18. drama yang berdatangan

9.5K 2K 211
                                    

Ya Tuhan—ah, tidak untuk sekarang Tyrese harus melihat Kevin. Oh demi apapun itu, apa Tyrese harus memanggilnya Kevin atau—Keenan mulai sekarang?

Dengan segenap keberaniannya, Keenan mendatangi kediaman Tyrese sendirian dari Thailand tanpa sepengetahuan ibunya. Keenan begitu gugup berhadapan dengan Tyrese walaupun dirinya sudah mempersiapkan diri secara matang, bahkan sudah mengetahui jika Tyrese merupakan ayah biologisnya.

"Ada perlu apa kamu kesini?" Tanya Tyrese sedikit dingin. Bohong jika Tyrese tega bersikap dingin pada orang yang pada kenyataannya adalah anaknya sendiri. Si sulung Lee.

"Saya mau minta maaf, Om." Jawab Keenan pelan, berhati-hati agar tidak memancing amarah Tyrese.

"Atas keperluan apa kamu minta maaf? Kamu tahu apa, Oh Kevin?"

Kali ini perkataan Tyrese benar-benar menusuk batin Keenan, hingga ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa terhadap pernyataan dan nama yang baru saja disebut oleh Tyrese.

"Lebih baik kamu pulang saja. Saya gak mau Jinan semakin tertekan lihat kamu ada disini."

"Om—"

Tyrese enggan memperdulikan Keenan, berusaha fokus pada Jinan yang masih mengurung diri di dalam sana. Saat Tyrese hendak masuk ke dalam kamar, Keenan tiba-tiba menghampirinya sambil berlutut.

Tidak, Lee Tyrese. Jangan membuat darah dagingmu sendiri seperti ini.

"Pa, ini aku. Lee Keenan. Anak yang mungkin papa gak harapkan kehadirannya karena telah membuat sebagian hidup papa berantakan." Ucap Keenan lirih, sukses mengoyak jiwa Tyrese sampai mematung mematung. "Aku hidup tanpa papa bukan berarti aku gak tahu papa dan Jinan."

Suara Keenan terdengar semakin bergetar, terus memohon agar Tyrese bisa menatapnya. "Aku butuh kejelasan aku harus hidup sama siapa, papa."

"Saya belum bisa—"

"Papa." Suara Jinan lantas menginstrupsi pendengaran Tyrese dan Keenan, keduanya terkejut saat menyadari bahwa Jinan menyaksikan mereka. "Setega itu ya papa membiarkan Kak Keenan berlutut?"

"Jinan, papa bisa jelasin—"

"Semuanya udah jelas, pa. Kita semua udah tahu kebenarannya. Apalagi yang mau papa perjelas?" Jinan mempertanyakan semua kekesalannya dengan manik mata yang mulai berair. "Aku sama Kak Keenan cuma butuh keluarga yang utuh walaupun gak sepenuhnya. Bukannya kita semua sudah tahu kebenarannya?"

"Papa, tolong papa pikirkan baik-baik tentang keluarga ini. Atau seenggaknya, papa bisa memutuskan dengan siapa Jinan dan kakak bisa tumbuh dewasa."

Tyrese menatap Jinan perih. Menemukan jiwa malaikat kecilnya sudah beranjak dari ukuran tersebut. Lambat laun Tyrese memahami, bahwa kedua anaknya kian tumbuh meninggalkan diri mereka yang dulunyaselalu merengek.

Pria Lee itu meraih bahu Keenan. "Vin, kamu bangun dulu."

"Papa beri aku nama Keenan, bukan Kevin." Balas Keenan halus.

Tiba-tiba saja Jinan menghampiri Keenan, berusaha menetralkan nafasnya yang mulai sesak. "Kak, aku rasa menetap di tempat lain untuk semalam gak begitu buruk. Aku punya tempat yang bagus."

Jinan lantas menarik pergelangan tangan Keenan untuk berjalan keluar dari mansion, mengabaikan Tyrese yang terus menahan keduanya dengan seruan nama.

• • •

Mansion Qian

"Aduh—ngantuk!" Seru Richene seraya meletakkan barang belanjaannya di atas sofa. Ia lalu merebahkan diri di atas sofa seberang, perlahan memejamkan mata karena kelelahan.

Tak lama berselang, datang seorang Qian lainnya yang sibuk memainkan sebuah iPad serta mendengarkan musik melalui sepasang handsfree.

Richene yang sadar jika Reyjune baru masuk lalu bertanya, "iPad lo yang baru mana, kak?"

Reyjune hanya menunjukkan iPad yang ia mainkan sejenak tanpa berkata satu kata pun. Ia lalu duduk di samping belanjaan milik Richene, masih sibuk menatap layar perangkat barunya.

"Terus yang lama ada dimana?"

"Ada di mobil, besok baru gue ambil."

"Ambil sendiri, apa diambilin bibi, apa nungguin baba pulang dari Beijing, baru iPad yang lama turun dari mobil? Kalau iPad itu makanan, kayaknya keburu basi."

Menanggapi celotehan adiknya yang belum berhenti, Reyjune hanya memutar bola mata jenuh dan kembali memainkan benda canggihnya. Richene mendecih, menanggapi si kakak yang terlalu irit bicara. Si bungsu itu kembali membenarkan posisinya di atas sofa sambil memejamkan mata.

"Langsung tidur di kamar sana. Gak ada baba yang bantuin gue ngangkat badan lo yang bongsor itu."

"Gue cuma baringan doang, kali. Bukan gue yang bongsor, lo-nya aja yang malas makan." Richene dengan matanya yang masih terpejam kembali bercuit. "Kak Rey."

"Apaaa?" Jawab Reyjune penuh penekanan.

"Lo ngerasa gak sih, kalau akhir-akhir ini lingkungan mansion kita ada drama?"

"Konteks."

"Contohnya nih ya, Kak Marcel sama Kak Dean yang berantem. Terus itu tuh, Kak Yaheskiel baru tahu kalau ternyata bundanya udah meninggal. Kak Dylan yang mesti ke acara nikahan mamanya, belum lagi beberapa hari yang lalu ada ibu-ibu yang nyari Om Jeffrey."

Perkataan Richene sontak membuat Reyjune mendadak mengalihkan tatapannya dari iPad. "Siapa yang nyari Om Jeff?"

"Itu—ibu-ibu sepantaran baba. Tapi gue gak ngasih tahu kok rumah Om Jeffrey. Takutnya ada apa-apa." Jawab Richene yang mendapat legaan nafas dari Reyjune. "Kita doang kayaknya bareng Jinan yang keluarganya datar-datar."

"Hush, ngomongnya." Reyjune menatap Richene sinis. "Hidup lo doang yang kebanyakan ngamburin uangnya baba."

"Namanya juga anak-anak, doyan belanja."

"Lo itu udah remaja, ya. Lo mestinya udah paham keperluan sama kemauan sementara tuh apa."

Kali ini Richene yang menanggapi perkataan kakaknya dengan helaan nafas yang berat. "Iya deh, iya."

"Lo udah ngabarin baba hari ini?" Reyjune mengalihkan topik. Richene membalasnya dengan gelengan kepala ringan. "Gue telepon, gue kirim pesan, tapi belum dibalas sama sekali."

"Mungkin baba sibuk banget."

Richene mengangguk setuju, hendak mengakhiri obrolan untuk kembali ke kamarnya. Baru saja Richene bangkit, tiba-tiba bel Mansion Qian berbunyi. Reyjune dan Richene sontak saling memandang satu sama lain. Ini sudah larut malam, siapa yang berniat mengunjungi kediaman mereka di waktu seperti ini?

"Biar gue yang buka." Tawar Reyjune lalu berjalan menuju pintu, membuat Richene terdiam di tempat menunggu kakaknya kembali masuk. Dan tidak lama kemudian, Richene melihat kakaknya masuk tidak sendirian.

"Loh, Jinan? Tapi itu siapa—"

"Ini kakak gue."

"Huh?!"

Superior MansionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang