Zenda sudah menyibukkan diri sejak pukul 11 di resto. Ia dibantu pegawai menutup resto khusus hari ini. Tapi ia telah mempersiapkan hidangan sebanyak 500 kotak nasi, 500 salad buah, dan 500 gelas teh. Semua hidangan harus siap dibagikan ke sejumlah kawasan pemukiman untuk yang membutuhkan. Ia juga telah menyewa 2 mobil pick up untuk mengantar hidangan ditambah dengan mobil Gravin.
Saat memasuki waktu dhuhur memberi mereka waktu istirahat. Zenda memasuki ruangannya. Memasuki pertengahan puasa bahkan hampir sepertiga ia sering merasa letih. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah atau ikut dalam acara pia ardhya garini.
Rama dan Ghiffar menyusul sang umi ke resto dengan nenek. Mereka banyak tersenyum karena pegawai Zenda menyapa keduanya. Bahkan ada yang meminta foto bersama. Ghiffar mengangguk semangat. Setelah berfoto mereka berjalan ke ruangan Zenda. Kembar berbisik-bisik. Laila hanya mengamati kedua cucunya yang sedang berbisik.
" Bang Ma jangan berisik ya. Pelan-pelan senyap, " Rama menunjukkan ibu jarinya tanda sip.
Mereka berjalan mengendap. Sebelum membuka kenop pintu mereka melepas sepatu dan menentengnya agar semakin senyap. Pikir kedua. Rama membuka kenop pintu perlahan agar tidak berbunyi. Mereka berjalan berjingkat. Rama dan Ghiffar meletakkan sepatu di dekat sofa. Laila langsung duduk di sofa.
Dug bruk
Zenda terperanjat. Ia sontak berdiri. Tadi ia berniat memejamkan matanya sejenak. Sang tersangka yang menyandung tempat sampah tengah berdebat dengan berbisik. Tidak menyadari jika uminya menatapnya. Zenda membiarkan kedua anaknya adu pendapat. Ia berjalan berjingkat dari sisi lain dari yang dilewati kedua anaknya. Menyalim Dan memeluk sang bunda yang duduk di sofa.
" Lucunya si kembar bun. Pingin ketawa. "
" Katanya mau jalan senyap sampai nih sepatunya aja dilepas. Eh malah berisik nabrak tempat sampah segala, " Laila menunjuk dua pasang sepatu yang tergeletak di samping sofa.
" Iya. Makanya aku ke sini aja. Kaget tadi bun. Untung gak ada isinya tempat sampahnya. "Rama dan Ghiffar yang selesai adu pendapat menatap kursi yang tadi diduduki Zenda kosong.
" Loh ko gak ada, " Mereka berbalik berniat menanyakan pada sang nenek.
" Nyari umi yah? " Zenda mengerlingkan mata kepada kedua anaknya. Ghiffar membentuk jarinya seperti pistol dengan ibu jari dan telunjuk.
" Dor! "
" Yah kena deh umi, " Zenda pura-pura terjatuh. Ia bersandar ke pundak sang bunda. Rama yang bertindak seperti petugas medis memeriksa tangan Zenda. Maksudnya menghitung denyut nadi. Tapi ia hanya memegangnya.
🙏🙏🙏
Zenda merendam kakinya pada air hangat. Gravin tidak di rumah. Ia sedang ada dinas luar kota. Kedua anaknya telah tidur lelap setelah pulang dari masjid. Zenda sangat lelah. Ia memijit tangannya dengan minyak. Biasanya ia sangat anti dengan minyak urut. Tidak ada yang bisa ia mintai bantuan sekarang. Ia hanya bertiga dengan kedua anak kembarnya.
Air mata perlahan menumpuk di pelupuk matanya. Akhirnya turun membasahi pipi. Dering ponsel membuatnya menyeka air mata.
Tertera nama sweet husband. Zenda mengangkat video call setelah ia mencuci mukanya terlebih dahulu. Ia tidak peduli jika setelah membasuh muka Gravin mematikan panggilan video call. Karena tadi pagi Gravin juga meneleponnya. Ia menyuruhnya agar ke rumah bunda atau ke rumah papa. Tapi Zenda tidak mau.
Lama hanya layar hitam yang muncul di ponselnya. Zenda menunggu sembari makan kukis coklat. Ia meletakkan ponsel agar berdiri di sisi stoples. Tak perlu ia untuk memegangnya.
" Assalamualaikum istriku, " Zenda menghentikan makan kukis. Ia menatap layar ponsel yang kini nampak wajah sang suami.
" Wa'alaikumussalam suamiku, " Gravin mengamati wajah istrinya. Beberapa hari terakhir ia tidak dapat melihatnya secara langsung. Hanya bisa melihat melalui layar kaca.
" Kamu habis nangis? "
" Tadi, " Zenda mengangguk.
" Kenapa? "
" Capai. Kemarin bantu masak buat acara pia. Ini lagi rendam kaki di air hangat. " Raut Zenda berubah sendu.
" Cuma itu? "
" Kan aku udah izin abang buat yang acara donasi nasi kotak, salad sama teh itu kan? Aku kan cuma ya berbagi aja gak niat pamer. Syukuran gitu bang. Tapi suara-suara itu kadang bikin sesak dada ini bang. Yang beginilah begitulah. Gak mau dengar tapi telingaku dengar bang. Apa sih gitu. Aku kan ya sadar bisa dibilang lebih muda dari yang lain. Aku gak pernah neko-neko. Ya sadarlah ini lingkungan apa. Banyak yang ngawasi tapi masih aja. Dari dulu pertama masuk sini loh bang. Aku tuh diam. Biar gak ada suara. Hobi banget, kelihatan polos banget kah aku? Tanding Yong Moo Do ajalah ya bang? Kan bagus daripada gede-gedean suara, " Zenda telah meneteskan kembali air matanya. Ia kesal setengah hidup. Bahkan sampai menggebrak meja makan. Stoples plastik yang berisi keripik di ujung meja terjatuh akibat gebrakan Zenda.
" Sabar atuh uminya kembar, istrinya Gravin, anaknya ayah Fardian Rasyad Adimakayasa, adiknya Bang Zerva Ghiffari Adimakayasa, " Gravin seperti mengipasi Zenda dari jauh. Zenda akhirnya menyapu keripik yang tumpah ke lantai.
" Bentar bang nyapu dulu. Tumpah nih, " Gravin mengangguk lalu tertawa. Kalau stoples yang jatuh stoples kaca ia pasti khawatir tidak akan tertawa seperti ini. Istrinya sangat lucu. Zenda duduk kembali setelah membereskan kekacauan kecil yang ia buat.
" Duh tumpah segala sih ya. "
" Haha kamu sih pakai tenaga dalam pakai acara gebrak meja. Kembar mana mi dah tidur ya? "
" Udah. Tadi diantar ustadz pulangnya. Eh dikasih coklat loh mereka sama pak ustadz. Aku taruh kulkas tadi. "
" Gak sepi mi cuma sama kembar doang? Kan enak di rumah bunda atau ke rumah papa. Biar gak sepi. Kasihan aku sama kamu kalau sendirian tahu. "
" Lebay abang mah. Gak papa lah. Aku gak mau repotin orang lain bang. Tar gak boleh ngapa-ngapain aku malah bosan. "
" Yaudah hati-hati pokonya ya. Udah dulu ini mau lanjut kegiatan lagi. "
" Siap! Semangat abang sayang 😘. "
🙏🙏🙏
" Rama Ghiffar... Rama Ghiffar, " Zenda membuka pintu.
" Tak Kira teman-temannya kembar Bibi Alvicha ternyata. Masuk Vich, " Alvicha duduk di kursi ruang tamu. Zenda agak sedikit heran melihat Alvicha membawa kantong keresek besar.
" Habis belanja lo? "
" Iya. Nitip masak dong Zen. Sekalian ajarin bikin kue. Mendekati lebaran nih ya. Kan buat mamer juga entar may gue kasih. "
" Lah. Ini lo beli bahan banyak banget. Mau dibuat semua? " Alvicha mengangguk polos. Zenda menepuk keningnya.
" Banyak banget gila lo. Mau bikin kue buat orang sekomplek apa lo? Kesambet apaan coba lo. "
" Kebanyakan? "
" Iya lah Alvicha sayang. Entar bahan-bahan yang kira-kira gak dibutuhin lo bawa pulang dah ya Vich. Gue pilih bahan yang mau dipakai, " Zenda memilah bahan-bahan di kantong keresek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Future Pedang Pora (Tamat)
General Fiction" Tapi yah. Aku gak mau. " "Kamu pikir ayah gak tahu kelakuan kamu, Zenda Aliksi Adimakayasa? " " Ayah kamu benar sayang. Kebetulan minggu depan abang kamu juga pulang. Jarang loh abang bisa pulang. " Kata bunda meyakinkan. "Ya udah terserah ayah sa...