Bab 35 – Bagaimana Jika Harapan Itu Belum Sirna
"Pagi ini tadi, jemari Carly bergerak," jelas Tony dengan wajah yang masih terkagum-kagum. Seolah mukjizat Tuhan telah tiba tuk' mengabulkan do'anya.
Mungkin terlalu awal menyebut keyakinan di tengah hari seperti ini. Di bawah pohon rindang, menyaksikan para pasien dan keluarga bolak-balik dari satu lantai kke lantai lain. Pandanganku sempat bertemu dengan salah satu kumpulan mawar yang mekar merekah segar, menyambut sinar mentari.
Jantungku bak dicubit mengingat bagaimana mawar itu mengingatkanku pada Ethan. Kami sudah tak saling bicara selama seminggu ini sejak kejadian itu.
"Tony, apa kau yakin? Apa kata dokter yang merawat Carly?" Aku bertanya dengan Tony yang duduk di sampingku si satu bangku taman yang tersisa.
Tony mengangguk cepat menjawab dia yakin seratus persen, mertuanya juga melihat kejadian tersebut. Namun, di lain sisi, dokter begitu skeptis dan mengatakan itu hanya reaksi tubuh yang biasa saja.
Kulihat Tony meremas jemarinya yang bergetar. "Jika ada satu harapan kecil saja untuk Carly, aku tidak akan melepasnya," ucapnya begitu teguh, begitu percaya.
"Bahkan jika itu harus menunggu waktu lama," lanjut Tony mengembuskan napas berat, "kau pasti juga skeptis pada pikiranku yang mainstream ini, ya?"
Aku menggeleng sembari menyisir rambut pirangku yang sudah jarang kusisir. "Menurutku, Carly pasti akan bangun. Dia juga seorang ibu, dia pasti ingin menemui anaknya dan ayah dari anaknya."
Tony tersenyum. "Terima kasih," katanya, "aku sungguh membutuhkan itu, bisa kau percaya beberapa hari yang lalu, dokter mulai menyuruhku agar mempertimbangan keputusan untuk Carly mewujudkan program donor organnnya? Andai aku betulan menyetujuinya terlalu cepat, pasti semuanya bakal berbeda."
Aku berusaha agar tidak tahu-menahu soal itu. "Ya, pasti semuanya akan sangat berbeda."
"Aku paham kenapa Carly melakukannya." Tony memandangku. "dia itu kadang terlalu baik hati."
Aku tak punya komentar apapun soal itu.
"Tapi sekarang keadaannya berbeda," kata Tony kemudian, "Carly masih punya semangat hidup, aku tahu semua orang pasti akan mati, tetapi kurasa ini bukan akhir. Kau paham maksudku?"
Aku mengangguk dan betapa itu sangat cocok menjelaskan kehidupanku selama ini. Aku selalu tahu, suatu hari akan meninggal dan jasadku akan dikebumikan di tanah merah berumput. Namun, aku berusaha selalu positif, bahkan ketika aku hamil dan mengorbankan rasa sakitku, lelahku serta semua usahaku untuk dua anak yang luar biasa.
Ethan memberiku sandaran besar dan harapan bahwa ini bukan saatnya. Waktuku belum berakhir di sini. Aku tidak boleh menyerah sekarang.
Sejenak mengobrol, Tony memutuskan pergi dan pamit. Berakhirlah aku seorang diri.
Marianne sedang sekolah. Begitu pula Nathan. Tahun ini ada tahun senior mereka, menanti sisa waktu menuju kelulusan.
Dulu Rennee—ibu Ethan— juga sering menjengukku, tetapi dengan kondisiku yang tak pasti, beliau tak bisa berlama-lama di Gatlinburg.
Keluarga Smith entah bagaimana kabarnya sekarang. Kudengar berita terakhir, Jack sudah pensiun dan mewariskan semua kekayaannya pada Luke dan Mia. Mereka di New York dan mungkin tak akan pernah menginjakkan kaki di Gatlinburg.
Sahabatku lainnya, Sophia—atau biasa dipanggil Sophie—sekarang menjadi jurnalis sekaligus traveler yang berkeliling berita di seluruh benua dunia. Kadang kami bertukar email dan kabar terakhirnya, dia sekarang berada di Jepang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jantung Untuk Ethan | 0.5 (TAMAT)
RomanceMemangnya kamu mau menghabiskan hidupmu dengan orang yang cacat dan sekarat sepertiku? -Lily Aldren Smith- Sebuah prekuel jauh sebelum dunia First dimulai. Melihat mantan nikah sama adiknya sendiri? Siapa yang sanggup? Begitu pun Lily yang terpaksa...