Bab 26 – Bagaimana Aku Tak Akan Bisa Melupakan Dosa yang Lalu
Sophia menyeringai senang seraya menyenggol bahuku, yang kini sibuk beserta jemariku yang tengah mengetik artikel untuk minggu depan. Aku hampir ingin berteriak protes sampai kemudian Sophie mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, "Aidan ingin menemuimu di kantornya."
Aku tidak tahu harus berekspresi marah atau sedih. Aidan adalah orang terakhir yang ingin kutemui di Bumi. Namun, karena aku begitu bodoh melibatkan Sophie dalam masalah ini, sekarang gadis itu berpikir bahwa aku menjalin hubungan dengan Aidan Hemsworth. Jika saja bukan karena urusan yang kubenci ini, aku pasti sudah pergi jauh-jauh dari kota New York dan mencintai hidupku di kota kecil, menulis atau menjadi penjaga perpustakaan.
Kalau bukan karena Ethan ....
Tuhan, beri aku kekuatan untuk bertahan.
Tok! Tok! Tok!
Jemariku mengetuk sendu. Lalu seseorang menyeru dari balik pintu, "Masuk," katanya.
Kutarik napas sekali lagi dan melangkahkan kakiku masuk. Aidan sedang sibuk membaca layar komputernya seolah tak menyadari kehadiranku. Tanpa menoleh padaku, Aidan menunjuk pintu dan berkata, "Tutup!"
Mataku melirik pada meja Aidan yang sama seperti meja kerja pegawai biasa lainnya. Namun, di sisi kanan terdapat sebuah bingkai foto seorang wanita separuh baya dengan rambut coklat dan kedua mata magis berwarna permata, tersenyum bahagia. Aku pernah mendengar bagaimana para pegawai di sini bergosip tentang Aidan dulu dianggap anak haram dan dibuang oleh ibunya sendiri. Sampai kemudian Aidan dipungut kembali ketika tahu keluarga ibunya tak punya hak pewaris sah untu kerajaan bisnisnya.
Bagaimana pun itu hanya rumor, dan aku tidak punya simpati lagi untuk Aidan bahkan untuk membuktikan apa rumor itu benar atau tidak.
"Aku pikir lebih baik pintunya dibuka," kataku merasakan degup jantung berdegup panik.
Aidan tak lagi menonton layar komputer dan tatapan membunuhnya melesat padaku. "Aku bilang tutup pintunya, Lil," desisnya kemudian bangkit dari meja kerja. Perlahan mendekat.
Aku merasa bodoh mengapa bisa-bisanya patuh pada ular bernama Aidan ini. Banyak staff berlalu lalang di luar, aku padahal bisa menjerit. Aku bisa menolak Aidan semauku, tetapi aku tak lagi punya hak mutlak itu. Tangan Aidan yang berurat sudah melewatiku dan pintu dan suara kunci saling bertaut bagai bunyi sangkakala bagiku.
"Kau masih mau memberontak, Lil?" Dalam sekejap Aidan sudah merenggut daguku dan menariknya paksa membunuh jarak antara kami. "Aku dan Helen mempunyai kartu lengkap untuk menang di sini, kau harusnya bersyukur Helen tidak ingin kau betulan mati."
Aku mendecak dan mendorong lelaki itu dengan tenaga terakhirku. Kuusap daguku dengan jiik. Aidan terkekeh dan memamerkan sebuah lembar putih dibingkai dengan garis emas berliuk-liuk. Aidan menyuruhku membacanya dan barulah aku tahu apa yang ingin dia mainkan lagi.
Tertulis di sana dengan jelas:
Ethan dan Helen
Mengundangmu ke perayaan pernikahan mereka
Dulu ketika Mia memberiku undangan pernikahannya dengan Luke, aku ingat menangis sendirian setelahnya. Menikmati penyesalanku sendiri. Namun, melihat undangan pernikahan Ethan dengan wanita lain, itu lebih menyakitkan berkali-kali lipat. Seolah luka yang selama ini kusembunyikan, lagi-lagi ditaburi cuka.
"Kau mau apa, Aidan?" tanyaku berusaha meredam amarah dan air mataku sendiri.
"Datang denganku ke pernikahan mereka," ucapnya dengan begitu tenangnya.
Kau pasti sudah gila!
"Aku tidak mau," jawabku dengan gelengan kepala, "kita sudah sepakat semua permainan konyolmu ini akan berakhir setelah Ethan menikah, aku tidak ingin terlibat lagi—"
Belum selesai bicara, Aidan sudah mendorongku ke sofa dan menarik kedua tanganku di atas kepala. Seketika tubuhku sudah terkurung dalam tindihannya dan hal yang membuatku lebih jijik adalah Aidan meletakkan lututnya di antara ke dua kakiku. Aku menyeru dengan suara serak agar dia melepasku, tetapi Aidan malah menaik turunkan lututnya dan menyuruhku diam.
Aku menggeleng cepat dan tahu-tahu tangan Aidan yang lain ikut merayap menjejakiku.
"Kau dulu mau jadi pelacur Ethan Lumbert," bisik Aidan di antara isak tangisku yang bisu, "kau bahkan sampai mengandung anaknya, kenapa kau masih tidak mau memurahkan dirimu sedikit saja, hm?"
Aku belingsatan ketika menyadari jemarinya menyentuhku lebih dari yang kubayangkan. Lirih lemahku keluar dan memohon agar dia berhenti. Aku bahkan sudah mengatakan kalau aku akan datang ke pernikahan sialan itu. Namun, bukannya berhenti Aidan semakin liar dan berkata, "Sudah berapa lama Ethan tidak meenyentuhmu, huh? Oh iya benar aku lupa, kau sudah mengugurkan anaknya. Kau pikir semua masalah selesai kalau ingatannya kembali, begitu?"
Aku terus-terusan menggeleng. Menolak Aidan. Menolak kenyataan. Menolak dosa yang dulu kulakukan.
Suara dering telepon di meja menghentikan Aidan seketika. Napasku habis dan Aidan begitu mudahnya menelantarkanku di sofa, tak berdaya, kepayahan, merasa begitu bodoh, merasa semakin jijik pada diriku sendiri. Meski rasanya tenagaku menghilang, aku memaksakan tubuhku bangkit berdiri. Bergegas memperbaiki penampilanku yang berantakan dan tanpa meminta izin pada Aidan, aku keluar dari ruangan sialan ini.
Dengan cepat aku sudah melesat menuju toilet dan bersembunyi di salah satu bilik. Kugigit bibir ini agar erangan sakitku tak keluar, meski pipiku sudah sebegitu basahnya dengan air mata, kuusap dengan susah payah. Jika bisa aku tidak ingin menemui Ethan lagi. Andai bisa, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang dulu kuperbuat pada Luke.
Namun, jika Ethan sungguh akan menikah dengan Helen, maka aku sama saja mengulangi kesalahan yang sama pada Luke.
Jika Ethan menikah dengan wanita lain, maka aku serta ingatannya tak akan berarti lagi.
Jika Ethan ... Tuhan, mengapa aku sebegini takutnya memikirkan Ethan lupa bahwa dia dulu pernah menjadi ayah dari anakku meski itu hanya sebentar.
Inikah hukumanku? Inikah karma yang kudapat karena bermain-main dengan perasaanku sendiri?
***
Sophie membantuku memilih gaun di pagi itu dengan wajah tak berminat. Sebab semalam suntuk kami berdebat apa aku harus datang ke pesta pernikahan Ethan atau tidak. Tentu Sophie yang paling menentang keras ide tersebut. Namun, aku dengan begitu jeniusnya menggunakan Aidan sebagai alasanku pergi. Tak lupa menyertakan kalimat bahwa Aidan mengajakku ke sana sebagai kencan.
Di akhir, Sophia tak sanggup untuk mencegahku dan memutuskan untuk merelakanku pergi begitu saja.
"Tapi, kalau kau nangis, kau harus cepat-cepat pergi dari sana dan segera datangi aku!" katanya dan memberiku pelukan hangat.
Aku hampir ingin menangis, tetapi kutahan mati-matian agar temanku ini tidak khawatir. Aku sudah bersumpah akan bertahan sedikit lagi. Jika semuanya berjalan lancar, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Aku harus mempercayai Ethan dan apapun yang dia pilih.
***
Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Jantung Untuk Ethan | 0.5 (TAMAT)
RomanceMemangnya kamu mau menghabiskan hidupmu dengan orang yang cacat dan sekarat sepertiku? -Lily Aldren Smith- Sebuah prekuel jauh sebelum dunia First dimulai. Melihat mantan nikah sama adiknya sendiri? Siapa yang sanggup? Begitu pun Lily yang terpaksa...