Semakin malam rupanya angin semakin giat membelai tubuh dengan suhu yang begitu rendah. Namun, berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan kedua sejoli yang masih bergelung saling memberikan kehangatan kala tubuh mereka saling memeluk di bawah selimut tebal.
Sayup-sayup adzan Subuh berkumandang, membangunkan setiap insan di dunia untuk segera menunaikan kewajibannya. Sebelum seruan itu berakhir, Rigel lebih dulu membuka mata dibanding sang istri. Hal yang dilakukannya setelah mengucap doa bangun tidur adalah menatap lama wajah Binar sementara jemari nakalnya mulai menyentuh setiap pahatan sempurna yang terlihat begitu cantik.
Binar melenguh pelan, bahkan menepis jemari Rigel saat merasakan kesan geli di wajahnya. Namun bukannya berhenti, Rigel semakin gencar memainkan jemarinya. Tak hanya area wajah, jemari nakal itu mulai turun menelusuri leher, punggung, dan berakhir dengan gelitikan di pinggang Binar.
Decakan kesal keluar bersama terbukanya kedua manik indah Binar. Wanita itu mencebikkan bibirnya dan mengubah posisi berbaring menjadi duduk. Dadanya bergemuruh. Perasaan tadi malam suaminya meminta maaf, tapi saat ini suaminya itu kembali membuat onar. Sepertinya, Rigel adalah tipe suami diberi hati minta jantung.
"Pagi, Tuan Putri," sapa Rigel seraya duduk di depan Binar dan memperlihatkan cengiran tak berdosa, membuat Binar menggeram kesal dalam hati dan malas menanggapi. Melihat kebisuan dan tatapan menghunus istrinya, pria itu lantas mencubit kedua pipi istrinya dengan gemas. "Uch ... lucunya wajah istriku."
Binar mendelik seraya menepis kasar tangan Rigel, tetapi bukannya marah, suaminya malah tertawa kecil. "Apa ini caramu membangunkan istri?" semburnya. Dengan polos Rigel mengangguk, membuat wanita itu semakin menggeram kesal. "Awas, minggir!" ketusnya seraya berusaha meraih kruk yang tergeletak di pojok depan agar ia bisa keluar dari tenda. Namun belum juga tangannya sampai meraih kruk, tubuhnya terjengkang saat sebuah tangan kekar menarik pergelangannya.
Binar menutup rapat kedua mata seraya merasakan debar yang berhenti karena sebuah tarikan mengejutkan. Ia sudah siap merasakan sakit yang ditimbulkan saat kepalanya beradu dengan tanah yang terhalang kasur lantai. Tapi, dalam sekian detik ia terbelalak saat merasa kepalanya mendarat di sebuah benda empuk. Mata itu semakin membelalak saat bibirnya terbuka hendak memrotes, dengan lancang suaminya menunduk dan mendaratkan bibir pria itu hingga beradu dengan bibirnya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan suaminya sejak awal menikah, bukan? Tapi tetap saja, hal itu membuat ia terlonjak dengan debaran yang bertalu-talu.
Setelah sekian detik, Rigel akhirnya bangkit. Ada perasaan kosong dan tidak rela sebenarnya saat ia menjauhkan bibirnya dari bibir ranum sang istri. "Sudah Subuh, sebaiknya kita sholat." Binar pun mengangguk dengan tampang bodoh, masih dalam keterkejutannya.
Begitu keluar dari tenda, kesunyian malam bertabur bintang dan jejak embun yang menempel di dedaunan menyambut Rigel dan Binar. Sepasang suami itu memutuskan untuk kembali ke kamar utama mereka yang berada di villa untuk menunaikan ibadah sholat. Setelah itu, Rigel tak mengajak Binar kembali tidur. Pria itu membawa istrinya menuju balkon. Dari balkon ini, selain bisa menatap pemandangan yang begitu menakjubkan karena villa itu tersendiri terletak di atas bukit, keduanya bisa menatap sang fajar yang mulai menyingsing dengan malu-malu dari balik gunung, menampilkan cahaya merah dan jingga keemasan.
"Kau tahu, sampai saat ini aku tidak tahu bintang di rasi mana yang dikatakan sebagai Auristella. Tapi menurutku, bintang emas itu adalah matahari. Bukan karena sama-sama memiliki semburat keemasan, tapi kau tahu kenapa?" Rigel menutup dengan sebuah pertanyaan, sedangkan yang ditanya hanya menjawab dengan gelengan.
"Dalam lambang Pancasila, bintang emas diartikan sebagai cahaya kerohanian bagi setiap manusia. Sama seperti matahari. Melalui pusat tata surya itu, Tuhan mengajarkan beberapa filosopi yang bisa diambil manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Kill My Baby
RomanceBinar bersimpuh dengan kesepuluh jarinya yang saling bertaut di depan dada. "Bunuh aku," lirihnya bersama bulir-bulir kepahitan yang membasahi wajahnya. "Tidak sekarang, aku masih ingin bermain-main denganmu," bisik Rigel di telinga Binar dengan pos...