Levi menyesap teh nya dalam diam seraya menikmati waktu ketenangan ini bersama mantan anak buah nya.
Ya mantan sebab (name) tak ingin di anggap sebagai anggotanya lagi. Gadis itu bersikeras menganggap dirinya sudah keluar dari aliansi pasukan siap mati.
Levi mengalah ia tak ingin ada keributan di satu atap.
"Bagaimana dengan luka mu?" Tanya (name). Ia kini tengah melipat pakaian miliknya dan Levi yang telah di cuci bersih.
"Aku bisa buka perban ini setelah teh nya habis."
"Biar aku saja."
Levi terdiam sejenak memastikan bahwa indra pendengaran nya masih sehat.
"Apa?" Tanya nya meminta penjelasan.
"Aku yang akan melepaskan perban mu." Gerakan tangan nya terhenti sejenak. Kepala nya menoleh menatap Levi tanpa ekspresi.
"Aku yang memasang perban itu dan kau akan kesulitan melepaskan nya seorang diri. Biar dipaksa pun luka mu akan terbuka lagi."Penjelasan singkat itu hanya di respon oleh anggukan kepala oleh si pendengar. Levi kembali menyesap teh hingga tandas. Bangkit dari kursi untuk pindah duduk di sebelah (name) berniat membantu gadis itu melipat pakaian. Biarpun ia kejam dirinya masih punya rasa balas budi pada seseorang yang telah memberinya pertolongan. Dilihat gadis itu tak protes sama sekali ketika Levi mengambil salah satu pakaian untuk di lipat. Biarpun cara melipat nya beda hasil kerjanya masih terbilang rapih untuk ukuran pria.
"Kapten sering mencuci baju dan melipat nya sendiri?" Gadis itu bertanya tanpa menoleh.
"Hn. Kenapa?"
Hening sejenak, "lipatan anda rapih."
Setelahnya hening kembali menyapa. Levi maupun (name) keduanya sibuk dengan pekerjaan pakaian. Menurut Levi mungkin dengan cara ini-membantu gadis itu mengerjakan tugas rumah- dirinya bisa menghilangkan kecanggungan padanya. Jika diingat selama gadis itu masih berada dibawah tanggung jawab nya mereka jarang sekali berbicara satu sama lain, rutinitas interaksi yang sering mereka lakukan hanyalah saling menatap namun hanya sekilas. Ketika pertama kali Levi menatap manik gadis itu dunia nya seakan berhenti ikut terpana menyaksikan nya. Padahal hanya sepasang bola mata cerah dan ia sudah dibuat terpana seperti itu.
Pekerjaan selesai, (name) bangkit meletakkan pakaian masing-masing ke tempatnya. Levi belum mengetahui jika pakaian nya berada satu lemari dengan pakaian (name) dan baru sekarang ia tersadar akan hal itu.
"Dimana kau meletakkan pakaian ku?"
"Di lemari ku kenapa?"
Bahkan gadis itu tak lagi berbicara formal padanya. Levi senang sekaligus merasa tak terbiasa. Biasanya hanya Hanji dan Erwin yang menggunakan kalimat santai jika tengah berbicara padanya, sisanya memakai bahasa formal.
Sebagai penutup pertanyaan ia menggeleng. (Name) faham, kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti karena nya.
Ya jika itu langkah Levi ia tak ingin terhenti di tengah jalan hanya karena perasaan tidak jelas dan rumpun ini. Semua masih abstrak, hati dan pemikiran nya masih bertolak belakang. Menciptakan sebuah keraguan untuk pergi meninggalkan tempat penuh kenangan ini.
Dirinya adalah pria brengsek sementara gadis itu adalah gadis baik-baik seharusnya gadis itu mendapatkan pria yang baik juga namun kenapa ia tak ingin melepas nya? Hati ingin namun tidak dengan akal pikiran. Dirinya yang telah menggores luka terdalam di hati gadis itu. Membuang mayat seseorang yang disayangi nya tanpa sengaja.
Keheningan ini menciptakan suasana sendu tak berarti. Levi mengusap wajah dengan gusar mencoba menetralisir fikiran nya. Mungkin efek obat yang (name) berikan mengacaukan sedikit hormon tubuh nya saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Who Will Be Hurt? [End]
RomanceDirinya merapatkan mantel yang dikenakan nya guna menghalau rasa dingin. Fikiran nya kosong serta dirinya tak tau harus pergi kemana. Sebuah fakta yang sangat memukulnya ini membuatnya hampir hilang kendali. Ia berhenti melangkah di sebuah jembatan...