.
.Secangkir teh diletakkan Jungkook di atas piring kecilnya. Aroma bunga menelusuk ke dalam indra penciuman pangeran tersebut. Memberikan sejuta ketenangan yang menimang secara cuma-cuma.
Dalam terpejamnya kedua mata beriris sekelam malam tersebut, senyuman Jungkook terukir seperti bulan sabit di waktu persinggahan jingga. Menjadi semburat biru yang menggoda mata, memanjakan siapapun yang menjadikannya sebagai tempat mengadu.
Bahkan ketika raganya terjun bebas seperti daun di musim gugur, hingga saat murung menguap kian danau memberang, Jungkook tetap melalui kepergian yang kini mengombak semesta.
Bahkan dirinya tak mengerti, untuk apa dia tersenyum seiring dengan wajah Taehyung yang melintas di fikirannya? Bukankah Taehyung hanyalah teman yang baru dikenalnya minggu lalu?
Seolah sedang mengemis kepastian akan ketetapan, Jungkook gelisah dan lagi-lagi dia tak tahu apa penyebabnya.
.
Tadi dokter istana mau mengganti kain itu dan mengobati luka Jungkook. Namun pangeran itu tak mau. Dia justru kabur dan disinilah dia sekarang.
.
Matanya terbuka, menampilkan bola mata indah ciptaan Tuhan yang kini membekas akan rasa tak keruan. Menatap kain dengan pola ciptaan Taehyung, telah membuat degup jantungnya membabi-buta.
Bagaimana telatennya nelayan itu saat mengobati Jungkook, bagaimana khawatirnya dia saat melihat darah pangerannya tersebut, tanpa peduli tangannya yang juga terluka.
Dan bolehkah Jungkook kembali tersenyum? Disaat wajah Taehyung yang tengah tertawa dengan mulut penuh daging ikan tadi,, telah membekas penuh pada relung hatinya. Begitu manis dan tetap tampan.
"Apa aku menyukainya? Tapi kan kita sama-sama lelaki. Jika tidak, kenapa aku terus memikirkannya?" Dan Jungkook kembali tertawa malu saat dalam hati, dia memuji betapa indahnya sosok pemuda Kim terlebih saat dia berkeringat dan dengan rambutnya yang acak-acakan.
"Kau memang tampan. Dan sepertinya, aku mulai menyukaimu."
Mari katakan Jungkook gila karena terus tertawa serta tersenyum di dalam kamar mandi. Semoga dia baik-baik saja sampai besok.
.
.
.
.
Taehyung menutup pintu rumahnya perlahan. Mendapati sang adik yang tertidur pulas di sofa. Pemuda itu tersenyum.
Taehyung memasuki kamarnya, merebahkan tubuh yang terasa lelah hari ini. Penat yang meraja, seolah memperbudak Taehyung yang tak berdaya.
Dengan mata yang terpejam, sebuah senyum terukir dengan indahnya. Mengusir seluruh keresahan yang mengobang-ambing dirinya diatas lagit jingga. Mengadu pada lembayung yang kian merapuh, juga pada bunga yang kian mengembang.
Taehyung tak mengerti, ada apa dengan dirinya sehingga malam ini dia begitu mudah tersenyum. Menerangi kamar gelapnya dengan separuh bulan yang meminta untuk dilihat.
Dan wajah Jungkook terbentuk dibalik layar kelopak matanya. Membuat bulan itu semakin benderang. Taehyung sadar, bahwa sesuatu yang salah sedang mengocok fikirannya.
"Jungkook." Satu kata yang terlontar, lalu Taehyung menutup wajahnya. Dia tertawa, entah untuk apa.
Taehyung bersikap seperti biasa lagi. Matanya menerawang pada gambar sayap di langit-langit kamarnya.
"Jungkook tertawa begitu lepas, seperti tak ada beban dalam fikirannya. Aku menyukai dirinya yang seperti itu. Tak membedakan tinggi rendahnya kasta. Dan dia sangat manis." Senyum tak henti tersungging di bibirnya.
"Tampan dan gagah." Tiga kata itu terlontar begitu saja dari mulut Taehyung. Pemuda itu menggeleng, mengenyahkan fikiran tersebut dan fokus pada hal positif.
"Apa aku menyukainya?" Dan saat Jungkook berbicara dengan mulut penuh siang tadi, cukup sukses membuat Taehyung tertawa. Meski dia sadar, bahwa perkataan Jungkook itu tak ada unsur lucunya sama sekali.
Dia menatap luka di kedua tangannya. Sama dengan luka Jungkook. Gara-gara menangkap ikan besar. "Sepertinya benar. Bahwa aku mulai menyukaimu." Dan Taehyung kembali tersenyum beriring dengan matanya yang mulai terpejam.
_________________
So, nextJangan lupa vomment karena satu vote dari kalian sangat berharga buat aku sendiri. Dan ngevote itu gampang kan? Kalian juga bisa jawab.
-14y-
KAMU SEDANG MEMBACA
My Prince-[kth×jjk] [END]
Fanfiction[Completed] "Disini, saat sungai mengalir beriring dengan ikan di dalamnya, kau dan aku saling bertatap. Hingga segalanya mulai merunyam sandiwara tanpa jejak." Salahkah jika seorang nelayan sederhana mulai mencintai pangerannya? Baginya, cinta tak...