.
.
Hari itu mentari seolah menyerah untuk terus menerangi bumi bagian Korea. Bahkan cahayanya nampak tak mau menelisik seujung daun pun. Dibalik gagahnya sinar, lemahnya kegelapan mendominasi alur yang dilalui pemuda itu.
Kudanya berlari cukup cepat, matanya terus memperhatikan jalan di depan, tubuhnya yang tegap bagai dilengkapi inersia kuat sehingga tidak tergoyahkan dari posisinya duduk. Dia ada disana. Di tengah hutan Pinus yang menjadi jalur untuknya pulang. Tapi hatinya, berada jauh di tempat lain.
Hatinya ada di tempat-tempat itu. Di dekat kios-kios ikan yang membuatnya sulit bernafas, di kebun rakyat desa yang pernah dijadikan tempat persembunyiannya, di samping sungai, di depan rumah berdinding kayu sederhana bercat biru, dan di Sabana kecil di daerah perkebunan warga. Hati pangeran dingin itu ada di semua tempat tadi.
Oh, mungkin tidak.
Hati Jungkook tepatnya ada di dia.
Dia,
Pemuda yang satu jam lalu berani melukai perasaannya.
Pemuda nelayan itu.
Dan kini Jungkook tampak amat menyedihkan. Terlalu berang untuk ditampakkan seorang pangeran mahkota. Dengan jejak air mata yang mengering terkena angin. Fikirannya kacau. Cintanya adalah favorit Jungkook.
Dia rasa dosanya sudah terlalu berkobar hingga alam memperlakukannya seperti ini. Namun dia manusia biasa. Wajar dengan perasaan cinta yang dia rasa. Akan tetapi pada siapa rasa itu tersemat?
"Taehyung..."
Sungguh, perkataan nelayan Kim itu adalah susunan kalimat paling menyakitkan dalam hidupnya. Padahal kata-katanya tidak terlalu tajam, hanya saja konteks dari pembicaraan itu yang membuat Jungkook jadi seperti sekarang.
"Aku membencimu, Taehyung. Aku membencimu, aku benci, aku benci, AKU BENCI!!! AAAARRRRRGGGGGHHHHH!!!! Hiks... Aku sungguh membencimu. Hiks... Sarang Hae, Taehyungie." Mungkin disana Hoseok hanya menjadi saksi bisu akan penderitaan dari pemiliknya. Andai saja Hoseok itu manusia, mungkin Jungkook akan berkeluh kesah padanya.
Entah kenapa, perjalanan terasa begitu jauh sekarang. Tidak, benar-benar jauh dan terasa melambat. Jungkook ingin segera ke istana. Melampiaskan kemarahannya dengan latihan perang. Menenggelamkan tubuhnya pada kolam penuh bunga. Dan berusaha mulai melupakan Taehyung.
Ya,, itu kan terjadi apabila dia memang sanggup.
"Kenapa jatuh cinta bisa sesulit ini? KENAPA?!!! Tuhan, aku pun ingin bahagia seperti insan biasa. Tapi tak bisakah dirimu mempersatukanku dengan dia yang ku damba? Seburuk apakah diriku ini? Apa hanya karena dia seorang laki-laki, lalu aku tak bisa mencintainya? Aku tak mau menyukai sesama, tapi kau sendiri yang menciptakan perasaan ini, Tuhan. Kau tak pernah salah. Itu artinya perasaan ini juga tidaklah salah."
Nadanya menurun dan Jungkook kembali terisak dalam luka di batinnya. Jujur, Jungkook lebih memilih kulitnya sobek dengan goresan pedang daripada merasakan ini. Sekarang dia mengerti, kenapa banyak orang bunuh diri karena putus cinta. Karena kali ini dia sendiri yang merasakannya.
Namun biarkan sesaat Jungkook merasakan ringan mengangkat hatinya. Angin di hari menjelang sore itu benar-benar membuatnya melayang. Jungkook hanya berserah. Hanya diam terhadap apa yang tak mungkin bisa dia jalin ulang dengan orang yang dia cinta.
Yang sekarang Jungkook fikirkan adalah, tentang masa depan yang menunggunya. Tepat empat Minggu lagi penobatannya sebagai raja dilaksanakan. Entahlah, kali ini Jungkook tak merasa tertarik dengan gelar tersebut. Jika bisa diutarakan, mungkin Jungkook akan menolak mentah-mentah dirinya sebagai seorang raja kelak. Namun menjadi putra tunggal bukanlah pilihan pribadinya. Seandainya dia punya kakak lelaki, pasti saat ini dirinya sedang bebas.
Lalu apa yang harus Jungkook lakukan? Dia bahkan tidak dapat mengokohkan pendirian dari diri yang begitu lemah. Ketika dia memaksa untuk menutup matanya, dia tahu satu hal.
Jungkook harus membawa cinta itu dan mengakhirinya segera.
________________Mendekati akhir.
-14y-
KAMU SEDANG MEMBACA
My Prince-[kth×jjk] [END]
Fanfiction[Completed] "Disini, saat sungai mengalir beriring dengan ikan di dalamnya, kau dan aku saling bertatap. Hingga segalanya mulai merunyam sandiwara tanpa jejak." Salahkah jika seorang nelayan sederhana mulai mencintai pangerannya? Baginya, cinta tak...