Beberapa tahun silam,
Perbatasan Tiongkok-Korea UtaraSeorang pria tengah mengintip melalui celah jendela. Apartemen sederhana yang menjadi tempat tinggalnya bersama keluarga kecil miliknya terasa tak aman lagi. Lelaki itu—Qian Kun—masih mendapati melihat keributan besar di luar, yang juga menimbulkan ketakutan besar bagi istri dan anak-anaknya yang masih kecil.
Kun lalu menghampiri Huanran dan meraih anak sulungnya yang masih berusia dua tahun. Kun berencana akan meninggalkan tempat ini untuk sementara waktu akibat konflik politik di luar sana yang kian meledak.
"Kamu pakai ini, usahakan wajah dan rambut kamu gak terlihat. Oke?" Pinta Kun yang diangguki Huanran. Huanran lalu menggunakan jaket besar yang diberikan Kun.
Konflik yang sedang terjadi di perbatasan negara atau tempat keluarga Qian tinggal mengakibatkan para lelaki dan perempuan harus dipisahkan untuk sementara waktu. Tentu saja hal itu sudah tak akan mungkin dilakukan Kun, dia enggan berpisah dari istrinya. Dia dan anak-anaknya tidak akan bisa terlepas dengan Huanran, apapun itu.
「konflik yang terjadi dalam buku ini hanyalah fiksi, tak ada kaitannya dengan dunia nyata.」
"Tiket kereta yang aku beli semalam terjadwal sejam lagi. Di jalan nanti, kamu gak boleh jauh-jauh dari aku, ya? Kamu pegang Richene, biar Reyjune sama aku. Kita harus tiba di kota secepatnya tanpa terpisah."
Huanran kembali mengangguk paham seraya menggunakan masker dan topi untuk menutupi seluruh wajahnya. Setelah semuanya siap, keluarga kecil Qian kemudian keluar dari kediaman dan berusaha melewati keributan yang masih berlangsung.
Satu tangan Kun menggendong Reyjune, satu tangannya lagi digunakan untuk memegang Huanran yang berusaha melindungi si kecil Richene. Mereka terus berjalan pada tepi jalan, melewati bentrok yang mulai memanas dengan langkah tanggap agar tak ada orang yang mencurigai Huanran. Beruntunya mereka mampu tiba tepat sebelum kereta berangkat.
"Ba, tolong kamu pegang Richene. Kayaknya ada akte yang jatuh dari tasku." Pinta Huanran memberikan Richene pada tangan kiri Kun yang kosong. "Kalau gerbongnya terbuka kamu langsung masuk, aku menyusul. Sepertinya yang jatuh itu akta kelahiran Rey."
Tanpa persetujuan Kun, Huanran berbalik. Secara bersamaan gerbong kereta terbuka. Kun sangat ragu masuk ke dalam gerbong, namun permintaan Huanran seolah menghipnotis langkahnya untuk segera masuk bersama putra-putranya. Ketika berada di dalam kereta, Kun terus menunggu Huanran masuk ke dalam bersamanya. Apalagi orang-orang semakin bertambah, terus menimbulkan ke khawatiran bagi pria tersebut.
Telinga Kun bahkan sudah mendengar intrupsi jika kereta akan segera berangkat karena kondisi diluar semakin tidak terkendali. Detak jantung Kun kian tidak beraturan, dan matanya memincing melihat Huanran berusaha berlari menuju gerbong yang ia tumpangi.
"Huanran, cepat!"
"Kun—" perkataan Huanran tercekat akibat dua orang lelaki yang menarik badannya menjauh. Sontak Kun buru-buru melangkah untuk menjemput sang istri, namun pintu gerbong sudah tertutup lebih dulu menghalangi niatnya.
"Jaga mereka!" Isak Huanran yang berhasil menggertak batin Kun.
Kaki Kun menjadi lemah. Reyjune ikut menangis dalam dekapan ayahnya, melihat ibunya menghilang dari dalam keramaian, kini tak lagi bersama mereka. Kun berusaha berpikir agar dapat melakukan sesuatu, memohon agar kereta dapat berhenti barang semenit saja. Sayangnya, itu tak akan pernah disetujui oleh masinis, mengingat para demonstran kian bertambah dan memasuki area stasiun.
Wajah Kun berubah menjadi pucat pasih. Ia tak dapat marah, juga tak dapat mengeluarkan emosinya yang merebak. Dua tangannya hanya bisa mendekap kedua malaikat kecilnya yang belum memahami apa-apa. Orang-orang di sekitar Kun ikut memandangi mereka dengan lirih, memandangi Kun yang meneteskan air matanya sesaat setelah kereta semakin menjauh dari stasiun.
Tak lama berselang, telepon genggam Kun berderit. Si pemilik masih berusaha menjernihkan pikirannya, berakhir mencari tempat duduknya agar bisa menjawab panggilan yang masuk. Begitu mendaratkan diri di atas kursi, Kun ikut mendudukkan Reyjune di sampingnya selagi mengeluarkan telepon dari saku celana.
"Halo, Sicheng." Sapa Kun parau setelah menekan tombol hijau.
"Kak, udah jalan kesini?"
"Iya—gue udah ada di dalam kereta."
"Yang lain aman, kan? Kalau udah sampai di stasiun langsun telepon, ya?"
Kun menghela napas berat, berusaha untuk terdengar baik-baik saja. "Iya, makasih."
Telinga Kun sekadar mendengar adiknya mengucapkan kata penutup, berpamitan memutuskan sambungan dan menunggunya di sana. Setelah itu Kun meletakkan kembali telepon genggamnya ke dalam saku celana.
Pandangan matanya berair memandangi hamparan ilalang di luar kereta, satu tangannya mengusap kepala Reyjune lembut yang masih menangisi mamanya.
Masa sekarang
Reyjune mengakhiri ceritanya dengan mata yang digenangi air sendu. Semuanya ikut sunyi, merasa iba dengan kejadian yang menimpa keluarga Qian beberapa tahun lalu. Richene sepertinya begitu terpukul mendengar penjelasan kakaknya.
"Jadi setelah itu keluarga lo kira mama lo udah meninggal?" Tanya Marcel berhati-hati.
Reyjune mengangguk. "Karena katanya, gak ada kabar sama sekali dari mama. Kabar yang muncul hanya tentang beberapa perempuan yang di bunuh akibat konflik itu. Jadi keluarga baba yang di China hanya bisa merelakan dan menduga kalau mama udah gak ada."
Richene menutup matanya dengan satu tangan agar air matanya tidak terlihat di depan orang lain. Jinan mengusap lembut punggung Richene agar sahabat karibnya itu bisa segera tenang.
"Rey, maaf kalau gue lancang. Tapi, lo harus terbuka dan belajar menerima kehadiran mama lo. Ini bukan kemauan lo, keluarga lo, bahkan kemauan dia untuk terpisah, kan?" Ucap Jonathan. "Selagi dia masih ada, temui dia."
Marcel mengangguk setuju, lalu Dylan pun menambahkan. "Kalian tahu gak, kenapa Bu Seunghee bisa tahu kalau ternyata beberapa siswa dia selama ini adalah anak dia? Kenapa dia bisa ganti nama dan pindah kesini?"
"Mungkin, mungkin aja karena beliau ditunjuk menjadi penanggungjawab nilai salah satu anak donatur sekolah, alias nilainya Yaheskiel. Semua orangtua kita kan dekat, dan pasti Bu Seunghee tahu keberadaan Om Kun selama ini melalui Om Taeil."
"Makesense."
Reyjune kembali bersua. "Untuk itu—nanti gue tanyakan. And by the way, thanks atas saran dan waktu kalian semua untuk gue dan Richene."
Seseorang ikut bercakap sambil mengusap ujung matanya. "Jadi inget bunda." KataYaheskiel. "Seenggaknya gue juga bisa bertemu dia walaupun gue masih bayi, bahkan saat itu gue belum bisa melihat."
Keenan yang tak terlalu paham dengan beberapa cerita teman-teman barunya memilih melakukan hal yang sama dengan adiknya pada Richene, mengusap punggung Yaheskiel. Karena beberapa lelaki itu juga, Keenan mampu lebih kuat dan tidak terlarut dengan masalah keluarganya di Bangkok.
Melihat Reyjune yang akhirnya menceritakan semua keluh kesah atas apa yang terjadi, Marcel menghela nafas lega. Marcel juga memutuskan untuk meneruskan acara mereka, mengusir kesedihan yang masih berjalan. Namun sebelumnya itu, Marcel melirik Dean, adiknya yang masih terdiam meratapi peristiwa yang berkaitan dengan wanita yang kerap manusia sebut dengan kata ibu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Superior Mansion
Fanfiction[✓.] Superior Mansion, tempat di mana para pria-single-parent mapan dan berkelas tinggal bersama para buah hati yang beranjak dewasa. © HATESTRAWBERRY