..
Sebuah petir di siang bolong merajalela atas pertanggungjawaban yang tak dapat diundur oleh siapapun. Hati Taehyung membeku. Jantungnya berpacu kuat seperti kuda di arena balap. Matanya seolah diciptakan untuk tidak berkedip barang sebentar saja. Sedangkan bibir ranumnya terasa kelu. Tak dapat berkata sepatah kata pun.
Rentangan jeda membawa beberapa helai bunga melintasi keduanya. Bahkan malaikat pun seolah menyaksikan mereka dari balik pelupuk gunung. Sunyi meledek mereka seperti kegelapan di ujung malam. Tak ada yang sadar, seakan kehidupan di bumi telah musnah.
Gesekan daun kering terhadap tanah menjadi lagu pengiring. Tak ada lagi kicauan burung romantis yang mendukung cerita romansa. Benar-benar seperti kutukan turun-temurun yang tak dapat dielakkan.
Lalu Jungkook, dia hanya bisa diam. Tangannya semakin kuat menggenggam jemari Taehyung. Jangan kira seberapa merah wajahnya kali ini. Matanya hanya sanggup menatap iris coklat Taehyung. Meski yang ditatap tak membalasnya.
Masa bodoh. Jungkook tak peduli dengan manusia yang mungkin akan segera muncul untuk mengacaukan suasana.
Hatinya menderit pilu saat dengan matanya, dia melihat kedua iris Taehyung menutup. Berganti wajah penuh rasa sakit. Jauh dari apa yang selama ini Jungkook lihat. Taehyung terluka.
Atau mungkin,, sang pujaan telah kecewa?
Tidak, Jungkook pastikan Taehyung tidaklah kecewa. Entah apa yang mendorongnya, namun Jungkook yakin akan hal itu. Kelopak mata itu kembali terbuka. Balik menatapnya dengan cermin yang seolah menuntut untuk segera pecah.
"Aku ingin kau mengulanginya, Jungkook. Aku harap telingaku rusak sehingga apa yang aku dengar tidaklah benar." Untuk kali ini, biarlah bilur menjadi cungkup dari hati Jungkook yang mendadak kehilangan keseimbangan, lalu jatuh dan pecah tak berbentuk.
Taehyung tak mengharapkannya?
Sebuah pengalihan terjadi dalam hitungan milidetik, kemudian kembali dalam bentuk semula. Jungkook menatap lurus mata Taehyung. Tak ada keraguan dari caranya melakukan hal tersebut.
Ini permintaan Taehyung. Perkataan yang tak bisa dia tolak. Permohonan rakyatnya. Atau,, pengharapan dari si perebut hati.
Maka saat itu juga, Jungkook meneguhkan tekadnya. Dia tersenyum meski benaknya berkata tidak.
"Kau tak memahaminya, Tae? Kau tak mendengarnya? Aku mencintaimu, Kim Taehyung. Apakah ucapanku kurang jelas sehingga kau meragukan itu?" Jungkook tersenyum pedih. Namun itu terkesan amat aneh untuk satu satunya Kim disana.
Taehyung terkekeh. Hampir terdengar seperti sebuah ejekan yang memojokkan Jungkook. Jungkooknya. Si pangeran terdiam. Menunggu kemungkinan apa lagi yang akan dilakukan sang nelayan setelah ini.
"Aku tak suka caramu bercanda, Jungkook. Atau justru kau mempermainkan kalimat itu?" Taehyung menyunggingkan bibirnya penuh tuntutan.
Jungkook membuang nafas dengan gundah. "Tolong tatap mataku. Carilah kebohongan disana, Taehyung. Kau tak akan menemukannya. Aku yakin itu. Aku yakin atas perasaanku. Kim Taehyung, aku sungguh mencintaimu. Maukah kau hidup denganku?"
Setetes air mata muncul dari balik kelopak lembutnya. "Ini tak mungkin, Jungkook. Kau dan aku sama-sama seorang pria. Dan aku tak mencin-"
"Hatimu bilang jika kau juga mencintaiku, Tae. Jujurlah pada perasaanmu." Potong Jungkook yang rasanya menyumbat nafas nelayan itu seketika.
"Apa yang kau katakan?! Aku memang menghormatimu karena kau seorang pangeran,, tapi bukan–"
"Apa kau mencintaiku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Prince-[kth×jjk] [END]
Fanfiction[Completed] "Disini, saat sungai mengalir beriring dengan ikan di dalamnya, kau dan aku saling bertatap. Hingga segalanya mulai merunyam sandiwara tanpa jejak." Salahkah jika seorang nelayan sederhana mulai mencintai pangerannya? Baginya, cinta tak...