07. Pindah?

13K 1.1K 24
                                    

Ayesha membuka matanya perlahan. Ruangan serba putih dihadapannya, rasanya sangat asing. Ayesha masih belum bisa memfokuskan matanya secara jelas. Rasa berat di kepalanya membuatnya sakit ketika membuka mata.

Ayesha memegang kepalanya memijitnya perlahan untuk meredakan rasa sakitnya. Matanya kembali terpejam. Dia tak ingin pusing memikirkan dimana dia sekarang, yang jelas Ayesha masih membutuhkan istirahat yang cukup agar rasa sakit di kepalanya mereda.

Setelah beberapa saat, rasa sakit dikepala Ayesha sedikit berkurang. Ayesha kembali membuka matanya. Dia masih berada diruangan yang sama. Ayesha menoleh kearah kiri. Matanya terbelalak saat melihat laki-laki dengan jas dokternya dengan tangan yang menopang pada dagu sedang menatapnya.

Ya Tuhan, baru saja Ayesha bangun kenapa laki-laki itu lagi yang ada dihadapannya. Emang harus banget ya dia yang Ayesha lihat pertama kali?!

"Kamu udah sadar?"

"Masih pingsan!" Jawab Ayesha lemah tapi masih saja di sertai tanda seru.

"Masih pingsan kok bisa jawab."

"Udah tau masih aja tanya!"

Ayesha mendengus sebal. Bisa ga sih orang ini sehari aja ga bikin Ayesha kesel! Baru aja bangun Ayesha sudah dibuat kelas dengan Eza.

Ayesha berusaha mendudukan dirinya. Dengan cekatan Eza membantunya. Kali ini Ayesha tak menolak. Tidak bisa di pungkiri jika dia masih belum kuat menopang tubungnya sendiri.

"Makasih.."

Ucap Ayesha lirih, hampir seperti bisikan. Ya ini hasilnya kalau mah bilang makasih tapi masih ada embel-embel gengsi.

"Apa-apa ga denger."

Sebenernya sih Eza denger. Cuma pura-pura aja biar Ayesha ngomongnya lebih kencang lagi.

"Makasih."

"Makasih buat apa?"

Eza berlagak sok tidak tau. Padahal dalam hatinya dia sudah jingkrak-jingkrak kegirangan hanya dapat ucapan terima kasih dari wanita itu.

"Karena lo udah tolongin gue."

"Tolongin apa ya? Yang jelas dong, kamu ngomongnya jangan setengah-setengah."

Ayesha menggeran kesal. Ini orang maunya apa sih?! Heran deh Ayesha.

"Ga jadi bilang makasih! Lo nya ngeselin!"

"Dih galaknya kumat."

Ayesha melotot, galak dia bilang?! Mana ada Ayesha galak. Dia kan baik dan lemah lembut. Iya kan?

"Lo bilang apa tadi?!"

"Kamu tuh jangan galak-galak. Ga inget apa tadi aja peluk-peluk saya."

Ayesha melotot horror. Mana ada dia peluk-peluk Eza. Ga pernah kan? Gak pernah!

"Mana ada! Gue ga pernah peluk lo ya!"

"Terus tadi yang peluk saya sambil bilang 'gue takut' itu siapa ya? Hantu?"

Ayesha memutar memorynya. Mengingat kejadian sebelum dia pingsan. Mulai dari hujan sangat deras yang membuatnya harus berteduh di emperan toko. Petir yang membuat Ayesha takut bukan main. Eza yang menelfonnya dan Ayesha meminta bantuan Eza. Beberapa saat kemudian Eza datang, dan yang terakhir Ayesha....

Ayesha memeluk Eza.

Ayesha malu mengingat hal itu. Kenapa dia harus memeluk Eza sih?! Emang ga ada reflek lain apa waktu ketakutan selain meluk?

Eza terkekeh melihat ekpresi Ayesha. Sepertinya gadis itu sudah mengingat semuanya.

"Mau reka ulang, Ay?"

"GUE MAU PULANG!"

***

Sudah dua minggu Ayesha tidak memperlihatkan batang hidungnya didepan Eza. Dia selalu menghindar setiap kali hampir bertatap muka dengan dokter yang satu itu.

Setelah insiden peluk-peluk reflek itu. Ayesha masih malu setengan mati!

Tak ingin memikirkan terlalu jauh hal itu. Ayesha lebih baik membantu Alya memasak di dapur.

"Ada yang bisa Ayesha bantuin ga, Mah?"

"Gausah kamu duduk aja, yang ada nanti satu rumah keracunan lagi."

Bukan hal baru lagi jika Ayesha tidak bisa memasak. Ayesha memang kompeten dengan segala hal. Dia cantik, cerdas, dan bisa mengerjakan sesuatu dengan baik. Namun dalam hal memasak. Hancur.

"Bisa aja kan kali ini masakan Ayesha enak."

"Udah gausah, lagian ini mama juga udah selesai masaknya."

Ayesha berjalan menuju sofa ruang tamu. Diikuti dengan Alya yang membawa makanan hasil masakannya.

"Ini berkas apa, Mah."

Ayesha membuka amplop yang tergeletak di meja. Yang di dalamnya terdapat surat kepemilikan atas nama Papanya.

"Itu loh, temennya Papa lagi butuh uang. Terus papa beli deh apartemennya."

"Ditempatin sama siapa emang? Kan Mas Arkan udah ada rumah sendiri."

"Ga tau juga mau di tempatin siapa. Kamu kayak ga tau Papamu aja, kalo udah kasihan sama orang kayak gimana."

Ayesha kembali mengecek berkas apartemen yang di beli Papanya. Menurut yang Ayesha baca apartemen ini tidak jauh dari kantor Kakanya, tempat dia bekerja.

Bukannya lebih baik apartemen ini dia tempati saja. Mengingat betapa padatnya pekerjaannya, yang mengharuskan Ayesha pulang malam. Karena semenjak Arkan menikah dan mengurusi si kembar, Ayesha sedikit mengambil alih pekerjaan Arkan. Ditambah jarak kantor dan ramahnya cukup jauh, membuat Ayesha semakin lelah di perjalanan.

"Aku tempatin aja deh, Mah. Lumayan kan deket sama kantor. Biar bolak-baliknya ga capek."

"Yaudah kalau gitu, kamu manti minta bantuan Pak Arya aja buat mindahin barang-barang kamu kesana."

"Mama jangan kangen loh ya kalo Ayesha pindah."

"Ga akan kangen, Mama kan masih punya satu anak di rumah."

"Masa anak paling cantiknya pindah ga kangen."

"Ngapain kangen sama kamu. Orang kamu di rumah bikin rusuh aja."

Ayesha mendengus. Ini kenapa sih Mamanya jadi suka banget ngata-ngatain Ayesha. Perasaan dulu Ayesha di puji-puji deh.

"Setelah ga ada Mas Arkan di rumah, kenapa jadi aku sih yang di nistain."

"Kamu tau, Sha. Nistain anak sendiri itu enak banget. Sumpah, Mama ga bohong."

"Iya Mah, iya."

Bisa di lihat sendiri kan keabstrakan Arkan, kakaknya itu turunan dari siapa.

Dominant GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang