.
.
.
Tidak. Semua buruk. Tidak ada yang baik satupun. Sejak masa kepemimpinannya, Jungkook tak pernah merasa baik atau bahagia. Begini rasanya jadi raja. Dia mesti menerima begitu banyak laporan baru di setiap jamnya. Jungkook bahkan tak pernah bisa tidur siang.
Semuanya memburuk. Bulan-bulan awal Jungkook menjabat adalah saat keterpurukan kerajaan tiba. Dimana bencana terjadi di banyak titik di wilayah kerajaannya. Bencana itu adalah gempa bumi juga kekeringan yang melanda beberapa daerah lain. Tentu ini berpengaruh terhadap hasil alam juga keberlangsungan hidup rakyatnya.
Setiap jam bahkan satu jam bisa beberapa kali kepala daerah yang datang untuk meminta bantuan. Jungkook sungguh pusing mendengar semua ini. Kenapa begitu dia menjabat, semua masalah ini terus datang?
Ditambah sekarang juga Jungkook harus memikirkan bagaimana keadaan rakyatnya yang sakit. Astaga. Kenapa jadi raja begitu sulit. Ini baru beberapa bulan pertama. Meskipun kedua orangtuanya selalu membantu, tapi tetap, keputusan ada di tangannya. Apa yang akan dilakukan dan bagaimana alurnya, itu semua Jungkook yang memikirkan.
Tapi Jungkook sendiri masih terlalu muda untuk jadi seorang raja. Bahkan usianya belum mencapai 23 dan dia sudah harus dihadapkan dengan persoalan berat seperti ini.
Jungkook berada disini sekarang. Di kamarnya. Seorang diri. Dengan fikiran yang tidak bisa tenang. Perekonomian di kerajaannya sedang terancam dan jika dia tak bisa menyelesaikan masalah ini segera, maka bersiaplah untuk perselisihan yang terjadi diantara rakyatnya.
Dan dengan tidak etisnya, fikiran Jungkook selalu terganggu dengan pemuda itu. Disaat seperti ini, Taehyung selalu mengisi fikiran Jungkook dan itu membuat Jungkook semakin merasa tertekan. Jungkook tidak bisa memikirkan banyak hal berat sekaligus. "Jika begini caranya, aku bisa-bisa tua lebih cepat."
"Jungkook..." Itu sang ibu. Datang dengan membawa sepiring makanan. "Aku sarankan untuk menyimpan dulu laporan dari rakyat, ibu. Aku tak mau mendengarnya sekarang. Aku sulit istirahat."
Wanita itu tersenyum. Duduk diujung ranjang Jungkook, dan mengusap kaki putranya lembut. "Ibu kemari membawa makan. Kau belum makan dari siang. Tekanan ini pasti membuatmu kaget di awal masa jabatanmu. Nanti juga kau akan terbiasa."
"Apa dulu ayah mengalami hal yang sama di waktu awal dia menjadi raja?" Jungkook bertanya lirih.
"Tidak begitu awal. Tapi beberapa kali peristiwa seperti ini terjadi. Ayahmu sempat hampir menyerah karena waktu itu juga konflik terjadi diantara kerajaan ini dan kerajaan lain. Beruntunglah karena saat itu kau sudah lahir. Itu membuat ayahmu masih bersemangat."
"Tapi aku berbeda, Ibu. Aku tak sekuat ayah. Bisa dibilang jika aku masih menginginkan masa mudaku. Aku masih ingin bebas. Fikiranku belum sempurna matang." Jungkook memejamkan matanya kendati pusing kembali mendera kepalanya.
Sang ibu hanya diam. Menunduk sebab apa yang dikatakan oleh Jungkook benar adanya. Tapi apa yang mau dilakukan? Toh nasi sudah menjadi bubur. Kasihan juga jika melihat putranya seperti ini. Di kerajaan lain, pemuda seusia Jungkook masih dilatih kesiapannya dan masih bisa merasakan bebas. Namun kerajaan ini berbeda.
"Ibu mengerti betapa sulitnya posisimu saat ini. Tapi mau tidak mau kau harus menelan semua ini. Yang akan kau hadapi ke depannya bisa jadi lebih berat dari ini." Wanita itu mengusap rambut Jungkook dengan sayang. Berharap bahwa rasa resah anaknya dapat mereda.
"Sudah seminggu lebih aku menerima banyak laporan tapi aku belum bisa memberikan solusi satu pun. Aku... Aku memang raja yang tak bisa diandalkan."
"Ssttt jangan bicara seperti itu. Kau akan bisa. Ibu yakin itu."
Jungkook menutup wajahnya. Kemudian sesuatu mengagetkan wanita disana. Isakan Jungkook. Ya, Jungkook menangis dari balik tangannya.
"Jangan menangis, Jungkook." Wanita tersebut menarik sang anak ke dalam pelukannya. Jungkook menangis tersedu-sedu.
"Kenapa dunia seolah tak mau membiarkan aku bahagia, Ibu? Kenapa semua beban ditumpukkan di bahuku. Disaat satu masalah belum selesai, masalah lain sudah datang. Hiks... Kenapa semuanya begitu berat? Apa ini semua karma atas dosaku? Karma atas dosaku yang mencintai sesamaku?"
Entah kenapa sang ibu merasakan sakit di ulu hatinya. Jungkook belum pantas menerima ini semua. Tradisi memang kejam. "Sssttt, Sayang, sudah... Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri. Kau harus bisa menjalani semuanya, Jungkook."
"Kenapa ibu datang?"
"Apa?"
"Kenapa saat ayah menghukumku, ibu malah datang? Saat itu fikiranku sedang benar-benar kacau, Ibu. Aku fikir aku akan mati namun nyatanya tidak. Ibu datang dan menyelamatkanku. Kenapa?"
"Tidak, Jungkook. Memang belum waktunya kau untuk mati. Kau harus bisa menerima, Jungkook."
"Hatiku hancur sejak hari itu. Fikiranku selalu kacau. Disaat masalahku belum pergi, aku dinobatkan menjadi raja dan tiba-tiba kekeringan datang. Diriku yang kacau dibuat semakin kacau dengan itu. Aku tak mau, Ibu. Aku tak mau... Hiks..."
Ibu Jungkook diam. Dia akan membiarkan anaknya mengeluarkan semua keluh kesahnya.
"Jika menjadi raja sesulit ini, aku lebih memilih mengikuti pilihan Taehyung saat itu."
"Jangan pernah menyesal, Jungkook. Ini sudah menjadi kewajiban mu."
"Jika hidup sebagai orang sederhana jauh lebih membahagiakan, aku lebih memilih untuk jadi orang seperti Taehyung. Selalu merasakan bebas." Jungkook masih terisak.
Wanita itu menghembuskan nafasnya berat. "Jadi semua ini tentang Taehyung? Jadi kebahagiaanmu adalah tentang dirinya? Jawablah, Jungkook."
Jungkook tidak menjawab. Justru tangisannya semakin pilu. Dalam pelukan ibunya, Jungkook mengangguk pasti. Dia tak menampik sebesar apa kebenaran yang diucapkan sang ibu.
Jungkook menyerah. Jungkook menyerah pada cinta yang memperbudak dirinya dalam nafsu. Cintanya terhadap Taehyung sudah terlalu besar. Jungkook menyerah pada sepi yang kini mulai bersuara.
"Persetan akan cinta tak berperasaan tapi inilah yang aku rasakan, Ibu. Aku terus terjebak bersama Taehyung. Aku tak bisa melupakannya. Berusaha melupakan Taehyung adalah cara termudah untuk membuat hatiku semakin sakit. Aku rindu padanya, Ibu..."
"Lalu kenapa kau tidak mencoba menemuinya? Jika menemui Taehyung dapat mengobati hatimu, kenapa tidak kau lakukan?"
"Ibu... Bertemu dengan Taehyung hanya membuat aku semakin sakit. Tapi di satu sisi aku merindukannya. Ibu tahu? Saat penobatan beberapa bulan lalu, Taehyung datang kemari. Aku beberapa kali melihat ke arahnya." Sang ibu hanya diam terkejut. Mungkinkah??
"Dan yang membuat kau lupa terhadap kalimat sumpahmu..."
"Aku lupa sumpah itu karena aku menatap Taehyung."
"Dan apakah Taehyung adalah orang yang kau maksud dalam sumpahmu itu?"
"Iya, Ibu."
"Berarti kau sudah bersumpah atas cintamu terhadap Taehyung."
"Begitulah. Aku ingin menemuinya dan memeluknya. Hiks... Aku tak tahan dengan perasaan ini, Ibu."
"Tidak bisakah kau menemuinya untuk setengah hari saja? Katakan padanya bahwa kau tak pernah bisa melupakannya. Minimal biarkan hatimu tenang setelah mengatakan semuanya."
"Lalu bagaimana dengan kesulitan di kerajaan ini?"
"Hey... Kau tak akan pergi selamanya. Kau hanya pergi sehari. Itu tak akan apa-apa, Jungkook. Setelah kau berjumpa dengan Taehyung, kembalilah dan mulai fokus dengan rakyatmu."
Jungkook merasa bahwa apa yang dikatakan sang ibu benar adanya. Dia harus menemui Taehyung untuk minimal mengobati rasa rindu di hatinya.
"Kau benar, Ibu. Aku akan pergi ke rumahnya dan menemuinya. Kau memang terbaik, Ibu." Kemudian Jungkook kembali menangis tersedu di bahu wanita cantik itu.
Tak ada yang tahu, atau pun dapat mengira. Apa yang terjadi selanjutnya?
_________________
End bentar lagi-14y-
KAMU SEDANG MEMBACA
My Prince-[kth×jjk] [END]
Fanfiction[Completed] "Disini, saat sungai mengalir beriring dengan ikan di dalamnya, kau dan aku saling bertatap. Hingga segalanya mulai merunyam sandiwara tanpa jejak." Salahkah jika seorang nelayan sederhana mulai mencintai pangerannya? Baginya, cinta tak...