ASEAN || 42. Rasa Sakit

1.9K 212 44
                                    

Sepulang kuliah kemarin, Sean mengambil shif kerja sore karena teman-temannya memaksa agar dia tidak kerja di malam hari, atau bahkan ambil cuti sekalian. Menurut Sean, untuk apa cuti? Tidak ada hal spesial di hari ulang tahunnya. Hanya usianya saja yang semakin berkurang.

Tapi, pada akhirnya Sean menurut saja untuk tidak masuk kerja malam. Buktinya sore ini dia tengah berkutat di dapur bersama Tirta. Menunggu pesanan untuk segera diantarkan ke meja pelanggan. 

Tirta keluar duluan dengan dua gelas minuman di nampan. Baru beberapa saat, dia kembali dan langsung menghampiri Sean dengan eskpresi yang tidak Sean mengerti.

"Bang, dicariin orang tuh."

Sean menoleh dengan kernyitan di dahi. Sebelah tangangannya masih bergerak menaruh pesanan dari Pantri ke nampannya.

"Airin?" tebaknya.

"Bukan."

"Kaisar?"

"Bukan."

"Siapa?"

"Emmm ibu-ibu, dan…" Tirta menggantung sejenak. "Mirip sama lo."

Dan saat itulah Sean sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya segera memberikan nampan di tangannya pada Tirta dengan terburu. Dia keluar dari dapur, berdiri sejenak di depan pintu, melihat siapa sosok yang mencarinya, ternyata tengah duduk menunggu di salah satu meja pelanggan tak jauh dari sana.

Sean kaku di tempat. Dia bahkan tidak percaya pada penglihatannya kali ini. Bahkan, dia sempat mengucek mata untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Tapi, ternyata tidak. Ketika kakinya melangkah untuk mendekat, sosok itu terlalu nyata. Bahkan, dia menoleh pada Sean.

Mama benar-benar datang untuk mencarinya.

Ketika sampai, yang dilakukan Sean hanya berdiri di dekat meja. Dia tidak mengeluarkan suara untuk beberapa saat karena terkejut. Hingga Mama memberikan isyarat agar dia duduk.

"Ma…" Sean tidak yakin suaranya baik-baik saja. Wanita cantik itu mengangkat kepala, berani menatapnya setelah sekian lama selalu memalingkan wajah.

"Kamu kerja di sini?" Sean bahkan masih berpikir ini halusinasinya.

"Iya." Dia mengangguk seperti orang bodoh.

Mama diam melihat sekeliling sementara mata Sean tak lepas darinya. Mama mengembalikan pandangannya pada Sean beberapa detik kemudian.

"Mama kok…"

"Selamat ulang tahun." Tiga kata yang sukses membuat seluruh sel di tubuh Sean mati rasa. Apa yang baru saja di dengarnya ini benar-benar nyata, bukan? Dia bahkan tidak bisa merasakan tangannya sendiri karena kesemutan. "Hari ini kamu ulang tahun yang ke-22."

"Mama ingat?" Dia bertanya pelan, agak ragu-ragu. Setelah tahun-tahun yang lewat tidak dipedulikan, dia jadi lupa rasanya diucapkan selamat ulang tahun seperti apa.

"Tentu saja. Kamu anak Mama."

Sebenarnya Sean merasakan matanya panas, tapi dia tidak menangis.

"Malam ini pulanglah ke rumah. Mama masak banyak buat ngerayain ulang tahun kamu." Setelah itu, Mama bangkit. Segera pergi dari sana. Meninggalkan Sean yang masih terpaku dan tidak percaya dengan semua yang baru saja terjadi.

Sore itu, dia benar-benar merasa tengah bermimpi. Walaupun begitu, dia tetap mengikuti alur mimpinya untuk pergi ke rumah Mama. Siapa sangka apa yang didapatkannya jauh lebih indah dari bayangannya selama ini.

Mama benar-benar memasakkan banyak makanan untuknya. Semua makanan kesukaan Sean. Tidak hanya Sean yang terlihat sangat bahagia, tapi juga Rendra yang tak hentinya tersenyum begitu cerah dengan mata berkaca. Dia juga rindu pemandangan dimana mereka makan bersama di meja makan seperti sekarang ini. Dia juga rindu dimana Mama menanyakan hal seputar kehidupan Sean khas seorang ibu. Sangat rindu.

ASEAN (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang