Hari dimana Sean mengatakan dengan posesif bahwa hanya dirinya lah yang akan mengantar jemput Airin, esoknya ia benar melakukannya. Duduk di atas motor dengan senyum mengembang, menunggu si cantik keluar dari rumah dengan berlari keci dan senyum manis yang selalu menghias wajahnya. Itu berlaku setiap hari. Seperti hari ini misalnya.
Bahkan, Sean datang di saat Airin belum mandi dan masih menyiram bunga di halaman. Jauh lebih cepat dari biasanya. Padahal kelas mereka masuk siang. Sengaja agar bisa makan pagi bersama dulu. Meskipun ia yakin Airin akan lebih memilih masakan mamanya, mengingat gadis itu cinta masakan rumah.
"Rin, Sean udah jemput tuh."
Dengan selang air di tangan, Airin mengikuti arah pandang mamanya. Melihat sosok Sean yang tengah mencium punggung tangan papanya di teras rumah, dengan raut wajah sama-sama saling suka atas kehadiran masing-masing. Papanya memang sangat senang jika Sean datang berkunjung.
"Ini kan masih pagi," gumam Airin pelan.
Mamanya terkekeh kemudian merebut selang air di tangan putrinya. Mengambil alih pekerjaan Airin tadi. "Mau sarapan sama kamu kali. Sana gih mandi." Rania mendorong putrinya agar segera masuk ke rumah. "Masa mau ketemu calon, kucel begini?"
Airin mengerucutkan bibir sambil menatap mamanya. Ia tak marah. Hanya menutupi rasa malu yang menghinggapinya. Pipinya juga panas meski angin pagi masih terasa cukup dingin.
"Sana gih." Rania mendorong putrinya sekali lagi.
Airin pasrah. Ia segera berlari masuk ke rumah, dan segera masuk ke kamarnya. Membiarkan Sean menunggu di ruang tamu sambil mengobrol bersama papanya. Lelaki memang mudah akrab mungkin. Mereka akan merasa cepat cocok hanya karena kesukaan yang sama. Misalnya, bola dan motor. Seperti Sean dan papa Airin.
Beberapa menit berlalu, begitu banyak yang papa Airin ceritakan pada Sean. Hari ini mumpung libur, jadi dia bisa mendekatkan diri dengan calon menantunya ini. Mulai dari masa kecil Airin dan kesukaan gadis itu.
Calon menantu? Oh tentu, Eza sangat menyukai Sean. Entah karena apa, pemuda tampan di hadapannya ini menarik orang-orang untuk menyukainya. Pakai jimat? Ah, mungkin.
"Dulu om ngapelin mama Airin itu susah. Bolak balik Bandung-Jakarta. Tapi, demi cinta juga dijabanin. Hahaha."
Sean ikut tertawa melihat papa Airin tertawa. Ia tahu bahwa papa dari gadis yang disukainya ini sedang menggodanya karena rela datang pagi-pagi untuk menjemput Airin, pulang pun diantar, padahal jarak kos dan rumah Airin jauh.
"Oh ya, nak. Kamu sama Airin udah sejauh apa?" Pertanyaan dari papa Airin membuat Sean mendadak diam. Agak kaget. Hubungannya dengan Airin hanya teman biasa meski mereka sama-sama menunjukkan ketertarikan masing-masing.
Sean menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal sambil menyengir canggung. "Temen doang kok, om."
"Ah, pake malu-malu segala." Eza bisa menangkap rona merah yang kontras dengan kulit putih Sean. Ia juga pernah muda dan tahu rasanya.
Eza mendekat ke arah Sean dan berbisik pelan. "Udah ngapain aja?" tanyanya jahil.
Sean agak tersentak. Pertanyaan papa Airin membuatnya salah tingkah. Orangtua gadis yang disukainya memang kelihatan memberi lampu hijau akan kedekatannya dengan Airin. Itu bagus, tapi Sean juga malu jika selalu digoda setiap hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASEAN (TELAH TERBIT)
Ficção AdolescenteSemula, kehidupan perkuliahan Airin Divyanita sebagai mahasiswa kedokteran baik-baik saja. Lurus dan terlampau datar. Namun, tiba-tiba merumit semenjak alam berkonspirasi dan mempertemukannya dengan Asean Baratha. Laki-laki itu, antara hitam dan pu...