-14-

3.2K 427 22
                                    

"Jika kau mau tinggal berdua bersamaku di rumah sederhana di samping sungai. Tanpa gangguan."

.

.

Jantung Jungkook seakan berhenti berdetak. Matanya masih terfokus untuk menatap sang pujaan. Tidak, si pujaan yang membuat harapannya jatuh dan hancur tak bersisa. Nafas getir berembus lirih dari kedua bilah bibirnya. Entahlah. Yang Jungkook perlihatkan kali ini hanyalah tatapan dalam penuh sendu.

Taehyung juga sama. Diam. Tubuhnya bergetar kendati hati yang tak menyangka ucapan egois itu muncul dari mulutnya. Taehyung egois. Teramat egois hingga dia dapat mendengarkan kekecewaan Jungkook yang kini bak punya suara. Suasana tak seromantis drama tadi. Yang ada hanyalah suara angin lalu yang sedikit mengacaukan surai hitam Jungkook. Pangerannya.

"Kau... Tidak salahkah kau meminta itu tadi?" Jungkook berbicara lirih, sarat akan keputus asaan.

Hati Taehyung menjerit sakit. Benar-benar sakit. Namun dia tak dapat menarik ucapannya. Dia tak memungkiri jika dirinya sangat ingin bersatu dengan Jungkook. Dan apa salahnya ketika dia ingin merasakan ketenangan terhadap cinta yang dia rasakan? Mencintai Jungkook sepenuhnya. Hidup bersama tanpa ancaman apapun.

Dan kenapa takdir rasanya begitu bengis? Disaat waktu hampir membuat Taehyung bahagia, disaat harapan sudah sempurna tercapai, perbedaan kasta membuat semuanya kacau.

Mata Taehyung memejam dengan tekad terbulatkan. Dia tak bisa menjalani semua tawaran Jungkook. Dia tak mau jika kehormatan pujaannya harus hancur hanya karena nelayan tak tahu diri sepertinya.

"Iya. Hanya itu yang dapat dilakukan agar kita bisa bersama." Taehyung kini merasa tak peduli kalaupun Tuhan mengutuk keegoisannya. Dia tak boleh labil. Kedua orang tua Kim telah mendidiknya agar menjadi pemuda tangguh nan kuat.

"Sebegitu takutkah kau terhadap orang banyak, Taehyung? Hingga kau tak memikirkan nasibku."

"Aku jauh memikirkanmu, Jungkook. Sebaik apapun kita menyembunyikan hubungan kita, semua orang pasti akan tahu yang sebenarnya. Dan nasibmu akan jauh lebih buruk jika itu terjadi." Jungkook menautkan kedua alisnya. Fikirannya benar-benar kacau.

"Tak maukah kau hidup bahagia bersama orang yang kau cintai?"

"Aku mau. Tentu saja. Tapi tradisi dan ketetapan menghalangi itu semua, Jungkook. Hanya dua pilihan, kau mengikuti permintaanku, atau kita lupakan saja bahwa kita pernah saling mengenal." Nafas Jungkook seketika memburu. Bukan, bukan karena emosi. Hanya saja dia merasa kecewa dan marah semarah-marahnya terhadap takdir. Bagaimana bisa kata dengan enam huruf itu mempermainkan hidupnya?

"Kau egois, Taehyung."

"Katakanlah aku egois. Tapi memang itu yang terbaik untuk kita, Jungkook. Aku tak akan memaksa kau untuk menerimanya."

"Karena memang aku tak akan menerima permintaanmu." Hati Taehyung bagai tertusuk trisula dewa Siwa. Amat sakit dan tak menyangka akan hal itu. Yang dapat dia lakukan hanya kembali menoleh pada si pangeran.

"Kau pun tahu jika bulan depan aku akan dinobatkan sebagai raja. Dan aku akan memegang kekuasaan penuh atas seluruh rakyatku. Aku tidak dapat mengorbankan ribuan orang hanya demi satu orang." Jungkook menarik nafasnya dalam.

Ya Tuhan, bisakah Taehyung menarik ucapannya? Bisakah Tuhan mengubah takdir secepat itu sehingga Taehyung dan Jungkook dapat bersama? Satu alpabet kemudian menjelajah pipi halus Taehyung.

Nada bicara Jungkook itu datar. Namun Taehyung dapat merasakan nafsu yang kentara dari nafas pangeran tersebut.

"Aku mengerti. Tapi apa salahnya ketika aku hanya ingin hidup berdua dengan orang yang aku cintai? Menikmati hidup tanpa gubrisan siapapun. Bekerja berdua untuk biaya sehari-hari. Aku hanya ingin itu." Jungkook meremat pakaian kebangsawanannya. Semua secara spontan merumit.

"Intinya kita sama-sama tamak, Taehyung." Yang disebut otomatis memutar kepalanya.

"Apa?" Lirih pemuda nelayan itu.

"Kita berdua tamak. Ketamakan akan ikan emas besar, telah membuat tangan kita berdarah. Dan ketamakan terhadap cinta, akan membuat hati kita berdarah." Perkataan Jungkook diakhiri isakan tertahan dari bibirnya. Dia tak memungkiri ketika hatinya teramat sakit saat dia mengucapkan kata-kata tersebut.

Taehyung diam seribu bahasa. Mendalami apa yang baru diucapkan calon pemimpinnya nanti. Dia beruntung, dapat dicintai manusia sempurna seperti Jungkook. Tapi lagi-lagi takdir mengubah segalanya, membuat keberuntungan itu tak memiliki harga.

"Kau benar, Tae. Kita tidak bisa bersama hanya karena perbedaan. Dan untuk itu, aku pamit. Selamat tinggal. Berhentilah terlihat begitu berang. Aku tahu, bagaimana kita dapat suka terhadap luka di hati kita? Kau perlu tahu, hatiku hanya berpihak padamu, Taehyungie. Percayalah. Jika Tuhan merestui, kita akan bersama bagaimana pun caranya." Air mata Jungkook jatuh tak tertahankan. Mungkin inilah saat terakhir dia dapat dekat dengan Taehyung.

Taehyung yang posisinya memang tidak menghadap Jungkook, mencoba untuk menyembunyikan kristal bening dari kelopak matanya. Taehyung merasakan hal yang sama. Namun ucapan Jungkook benar adanya.

Taehyung mengangguk, "Hati-hati dalam perjalanmu, Jungkook. Aku hanya berharap kau tak pernah melupakanku. Seburuk apapun diriku, nyatanya aku pernah hadir di hidupmu. Terima kasih karena telah memperlakukanku dengan spesial. Selamat tinggal, Pangeran Jungkook."

Dan yang jadi pilu adalah,,, ketika Taehyung tak mau lagi untuk sekedar menatap pujaan hatinya. Tidak, bukan dia tak mau. Hanya saja dia tak mau jika hatinya semakin nelangsa. Sudah cukup. Cukuplah ini menjadi hari terburuk kedua setelah dia kehilangan orang tuanya.

"Aku pergi." Jungkook tersenyum paksa dan langsung berbalik. Pangeran tampan itu menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan berat, sebelum kedua kakinya bergerak dan mulai menjauh dari pemuda nelayan disana.

Taehyung tak bergeming. "Iya, Pangeran." Dan biarlah dua kata terakhir itu sebagai cambukan paling menyakitkan yang pernah Jungkook rasakan dalam hidupnya.

Taehyung dapat merasakan suara langkah kaki yang semakin menjauh. Air matanya semakin deras membanjir. Bibirnya bergetar tak kuasa menahan isakan dengan pisau yang terus merajam ulu hatinya.

"Jungkook..."

Dan biarlah ini jadi kali terakhir lutut Taehyung terjerambah keatas bumi pertiwi. Dia tak sanggup lagi untuk berdiri. Tangan kanannya lagi-lagi memukuli dadanya yang terus terasa sakit. Dia sudah dewasa, namun dia masihlah seorang insan. Dapat merasakan duka mendalam di riwayat nafasnya.

"Mianhae, Jungkookie."
______________
Gatau mau ngomong apa...

-14y-

My Prince-[kth×jjk] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang