Setiap kejadian menyakitkan membawa perubahan, entah itu perubahan baik atau sebaliknya. Minggu lalu, semua masih terasa baik-baik saja. Namun dalam sekejap mata segalanya mendadak jungkir balik begitu saja.
Satu minggu berlalu setelah kejadian di kos Sean, satu minggu juga yang Airin habiskan untuk berpikir apa sebenarnya yang telah terjadi. Dia masih belum mengerti bahkan setelah hari-hari yang dilaluinya dengan luka.
Kekecewaannya membuat dia tidak mampu menatap Sean lagi, tidak mampu menegur duluan lagi, tidak mampu menghampiri pemuda itu lagi. Bahkan ruang kelas yang sama pun tidak mampu menjadi alasan mereka untuk menyapa satu sama lain.
Airin kecewa, sangat. Dia sakit hati, sangat. Dia masih tidak menyangka bahwa pria yang malam itu memperlakukannya kasar adalah Sean. Sosok Sean yang dia kenal selama ini bukanlah Sean yang tatapannya berapi-api, bukan Sean yang penuh emosi, bukan Sean yang penuh benci. Lantas bagaimana dia menjabarkan rasa tak percayanya?
Selama satu minggu ini, Airin hanya mampu menatap Sean dari kejauhan. Pria itu sama sepertinya. Kosong yang berpura-pura baik-baik saja. Dalam artian ada sesuatu yang menghilang tapi berpura-pura semua komplit. Namun mereka sama-sama egois. Yang satu egois untuk menjelaskan lebih dulu dan yang satu egois untuk meminta penjelasan lebih dulu.
Airin hanya merasa setiap kali matanya tak sengaja bertabrakan dengan mata Sean, dia teringat bagaimana perlakuan Sean malam itu. Bagaimana laki-laki itu berpura-pura tuli atas tangisan dan rintihannya. Bagaimana Sean meneriakinya, dan bagaimana Sean memperlakukannya seolah dia tak lebih dari jalang. Bagaimana bisa Airin pura-pura lupa? Bagaimana bisa Airin menerimanya? Dan bagaimana bisa dia tidak kecewa?
Semua itu membawa perubahan, perubahan pada hubungan mereka yang menjadi renggang dan terasa jauh. Mereka mendadak seperti orang asing kembali, tidak mengenal satu sama lain. Sean mengacuhkan Airin, begitupula sebaliknya.
Mereka pernah tak sengaja bertabrakan hingga kertas-kertas yang dibawa Airin berhamburan, Airin sudah berpikir mungkin Sean akan langsung pergi dan tak peduli. Tapi ternyata, laki-laki itu membantu memungut kertas-kertasnya, memberikan pada Airin, namun kemudian segera pergi seolah tak mau berurusan lebih jauh.
Mereka tak pernah duduk bersama lagi di kantin, saling menjauh. Sean di pojok sana dengan teman-temannya, dan Airin di pojok berlawanan dengan teman-temannya juga. Hingga tak sengaja makanan mereka tertukar, namun ternyata itu belum mampu menjadi alasan mereka untuk menyapa barang hanya sebuah kata hai saja.
Mereka tak pernah lagi berjalan beriringan. Sean akan memilih menjauh beberapa meter di belakang Airin, tidak akan berusaha menyusul atau melewati gadis itu meski dia sedang terburu-buru. Sean akan memelankan langkah, mata lurus ke depan, menatap Airin dari kejauhan dalam diam, entah apa arti tatapannya.
Setahu Sean, Airin itu selalu memperhatikan banyak hal, penampilannya apalagi yang namanya sepatu. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini gadis itu sering tidak fokus dalam banyak hal juga. Suatu waktu, Airin tersandung tali sepatunya sendiri, sesuatu yang nyaris tidak pernah Sean dapati saat bersamanya. Sean ingin sekali menghampiri dan membantunya bangkit, tapi ternyata Airin bangkit sendiri dan segera pergi dari penglihatannya.
Namun sekali lagi, Sean kembali mendapati tali sepatu Airin lepas. Kenapa Airin jadi teledor sekali? Gadis itu tengah membawa tumpukan buku tebal hingga tidak bisa melihat ke arah kakinya. Maka, Sean segera membawa langkahnya menyusul Airin. Berlutut secara tiba-tiba hingga membuat Airin terkejut bukan main. Sean menalikan tali sepatu itu tanpa suara, tak sadar betapa jantung Airin ingin melompat keluar dari rongganya, tak sadar betapa kaki Airin terasa lemas seperti jelly di sana.
Sean bangkit. Mata mereka bertabrakan, membawa sengatan kecil yang seolah saling tarik menarik. Mereka saling merindukan. Namun sekali lagi, kekecewaan Airin, rasa bersalah Sean, semuanya belum mampu menemukan obat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASEAN (TELAH TERBIT)
Novela JuvenilSemula, kehidupan perkuliahan Airin Divyanita sebagai mahasiswa kedokteran baik-baik saja. Lurus dan terlampau datar. Namun, tiba-tiba merumit semenjak alam berkonspirasi dan mempertemukannya dengan Asean Baratha. Laki-laki itu, antara hitam dan pu...