dua detik, ah ... ia sudah tidak sabar mendengar suara merdu pujaan hatinya.

"Chi sei?" Kalimat itu yang pertama kali Rigel dengar. Ia mengerti maksudnya. Orang yang kini di depannya sedang bertanya siapa kau? dalam bahasa Italia. Pertanyaan itu teramat wajar. Wajahnya tidak terlihat 'kan? Jadi siapa pun tidak bisa mengenalinya. Namun sayang, suara itu bukanlah suara pujaan hati yang ia rindukan melainkan suara berat khas seorang pria(?)

Rigel tak menjawab, lidahnya terlalu kelu untuk berkata. Dengan pelan ia turunkan buket bunga yang menghalangi wajahnya. Pupil kedua netra coklat gelapnya melebar saat benar saja, bukan Naresha yang sedang berada di hadapannya, melainkan seorang pria bule tampan yang sama sekali tak ia kenal. Tiba-tiba kecewa menyusup dalam relung hatinya, pikirannya pun bertanya-tanya tentang siapa pria bule itu.

"Siapa yang dat---" Ucapan Naresha terputus begitu saja seiring langkah kakinya yang seakan terpaku di tempat kala netranya menangkap sosok tegap pria yang dulu mengisi hatinya. Di depannya Rigel tak jauh berbeda dengannya. Ia bisa melihat keterkagetan dari pria itu saat kedua mata mereka bersirobok. "Rigel? Mau apa kau kemari?" Ia berkata dengan nada sebiasa mungkin.

Buket bunga mawar itu terlepas begitu saja dari pegangan Rigel, hingga akhirnya harus teronggok tak berdaya di lantai dengan beberapa kelopak yang gugur. Kakinya lemas seperti jeli, tapi sekuat tenaga ia tahan. Bukan hanya karena ia tak menyangka ada seorang pria yang berada di dalam apartemen wanita pujaannya, tetapi karena fokusnya pada bathrobe yang dikenakan Naresha dan helaian rambut basah seperti baru saja keramas tergerai indah.

Apa-apaan Naresha? Mengapa ia berani memakai pakaian itu di depan pria asing? batin Rigel berkecambuk bersama beberapa pikiran negatif.

Tak nyaman dengan suasana hening nan mencekam di sekitarnya, pria yang tadi membukakan pintu kamar apartemen Naresha berdeham, kemudian tersenyum ramah pada Rigel. "Oh, jadi kau orang Indonesia sama seperti kekasihku? Emm ... silakan masuk! Tapi maaf, ruangannya acak-acak. Ya ... biasalah." Seketika pikiran negatif yang sempat ingin dienyahkan Rigel semakin menyulut emosinya. Terbukti dari kedua tangannya yang terkepal kuat.

Don't Kill My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang