.
.
.
Siang itu Jungkook bercerita. Membagi segala gundah gulana pada pemuda di hadapannya. Lewat cerita yang dia sampaikan, dia seolah meneriakkan, bahwa hidup memang terlalu penuh duka, terlalu nestapa. Akhirnya Jungkook terus bercerita. Melalui puluhan noktah air yang membasahi pipinya.
Lalu Taehyung hanya diam. Nampaknya, dia paham benar rasanya. Sebab sedari tadi pemuda itu hanya menatap ke dalam pusaran dia. Semuanya seperti disaat Taehyung asyik menatap alfabet di jendela, lalu seseorang itu datang.
Ya, seseorang yang amat berharga. Lebih berharga dari seluruh tambang emas di dunia.
Dia.
Pemuda yang Taehyung cinta.
Taehyung tak mau lagi kehilangan sosok ini. Tanpa sebab dia berteriak TIDAK!! dalam hatinya. Keduanya terdiam. Tanpa tangis, tanpa gelak. Taehyung memandang netra Jungkook dengan tatapan menilai, lalu tanpa aba-aba Jungkook pun terkulai.
"Kau benar-benar terlihat asing dengan rambut ini. Tunggu, ini bukan sungguhan?" Taehyung menyentuh janggut di pipi Jungkook.
Mantan pangeran itu terkekeh, kemudian mengangguk. "Tentu saja ini palsu. Rambut sulit untuk tumbuh di wajahku." Kemudian pemuda bergigi kelinci itu melepas penyamarannya dan tersenyum lebih lebar.
Kemudian Taehyung tergelak. Bukan karena terhibur namun karena dia merasa kalah telak. Ya... Kalah terhadap apa yang dia sendiri rencanakan. Buktinya hatinya tak pernah baik setelah dia berpisah dengan Jungkook.
Wajah Jungkook sama tampannya seperti saat terakhir Taehyung melihat Jungkook. Saat penobatan. Dan kini orang itu benar-benar hadir di hadapannya. Masih hidup.
"Jungkook?"
"Iya?"
"Aku minta maaf."
"Untuk?"
"Untuk hari dimana dirimu merasa kecewa. Untuk hari dimana dirimu membawa kabar gembira, yang seharusnya kita habiskan dengan bahagia, namun justru aku mengubahnya menjadi hari bernuansa biru. Aku minta maaf untuk itu."
Jungkook menggeleng, "Aku pernah kecewa. Hatiku pernah hancur. Itu semua hanya karena perbedaan diantara kita, Taehyung. Kau pernah menyakiti seorang pangeran. Namun kau pun tahu jika dua tahun lalu pangeran itu telah mati. Kau tak perlu meminta maaf padaku."
"Mendengar ceritamu, bukankah aku yang menjadi alasan kau membohongi semua orang, Jungkook?"
"Dari awal pun, aku memang seorang pembohong. Aku selalu berbohong pada diriku bahwa aku bisa menyelesaikan semua. Tapi nyatanya tidak. Aku seringkali memenuhi kehidupanku dengan kebohongan. Memang benar, kau yang menjadi alasan untuk diriku pergi. Kau tujuanku."
Taehyung diam. Merasakan merah yang mungkin keluar dari ulu hatinya. Taehyung begitu senang terhadap sebuah pelampiasan atas takdir Tuhan yang begitu bengis. Yaitu menangis.
Hening sedikit memberi jeda diantara keduanya. Jungkook menggeleng tanpa alasan, kemudian dia melihat anak laki-laki yang sedang pulas tidur di pangkuan Taehyung. "Anakmu tampan. Sama seperti ayahnya."
Yang membuat Jungkook geram seketika adalah, Taehyung yang justru tertawa dengan arah memojokkan Jungkook setelah mendengar penuturannya barusan. "Berhentilah terlihat begitu berang, Jungkook." Lantas Jungkook terpaku. Berpikir maksud di balik kalimat penuh sendu itu.
"Kau tidak mengerti, Taehyung." Lalu mereka berdua terjebak. Tanpa tangis tanpa gelak. Rasanya Jungkook benar-benar membuka pintu yang dingin dan kelam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Prince-[kth×jjk] [END]
Fanfiction[Completed] "Disini, saat sungai mengalir beriring dengan ikan di dalamnya, kau dan aku saling bertatap. Hingga segalanya mulai merunyam sandiwara tanpa jejak." Salahkah jika seorang nelayan sederhana mulai mencintai pangerannya? Baginya, cinta tak...