Bab 12 - Bagaimana Caranya Menangkap Buket Bunga

1.3K 67 0
                                    

Bab 12 – Bagaimana Caranya Menangkap Buket Bunga

"Dia masih melihat," bisik Julie yang duduk di sampingku dengan cengiran khasnya, sembari menyantap piring daging steik yang baru disediakan.

Bahkan di antara lampu-lampu emas di langit-langit aula, aku bisa melihat ke mana arah yang Julie maksud. Sepasang mata kelabunya, rambut hitam malamnya, dan senyumnya yang bisa melelehkan gadis mana pun. Kecuali, di dekat sosok lelaki itu, secara harfiah ada gadis lain dalam balutan gaun ruby. Bersandar di pundaknya, seolah ingin membawanya ke ranjang.

"Dia sudah punya tunangan, Ma," kataku kembali fokus ke piring.

"Oh, ayolah dia bahkan tidak berpaling," Julie menimpali, "kecuali beberapa kali tunangannya ngajak ngomong."

Bola mataku berputar, "Ma, ayolah."

"Oke ... oke, aku tidak akan membicarakannya lagi," Julie terkikik, "by the way, sepatumu bagus, sayang ... dia yang pilihkan?"

"Baiklah, Ma!" Aku terkekeh dan mengecup pipi beliau, "aku mau ke kamar kecil dulu, oke?"

"Jangan marah sama Mama," katanya dan memberiku usapan lembut di pundak, meski itu terasa kering dan kasar. Namun, aku bersyukur Julie masih sehat dan hadir di sini.

"Mana mungkin aku marah sama Mama," ujarku dan langsung melesat menjauh dari meja.

Sepanjang langkah menyusuri tiap meja bundar ini, aku bisa mendengar dentingan piring keramik bersahaja dengan para sendok dan garpu. Orang-orang saling bicara dan tersenyum. Aroma daging panggang menyeruak. Para pelayan sibuk bolak-balik membawakan champagne. Kemudian di seberang ruangan adalah pasangan yang menikah itu.

Luke dan Mia. Dan untuk pertama kalinya, aku bisa tersenyum melihat kebahagiaan mereka.

***

Aku langsung merogoh tas kecilku kala tiba di toilet, setidaknya ada tiga jenis obat yang kukonsumsi saat ini. Akhir-akhir ini aku merasa jantungku berdegup lebih cepat tanpa alasan, seolah aku baru saja bekerja begitu keras. Sayangnya, aku masih belum bisa menemui dokter pribadiku, karena beliau pergi berlibur. Aku tidak bisa menemui dokter yang lain, karena hanya beliau yang paling tahu tentang kasusku.

"Kau lihat berapa banyak obat yang dia makan?" Beberapa gadis keluar dan tidak sadar bisikan mereka terlalu keras sampai aku mendengarnya.

Mungkin harusnya Amerika tidak hanya membuat ruangan khusus perokok, harusnya di masa depan mereka membuat ruangan khusus orang penyakitan sepertiku memiliki ruang publik sendiri untuk minum obat .

Pintu toilet kembali berdebam di belakangku, dan sosok gadis lainnya ke luar menemaniku di wastafel. Oh tentu, hal mudah yang harus kulakukan adalah mengabaikan tatapan mengejek atau iba atau apapun. Aku hanya minum obat di sini! Bukan membawa bom nuklir!

"Aku rasanya pernah melihatmu," kata gadis dengan gaun merah ruby itu dan barulah aku ingat sedang berbicara dengan siapa.

"Oh ya! Aku ingat!" Gadis itu nyengir, "tunanganku terus melirikmu sepanjang acara."

Dan kau kemungkinan seratus persen adalah tunangannya, aku bisa mengerti, "Hey, dengar. Kau mungkin salah paham," kataku sebelum terjadi konflik di toilet wanita Hotel Gala.

"Ah ya, salah paham?" Gadis itu menyeringai.

Aku mengangguk dengan semangat, "Ya! Ya! Mungkin dia tidak sedang melihatku! Mungkin Ethan sedang melihat steik yang kumakan! Itu pasti steik yang luar biasa enak, 'kan?"

Nah, sekarang raut wajahnya berubah. "Ethan?" balasnya dengan tangan terlipat di dada, "aku tidak menyebut nama tunanganku, tapi ... sepertinya kau mengenal Ethan? Ethan Lumbert?"

Jantung Untuk Ethan | 0.5 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang