Zenda baru saja berniat pergi keluar. Ia sudah lama tidak mengunjungi resto. Mbak Hanis datang ke rumahnya. Ia menyuruh Zenda membantu memasak daun pepaya.
" Kamu lo, lama gak ikut kegiatan. Ini kuminta masak daun pepaya doang lo. "
" Maaf mbak. Saya bahkan belum pernah memasak daun pepaya. Kalau pahitnya tidak hilang bagaimana? Lalu bagaimana cara menghilangkan pahitnya? "
" Loh kamu itu kan chef. Berapa tahun buka resto tapi gak bisa masak daun pepaya. "
Zenda kembali ke dalam. Ia mengganti baju dengan yang kebih santai dan pergi ke rumah Mbak Hanis. Satu baskom penuh daun pepaya. Zenda mulai memotong agar ukurannya kecil. Tangannya sampai penuh getah pepaya. Ia mencuci ke dalam air mengalir sampai bersih.
Mbak Hanis telah merebus air dengan campuran daun jambu biji. Zenda memasukkan daun pepaya ke dalam air rebusan. Peluhnya menetes. Daun yang banyak membut sulit untuk diaduk. Daun pepaya dan daun jambu biji direbus dicampur garam. Zenda terus mengaduk sampai semua bisa terendam air rebusan.
Mbak Hanis memblender bumbu. Zenda mengangkat rebusan daun setelah matang. Ia meniriskan kemudian mencucinya kembali.
" Mbak Han bisa tolong gantiin sebentar. Mau ke toilet pingin muntah mbak, " Zenda berjalan cepat ke arah kamar mandi. Mbak Hanis hanya mengerucutkan bibirnya. Ia bahkan tidak beranjak dari duduknya. Lama Zenda tidak kembali. Mbak Hanis semakin sebal. Ia menyusul ke kamar mandi. Suara gemericik air terdengar. Ia mengentuk pintu kamar mandi.
" Lama ngapain sih? " Zenda membuka pintu dengan pelan. Wajahnya pucat. Ia sangat lemas. Ia jatuh menimpa Mbak Hanis yang ada di depannya. Mbak Hanis sempat oleng tapi ia segera menyangga. Maira yang memanggil Mbak Hanis tidak ada sahutan masuk. Ia menemukan Zenda yang menimpa Mbak Hanis. Ia membantu membawa Zenda ke karpet di ruang TV.
" Kok pingsan? "
" Siap tidak tahu. Tadi izin ke kamar mandi. Karena lama kususul eh pingsan. "
" Punya minyak kayu putih? Biar kutelepon si Gravin. "
🙏🙏🙏
Gravin membawa Zenda yang masih belum sadarkan diri ke rumah. Ia membaringkan pelan ke tempat tidur. Rendi memasuki kamar keduanya.
" Vin, dicari kapten, " Gravin menghela napasnya kasar. Ia tidak bisa menelepon siapapun saat ini untuk menemani istrinya. Ia mengecup kening Zenda lama kemudian memenuhi panggilan kapten. Rama dan Ghiffar yang baru pulang sibuk memanggil uminya. Ia dari taman bacaan anak-anak dengan nenek. Nenek dan kembar masuk ke rumah. Pintu depan tidak terkunci. Keadaan dalam rumah sepi. Ia mencari Zenda.
" Assalamualaikum. Ze... Dimana? Gak ada sih, " Ia telah membuka pintu kamar depan dan melongok ke ruang makan juga tidak ada. Ia membuka pintu kamar yang satu. Mendapati Zenda tertidur. Ia ingin bertanya. Terdapat selang infus di tangannya. Gravin menyempatkan memasang infus. Ia keluar kamar. Memcari tas di ponselnya.
Suara panggilan tak terjawab. Ia beralih menelepon suaminya karena Gravin tidak mengangkatnya.
" Assalamualaikum, ada apa bu? "
" Wa'alaikumussalam pak. Ke rumah Gravin lah sekarang. Darurat cepat ya, " Pak Tope segera memenuhi perintah istrinya. Ia mengambil kunci mobil dan mengendarainya menuju rumah Gravin.🙏🙏🙏
" Assalamualaikum bu, " Bu Dian keluar menyambut suaminya. Ia mencium punggung tangannya dan menjawab Salam.
" Zenda sakit. Sendirian kalau ibu gak ke sini siapa rawat coba? Gravin, anak itu gak bisa dihubungi juga, " Bu Dian sibuk mengomel. Ia bahkan lupa mempersilakan suaminya masuk ke rumah. Tak lama motor Gravin sampai di depan rumah. Ia buru-buru masuk tanpa melepas helm dan tengok kiri kanan. Alhasil menabrak ayahnya sendiri. Ia menatap ke arah orang yang ditabraknya dan meringis kecil. Bu Dian menjewer telinga Gravin. Ia sudah kesal setengah hidup. Rama dan Ghiffar keluar setelah mendengar suara ribut. Keduanya baru asik tiduran berputar-putar di kasur. Membuat sprei dan bantal telah terlempar ke lantai. Mereka tidak jadi keluar. Hanya berdiri di ambang pintu. Menatap abi mereka yang telinganya sedang dijewer.
" Bang ko abi dijewer yah? " Ghiffar berbisik di telinga Rama.
" Gak tahu, " Suara rintihan kecil menghentikan aktivitas. Gravin berlari ke arah kamar. Kembar hanya memandang abi, kakek dan neneknya yang berurutan masuk ke kamar umi.
