.
.
Sejauh apapun air matanya mengalir, sekencang apapun teriakan kesengsaraannya, itu percuma, toh waktu tak akan kembali berputar untuk dia menarik kembali perkataannya.
Nelayan Kim tidak pernah tanggung-tanggung dalam mengerjakan atau melangsungkan sesuatu. Dia egois. Hanya karena ingin cinta Jungkook cukup menjadi miliknya. Dia tak mengerti kendati pangeran itu yang akan segera mengemban tanggungjawab sebagai raja. Tapi bagi hatinya, apa salah jika dia menginginkan satu cinta dalam hidupnya?
Mungkin jawabannya tidak. Namun dalam kondisi apa hal itu terjadi.
Taehyung sudah tidak menangis lagi. Dia yakin bahwa dirinya kuat. Dia membuka gulungan undangan yang tadi Jungkook beri padanya. Disana tertulis banyak huruf yang tak dapat Taehyung mengerti satu pun.
"Dan aku ingin mengundangmu ke acara penobatan itu. Gulungan surat ini adalah undangan resmi kerajaan. Aku sendiri yang membuatnya."
Tak tahu mengapa, sudut bibir si yatim piatu tertarik kala dia kembali mengingat betapa khusus perlakuan Jungkook padanya. Akan tetapi senyuman itu kembali redup disaat dia mengingat bahwa dirinya sendiri yang menyebabkan kekacauan ini.
Tidak, mungkin ketamakan mereka berdua.
Jemari Taehyung mengusap permukaan undangan yang terbuat dari kulit hewan tersebut. Ranum kembali bergerak getir. Sebelum dia mengatakan suatu pesan yang mungkin tak akan pernah dia sesali dalam hidupnya.
"Aku berharap yang terbaik untukmu. Tuhan tahu apa yang akan dia perbuat selanjutnya. Dan jika aku tak lancang, aku hanya berdoa agar kita dapat bersama suatu saat nanti."
Dia tutup wajahnya dengan surat kerajaan itu, menyembunyikan ratapan penuh sesal dan keegoisan dari jiwa tak tahu diri itu.
Setidaknya, Taehyung dapat kembali melakukan pekerjaan rutinnya tanpa ada beban fikiran lagi. Tanpa ada hasrat. Tapi dia yakin jika rindu tak mungkin bisa dia bendung. Tak akan bisa.
Taehyung kemudian berjalan. Sebisa mungkin dia tak menoleh ke belakang. Karena mendiang ibunya pernah berkata, "Jika kau meninggalkan suatu tempat, jangan pernah berbalik. Itu dilakukan supaya hatimu tak terbebani lagi."
Tangannya kembali menghapus jejak air mata di pipi halusnya. Dan akhirnya dia berjalan tanpa pernah berbalik kembali.
.
.
.
Hal yang biasa dilakukan Jungkook ketika stress adalah merendam tubuhnya, latihan bersenjata, ataupun berkuda mengelilingi halaman istana.
Sebagian orang pasti tak mengerti isi fikiran Jungkook. Karena anehnya, si pangeran memilih mandi dulu untuk kemudian latihan dimana tubuhnya akan kembali berpeluh banyak.
Dan itu yang dia lakukan sekarang. Tangannya begitu lincah menggerakkan pedang untuk menangkis serangan dari lawan latihannya. Matanya menyiratkan amarah, rahangnya terlihat kaku, dan bibirnya terlihat sedikit bergetar.
Bahkan yang melawan Jungkook saat ini sampai perlu kehati-hatian ekstra karena calon rajanya terus menyerang dirinya tanpa henti. Jungkook tak pernah terlihat sekalap ini. Sampai akhirnya salah seorang pelatih tua menghentikan permainan tersebut.
"Aku melihat kemarahan di matamu, Pangeran. Melakukan latihan perang dengan emosi tinggi itu tak akan baik untuk hatimu. Aku sarankan kau beristirahat sekarang." Tanpa balasan, Jungkook menancapkan pedang itu di tanah, lalu pergi dengan cara jalannya yang angkuh.
.
.
"Sial, bajingan, tai kuda!" Umpat Jungkook diatas Hoseok. Kuda itu berlari dengan sangat kencang. Menelusuri jalanan di samping halaman istana dengan tuan marah diatas punggungnya.
Jungkook terus menggumamkan nama yang membuat hatinya hancur sejak kemarin. Tangannya mencengkram tali kendali dengan kuat, bahkan urat di lengannya sampai nampak jelas.
Hal itu pasti terlihat seksi di mata para pelayan wanita.
Entah ini bencana atau memang kesialan yang menimpanya tanpa henti, Hoseok tiba-tiba tergelincir dan otomatis membuat Jungkook terpental jauh darinya.
Jungkook mendarat indah dengan telapak tangan dahulu yang sampai ke tanah berbatu itu. Bibirnya mengeluarkan ringisan ketika perih seketika merajam bagian tangannya. Keadaan Jungkook tak baik. Kedua telapak tangannya berdarah banyak, pakaian bagian lututnya sobek, juga kulit kaki si pangeran yang juga ikut cedera.
Banyak orang kemudian menghampiri pemuda tersebut. Mereka membopong pangerannya untuk dibawa ke dokter istana.
Ringisan tak henti terdengar kala dokter dengan telaten membersihkan juga mengoleskan luka ke tangannya. Tanpa dirasa, air mata Jungkook turun saat seseorang membalut tangan kekarnya itu dengan kain. Namun ingatan Jungkook melayang pada satu hari.
"Astaga, Jungkook. Tanganmu berdarah."
Taehyung menurunkan bakulnya, meraih kain yang diikatkan di pinggangnya, lalu merobek kain itu cukup besar.
"Kemarikan tanganmu." Jungkook diam, dan memberikan tangannya dengan ragu.
Dan detik itu pula matanya seolah berhenti memproduksi air. Berganti tatapan kosong, pemuda itu hanya membiarkan orang tersebut melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Tidak, hatinya tak lagi sakit. Jungkook menampik jika dia kembali merasa berang seperti kemarin.
Setelah pengobatan selesai, dengan tertatih, Jungkook melangkah untuk menuju kamarnya. Persetan dengan kata-kata 'waspada' atau 'awas' yang dilontarkan orang sekitar. Jungkook hanya perlu istirahat dan melupakan sejenak semuanya.
Dia hanya berharap bahwa sang ayah tak akan memperbesar masalah yang baru saja menimpa dirinya. Ya, kali ini Jungkook hanya perlu sendiri.
Tidur sejenak mungkin pilihan yang bagus.
__________________
Vomment don't forget-14y-
KAMU SEDANG MEMBACA
My Prince-[kth×jjk] [END]
Fanfiction[Completed] "Disini, saat sungai mengalir beriring dengan ikan di dalamnya, kau dan aku saling bertatap. Hingga segalanya mulai merunyam sandiwara tanpa jejak." Salahkah jika seorang nelayan sederhana mulai mencintai pangerannya? Baginya, cinta tak...