Rama bermain di dekat taman. Ghiffar baru saja izin akan ke rumah Arsenal. Rama hanya sendirian. Berputar-putar dengan sepeda. Ia menikmati angin yang berembus. Menerbangkan rambut bagian depan. Membuatnya geli sendiri. Ia mengendalikan kemudi dengan tangan kiri. Tangan kanannya ia gunakan untuk merapikan rambut bagian depan. Kalau sang umi masih ada pasti beliau akan cerewet rambutnya telah panjang. Padahal panjang sekarang sangat wajar untuk anak seusianya. Tapi Zenda memang geregetan apabila melihat rambut panjang kembar atau Gravin. Ia selalu mengomel dan membuat jadwal potong rambut untuk ketiganya. Apalagi Gravin yang memang harus selalu rapi.
" Rama! " Rama berhenti mengayuh sepeda. Ia celingak celinguk mencari siapa yang memanggilnya. Arsenal melambaikan tangan kanannya. Ia menghampiri Rama dengan sepeda. Ghiffar menyusul di belakang.
" Kak Arsen, " Arsenal berhenti di samping Rama.
" Ko sendiri. Adikmu tadi ke rumahku. Gak ikut kenapa? " Rama nyengir.
" Gak apa kak. Masih pingin muter lapangan pakai sepeda, " Arsenal mengangguk. Ia meletakkan bekal di atas rumput.
" Balapan yuk dari sini sampai ujung yang menang dapat bekal itu paling banyak. Gimana? " Rama dan Ghiffar mengangguk semangat. Mereka bersiap dalam posisi.
" Siap? Kuhitung sampai 3 ya. "
" Siap! " Jawab Rama dan Ghiffar kompak.
" Satu... Dua... Tiga! " Ketiganya mengayuh sepeda dengan kecepatan penuh. Ghiffar sibuk berteriak. Ia tertinggal di belakang. Arsenal dan Rama memimpin di depan. Keduanya tertawa mendengar teriakan Ghiffar.
Doorr
Bruk
Rama terjatuh setelah kakinya tertembak. Darah keluar banyak. Arsenal melempar sepeda sembarangan. Ghiffar juga segera menghampiri sang abang. Rama meringis menahan perih. Sepeda masih menimpa kaki kirinya yang tidak terluka. Arsenal membantu menyingkirkan sepeda.
" Far cepat panggil paman-paman! " Ghiffar berlari menuju sepeda yang tadi ia geletakkan sembarangan. Ia mengayuhnya cepat. Arsenal merobek kaos yang ia pakai untuk menghentikan pendarahan Rama.
✌😁✌
Ghiffar menahan tangis. Ia ingin menangis tapi tidak bisa menangis sekarang. Bocah itu duduk dekat Arsenal dan sang mama. Wajahnya cemberut sedari tadi. Sang abi masih berada di luar untuk dinas. Nenek Laila memeluk Ghiffar setelah menemukan sang cucu yang sedang duduk. Ghiffar akhirnya menangis dalam pelukan neneknya.
" Suut. Cup. Cucu nenek jangan nangis. Abang pasti baik, ya? " Ghiffar mengangguk. Laila memangku cucunya. Rama masih berada di ruang operasi. Selama menunggu operasi Ghiffar diam. Ia sudah berhenti menangis. Berkali-kali Arsenal menawarkan ia makanan tapi Ghiffar menolak. Bocah itu terlihat sangat sedih. Ia menengok ke pintu ruang operasi. Berharap sang abang segera keluar dari ruangan itu.
✌😁✌
Ghiffar duduk di sofa dalam ruang perawatan Rama. Ia memeluk kakinya dengan kedua tangannya. Laila memegang semangkuk nasi dan daging bumbu. Ia akan menyuapi Ghiffar. Sedari tadi bocah kecil itu belum mau makan. Arsenal telah pulang dengan sang mama.
" Ghiffar soleh makan dulu ya. Nanti abang marah loh kalau Ghiffar gak makan, " Ghiffar menatap Laila.
" Abang marah? "
" Iya. Makanya makan ya sayang biar abang tambah sayang sama kamu. "
Ghiffar tidak mau disuapi. Ia makan sendiri sampai habis. Biasanya ia hanya memerlukan waktu 20 menit untuk makan. Tapi sekarang ia menghabiskan waktu 45 menit. Laila telah menyiapkan jus kesukaan cucunya itu. Ghiffar Segera meminum jus sampai tandas. Laila tersenyum. Ia mengelus puncak kepala Ghiffar. Kemudian menciumnya bertubi-tubi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Future Pedang Pora (Tamat)
General Fiction" Tapi yah. Aku gak mau. " "Kamu pikir ayah gak tahu kelakuan kamu, Zenda Aliksi Adimakayasa? " " Ayah kamu benar sayang. Kebetulan minggu depan abang kamu juga pulang. Jarang loh abang bisa pulang. " Kata bunda meyakinkan. "Ya udah terserah ayah sa...