" Apa yang sakit? " Zenda menggeleng. Perutnya sangat lapar. Tapi tubuhnya benar-benar lemas.
🙏🙏🙏
" Bi Far sama abang main yah? " Ghiffar meminta izin. Namun, ia telah membawa sepedanya juga ke dalam rumah.
" Main ke mana? " Gravin bertanya setelah mengusap tangan pada serbet. Ia baru saja selesai mencuci gelas dan piring.
" Lapangan sama Paman Rezi ya bi? " Gravin mengecup pipi Rama dan Ghiffar. Ia mengacak rambut keduanya dan mengangguk. Rama dan Ghiffar keluar membawa sepedanya masing-masing. Gravin yang baru akan duduk membatalkan niatnya. Ia melihat lantai banyak terdapat tanah kering membentuk pola seperti ban sepeda. Ia mengambil sapu ijuk menyapunya sampai bersih. Mengambil air untuk mengepel lantai.
" Wah rajin kali kau Vin, " Gravin menoleh mendapati kapten Hanis berdiri di depan pintu.
" Siap. Iya bang tadi kotor Kali lah. Anak-anak bawa sepeda sampai dalam. Masuk Bang masih basah lantainya nih bang, " Kapten Hanis hanya tertawa. Ia duduk di kursi teras. Gravin segera menyelesaikan dengan cepat. Ia tidak ingin Hanis menunggu terlalu lama. Ia juga membawa makanan ringan dan minuman. Mempersilakan Hanis mencicipi.
" Wah jan luar biasa kali, " Gravin tersenyum canggung. Ia meletakkan nampan ke kolong meja.
" Iya bang. Bantu istriku lah sakit dia. Padahal gak pernah sakit. Oh ya ada apa bang sampai singgah ke rumah adikmu ini? "
🙏🙏🙏
Rezi telah menunggu si kembar Rama dan Ghiffar di lapangan. Ia bersender di pohon beringin. Ia melihat kembar memakai sepeda. Ghiffar berteriak kencang. Ia menyuruh sang abang memelankan laju sepeda. Ia juga mempercepat laju sepeda. Pada saat yang sama Rama sudah memelankan laju sepeda. Ghiffar yang masih dengan kecepatan tinggi tidak mengerem.
Ia terjungkal dan masuk ke selokan. Beruntung selokan kering tidak berair. Sepedanya melintang di selokan.
" Dik! " Rama berseru panik. Ia segera menghampiri adiknya. Rambut Ghiffar berantakan dan ada rumput-rumput yang menempel. Tangannya baret-baret terluka.
Rezi menggendong Ghiffar ke atas dan membawa sepeda ke dekat sepeda Rama.
" Duh ponakan paman. Jangan ngebut makanya kan nyemplung selokan. Mau nangis? " Ghiffar memeluk Rama. Ia menyembunyikan wajah yang akan mengeluarkan tangis. Rezi gemas. Ia membersihkan rumput-rumput yang menempel pada rambut dan baju Ghiffar.
" Hei Far. Lihat dong masak paman dicuekin sih. Gak jadi main nanti loh, " Rezi juga mengambil tas raket mengambil raket di dalamnya. Ia mengambil tangan kanan Ghiffar yang mencengkram baju Rama. Membuatnya memegang raket.
Ghiffar melepas pelukan. Ia mengusap air mata dengan tangannya.
" Raket bang. Ayo main badminton, " Ghiffar berlari ke lapangan bulu tangkis. Rama dan Rezi mengikutinya. Rezi mengambil shuttlecock.
" Nah kan masih belajar di sini aja ya. Yang gak ada netnya. Nanti kalau udah bisa baru deh pakai lapangan sungguhan. "
" Net apa? "
" Net ini nih yang seperti jaring-jaring. Tingginya 1,55 m, " Rama dan Ghiffar mengangguk melihat net. Rezi mengajari teknik memukul shuttlecock. Ghiffar sebal ia masih belum bisa memukul shuttlecock seperti Rezi. Ia hanya dapat memukul angin. Shuttlecock jatuh tanpa sempat dipukul. Ia akhirnya melempar raket.
Rezi tertawa lebar. Melihat Ghiffar melempar raket dan duduk di lapangan. Ia menghampiri Ghiffar.
" Kenapa capai ya? " Ia pura-pura tidak tahu jika anak itu belum bisa memukul shuttlecock dengan benar.
" Susah mukulnya. Sebal, " Rama juga ikut duduk. Rezi mengambil air minum gelasan dan memberi keduanya. Baju Ghiffar basah setelah minum dengan rakus. Rezi mengantar keduanya pulang. Mereka naik sepeda ia berjalan dengan menenteng tas raket dan tempat shuttlecock
" Lah dari mana sih? " Gravin bertanya penasaran.
" Latihan bulu tangkis bang. Tapi tadi Ghiffar jatuh terjun ke selokan jadi kotor dan lecet, " Ghiffar hanya nyengir. Ia lega sang paman tidak bercerita jika ia menangis tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Future Pedang Pora (Tamat)
Ficção Geral" Tapi yah. Aku gak mau. " "Kamu pikir ayah gak tahu kelakuan kamu, Zenda Aliksi Adimakayasa? " " Ayah kamu benar sayang. Kebetulan minggu depan abang kamu juga pulang. Jarang loh abang bisa pulang. " Kata bunda meyakinkan. "Ya udah terserah ayah sa...