Bab 9 - Bagaimana Jika Aku Ingin Bahagia

1.4K 79 2
                                    

"... dan sudah kubilang tidak ada barangmu di sana. Jadi, sudah selesai, 'kan? Oke sampai jumpa!"

Kututup segera ponselku sebelum mendengar suaranya menyakiti kepalaku. Atau dadaku yang terus memberi rasa nyeri akan rindu yang diam-diam bertahan. Mataku beralih memandangi pemandangan kota yang samar-samar dalam embun hujan. Bagai dunia kelabu kecil dalam sepi. Tanganku merogoh sebuah tabung kecil nan bening dari dalam kantung celanaku. Menatapnya lekat-lekat seolah itu benda yang begitu berharga.

Tentu saja sebab ini adalah satu-satunya milik Lily yang kupunya sejak kami memutuskan mengakhiri hubungan tanpa status ini. Tabung ini berisi pil obat yang sekaligus memberiku petunjuk tentang Lily.

Lily memiliki riwayat penyakit jantung, itu yang Tyler katakan setelah aku memintanya menyelidiki soal obat ini.

Namun, aku tidak bisa memikirkan apakah ini masuk akal dengan perlakuan Smith terhadap Lily? Bukankah seharusnya mereka merawat gadis itu atau semacamnya? Mereka menyebut Lily cacat bagai kutu yang ingin disingkirkan. Mungkin ada satu hal lagi yang belum kuketahui. Aku bisa saja meminta keterangan kesehatan Lily, tetapi aku takut jika terlalu mengetahuinya, Lily akan marah padaku.

Namun, aku lebih marah mengetahui Lily dalam kondisi sekarat dan buruknya lagi aku tidak bisa berada di sampingnya sekarang.

***

Beberapa orang menyapaku pagi itu, setibanya aku di kantor. Ada beberapa di antaranya, aku membalasa sapaan mereka. Ada pula aku hanya diam dan mengangguk, dan tak tertarik sedikit pun memberi senyum. Otomatis semua karyawan di sini pun tahu, jangan cari masalah dengan Ethan Lumbert jika dia sedang bad mood.

Pagi ini masalahku hanya pada satu orang. Orang yang tidak bisa kutemui di rumah sebab beliau sengaja sekali pergi lebih dulu dibanding aku. Orang yang pasti menjadi alasan mengapa aku tiba-tiba kabar dari Helen setelah sekian lama.

Orang itu adalah ....

"Oh, Tuan Jonathan, anda lucu sekali," Suara Helen seketika sudah terdengar bagai terompet kala tanganku sudah hampir menggapai pintu ruang kerja ayahku.

Dasar cewek pintar.

Aku pun mengetuk masuk dan disambut oleh dua orang ini. Pertama, senyum ayahku yang canggung. Kedua, sebuah serangan pelukan tiba-tiba dari Helen yang seolah ingin membuatku terjungkal.

"Kalian terlihat manis sekali," puji ayahku dan Helen menyeringai makin lebar.

Sementara aku? Ingin muntah.

"Kali ini, aku tidak akan jauh-jauh darinya," Helen mendongak menatapku dengan iris hijaunya, "iya, 'kan Ethan?"

Kubuat sebuah senyuman palsu sekali lagi dan memandang wanita itu. Yakin bahwa perasaanku padanya tidaklah lagi seperti dulu, "Yes, Helen. Whatever you want."

Awalnya kukira mungkin dia kecewa dengan jawaban itu, namun dia masih bisa memasang wajah manisnya dan memutuskan pamit untuk pulang. Dia sempat menggenggam tanganku seolah tak rela melepasnya sampai akhirnya dia pun berlalu di balik pintu.

Ketika aku dan ayah akhirnya berdua, langsung saja aku membuka pembicaraan yang sudah mendekam di pikiranku berhari-hari. "Berapa keluarganya membayar, Ayah?"

Jonathan terkekeh dan menggeleng, "Jangan seperti itu, Ethan," katanya, "beruntung Helen masih memiliki perasaan padamu dan ingin melanjutkan pertunangan kalian. Ah, dia bahkan menyebut pernikahan. Kau benar-benar beruntung, nak."

"Dia meninggalkanku, apa ayah lupa?" Tanganku bersedekap ke dada, "apa harus kuingatkan betapa memalukannya itu? Betapa itu melukaiku?"

Jonathan mengangguk menyetujui, sembari mengambil berkas kerjanya, "Ya dan setelah itu kau berubah menjadi ... apa kata yang tepat? Anjing liar?" Beliau menatap anaknya yang bahkan tak menyangkal sedikit pun, "kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan dengan semua wanita hiburan yang kau bawa ke Hotel Gala? Kau dulu lebih baik dari ini, Ethan. Malahan, kau lebih baik ketika bersama Helen."

Jantung Untuk Ethan | 0.5 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang