Langkah kaki Reyjune semakin cepat saat dirinya tiba di sebuah rumah sakit besar yang terletak tak jauh dari SMA Origin. Ia bahkan tak bisa menunggu adiknya yang kesulitan mengejar langkahannya karena koridor rumah sakit yang dilalui cukup ramai.
Reyjune berhenti sesaat untuk membuka ponsel, bertujuan menghubungi sang ayah. Saat tersambung, ia segera bertanya, "ba—dimana ruangannya? Aku udah sampai di rumah sakit."
"Kamu ke ruang ICU."
"ICU?"
Raga Reyjune merasa jiwanya nyaris terlepas saat menemukan kata ICU yang diucapkan Kun. Dirinya terdiam sejenak, berusaha meredam keterpurukan yang tidak diharapkan.
"Rey?" Panggil Kun membuyarkan lamunannya.
"Iya—ba. Sekarang aku kesana sama Richene." Balasnya sebelum menutup panggilan, lalu menoleh ke belakang untuk menatap Richene.
Untuk kesekian kali Richene harus melihat Reyjune berlagak seperti orang bodoh kebingungan kala pikirannya sangat terbebani. "Kak, kenapa? Emangnya baba sama mama dimana?"
"ICU, Chene. ICU. Kita harus cepat-cepat kesana."
Richene mengangguk paham. Ia kembali berjalan bersamaan Reyjune, dengan satu tangan yang bertengger di bahu kakaknya. Richene sengaja agar dia mampu membantu Reyjune berjalan dengan baik tanpa menabrak siapa atau apapun dengan perasaan cemas seperti itu.
Setibanya di ruang ICU, Qian bersaudara segera mencari kedua orangtuanya, dan berakhir pada ranjang terujung di ruangan tersebut. Mata keduanya menemukan Huanran yang terbaring lemah dengan luka parah di sekujur tubuh, ia juga menggunakan alat bantu yang nyaris menghalangi seluruh wajahnya.
Sakit, sangat sakit hati Qian bersaudara menemukan ibu mereka benar-benar tak berdaya. Ditambah lagi, pria yang berada di samping ranjang Huanran terus menggenggam tangannya. Kun berusaha kuat, meski segalanya sangat sulit.
"Ran, bertahan ya. Anak-anak kita datang dan menunggu." Kun memohon dengan tangisnya yang tak terdengar. "Kita baru ketemu, Ran. Tolong bertahan, ya? Bertahan lihat dan jaga anak-anak sampai dewasa. Kita udah janji mau pulang ke Beijing, kan?"
Tangis Reyjune akhirnya pecah mendengar penuturan ayahnya yang kini merasa sangat jatuh. Reyjune beranjak untuk berdiri di sisi ranjang seberang, meraih pergelangan tangan Huanran untuk digenggamnya dengan lembut.
"Ma, ini Reyjune. Mama kenapa bisa kayak gini, ma? Reyjune dan Richene mau kasih mama kejutan loh, mama." Eluh Reyjune dan merengek seperti anak kecil.
"Rey, Rich, mama adalah korban tabrak lari. Dia ditabrak mobil saat dia menuju menuju sekolah kalian." Kata Kun kembali lirih pada kedua anaknya.
Richene tidak menangis, Richene tidak mengeluh. Namun jauh dalam benaknya, ia merasa jika dirinya merasa terpecah hingga berkeping-keping. Richene sedih, sayangnya Richene tak bisa menangis. Tangannya hanya mampu menggenggam kado pemberiannya seraya melihat setengah wajah Huanran yang lebam.
"Mama, mama bangun ya supaya Richene bisa sama mama." Batinnya perih tak berani mengungkapkan.
Selang beberapa menit, jemari Huanran bergerak. Itu membuat Reyjune yang menangis segera mendekat untuk berbisik. "Mama, ini Reyjune. Rey disini sama, mama, baba, dan Richene. Mama bangun ya, ma? Mama mau piknik keluarga di Beijing, kan? Kapanpun yang mama mau, Reyjune lakukan untuk mama. Asal mama juga harus kuat, mama harus bertahan."
Huanran memaksakan senyumnya, tersentuh dengan si sulung yang terlihat seperti anak kecil. Huanran berusaha meraih lengannya untuk dipeluk. Tahu jika ibunya memerlukan hal tersebut, Reyjune-lah yang memeluk Huanran dan terus membisikkan kata-kata penenang, masih sama seperti yang sebelumnya.
Mata Huanran menemukan Richene yang masih mematung di hadapannya. Perlahan Huanran menggerakkan kepala, mengisyaratkan agar Richene mendekat. Richene sangat paham, reflek ikut memeluk Huanran setelah Reyjune melepasnya. Richene hanya bisa diam, tak mampu mengeluarkan barang sepatah kata untuk sang ibu.
Kun terlihat bersandar pada tepi ranjang masih dengan menggenggam tangan Huanran. Ia sudah tak cukup kuat dengan air wajahnya yang sangat terpuruk.
Tiba-tiba, mesin monitor pasien di samping ranjang menimbulkan bunyi tidak stabil. Kondisi Huanran semakin memburuk, sangat memburuk dengan waktu yang singkat.
"Sus, suster!" Ucap Kun terguncang, berusaha memanggil petugas medis yang segera datang bersama dokter.
Dokter segera memberi penanganan bersama satu dokter residen lain. Kun bergeser, menarik anak-anaknya untuk membiarkan sang ahli menjalankan tugasnya. Di antara Keluarga Qian, hanya Reyjune yang tidak berhenti menggumamkan kata mama sembari melihat Huanran yang berjuang menjalani masa kritisnya.
Mereka hanya tahu jika Huanran sedang berjuang, mereka hanya tahu jika dokter harus bekerja semaksimal mungkin agar Huanran bisa kembali seperti sedia kala.
Sayangnya, semaksimal apapun usaha dokter membantu mempertahankan Huanran, sepertinya Tuhan berkehendak tak setuju. Mesin monitor pasien yang tadinya terdengar tidak stabil, kini menjadi datar. Mesin tak memperdulikan Keluarga Qian yang memohon agar Huanran mampu melewati sakitnya yang luar biasa.
Dokter berbalik, membungkuk beberapa derajat dan bercakap dengan halus. "Maaf, kami sudah bekerja sebaik mungkin. Namun Nyonya Min tidak bisa bertahan."
Para petugas medis segera bergeser, memberi ruang pda Reyjune dan Richene yang reflek menghampiri Huanran yang telah terlepas dari alat-alat bantuan. Mereka memeluk sang ibu, sang wanita yang telah berjuang untuk melihat dua buah hatinya.
Dengan langkah berat Kun kembali menghampiri kedua putranya, menangis usai mempertaruhkan dirinya yang sempat denial. Merasa dirinya sangat bodoh karena tidak bisa berbuat apa-apa bersama Reyjune dan Richene di atas kereta beberapa tahun yang lalu. Perpisahan mereka seolah terulang. Kun kembali kehilangan sosok ibu dari anak-anaknya, sosok wanita yang selalu mengisi ruang di hatinya untuk kedua kalinya. Namun kini untuk selama-lamanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Superior Mansion
Fanfic[✓.] Superior Mansion, tempat di mana para pria-single-parent mapan dan berkelas tinggal bersama para buah hati yang beranjak dewasa. © HATESTRAWBERRY