"Gisel, Alhamdulillah akhirnya kamu sadar juga." Mama Nita memeluk Gisel yang sedang bersandar di atas ranjang rumah sakit.Gisel membalas pelukan mamanya itu dengan senyum di wajah.
"Mama apa kabar?" tanyanya saat melepas pelukan itu.
"Mama baik, sayang. Mama, sehat." Jawab mama Nita tersenyum sambil mengusap kepala Gisel.
"Kepala kamu, sakit?" Lanjutnya menatap nanar kepala Gisel yang diperban.
Gisel tersenyum. "Sakit, tapi nggak terlalu kok. Masih untung gak sampai lupa ingatan, hehe," ucapnya terkekeh.
"Huss, jangan ngomong gitu. Mama tuh rasanya mau kena serangan jantung pas denger kamu kecelakaan. Untung kecelakaannya dekat rumah sakit, jadi bisa cepat ditangani dokter. Kamu tau, kata dokter, telat beberapa menit aja nyawa kamu bisa gak ketolong." Mama Nita membawa Gisel ke dalam dekapannya.
Sungguh, ia sangat bersyukur keadaan Gisel sudah baik-baik saja. Saat seseorang mengabarinya bahwa Gisel menjadi korban kecelakaan beruntun di dekat rumah sakit, ia benar-benar shock. Baru beberapa menit lalu ia memberitahu bahwa Citra mengalami kecelakaan beruntun, sekarang ia yang dikabari bahwa anaknya menjadi korban kecelakaan beruntun.
Setahun yang lalu, saat Gisel hendak melihat keadaan Citra di rumah sakit, ia mengetahui kenyataan bahwa sahabatnya itu mengalami koma. Ia mendengar percakapan Gerald dengan dokter saat bersembunyi di balik tembok. Gisel benar-benar terpukul dengan kenyataan itu. Ia berlari keluar dari rumah sakit dan masuk ke dalam mobilnya yang ia parkir sembarang di pinggir jalan.
Gisel terus saja menangis di dalam mobil tanpa tau ada bahaya yang mendekatinya.
Sebuah mobil truk menabrak mobil Gisel yang sedang parkir di pinggir jalan. Truk itu sebelumnya melaju dengan normal, hingga kecepatannya tiba-tiba menjadi sangat cepat dan tak terkendali. Beberapa mobil lain juga ikut menjadi sasaran truk itu. Tetapi yang lebih parah adalah mobil Gisel.Gisel bahkan tak sempat berpikir saat tiba-tiba sesuatu menghantam mobilnya dan menyebabkan kepalanya terbentur. Mobilnya rusak parah. Pecahan kaca mobil menggores lengan dan wajah Gisel. Darah mengalir dari lengan dan wajahnya. Kepalanya pun tak jauh beda. Tubuhnya sudah terhimpit di dalam mobil. Rasanya suaranya tak dapat keluar. Tubuhnya seolah mati rasa. Hingga kegelapan pun mengambil alih kesadarannya.
Semua orang yang menyaksikan kecelakaan itu benar-benar histeris. Mereka berlari untuk melindungi diri sebelum akhirnya kecelakaan itu berhenti memakan korban.
Korban kecelakaan segera diselamatkan oleh beberapa orang dan membawanya masuk ke rumah sakit. Beruntung tidak ada mobil yang meledak. Beberapa menit setelah kejadian, tim polisi sudah ada di tempat kejadian.
Gisel pun sudah ditangani oleh dokter. Kepalanya mengalami pendarahan hebat akibat benturan keras. Ia sempat mengalami kritis sebelum mamanya datang. Dan berakhir dengan Gisel yang mengalami koma.
Setelah mendengar hal tersebut, mama Gisel langsung menghubungi suami dan anaknya yang berada di luar negeri. Dan malam itu juga mama Gisel langsung membawa Gisel ke negara dimana suami beserta anak sulungnya berada. Hal itu atas permintaan dari sang suami sendiri.
Selama setahun itulah Gisel dirawat di rumah sakit luar negeri. Dan selama itu pula ia beserta mamanya meninggalkan Indonesia. Tidak ada yang mengetahui bahwa Gisel kecelakaan hanya sang mama dan sepupunya. Di sekolah pun semua temannya hanya tau bahwa Gisel telah pindah sekolah.
Keadaan sekarang sudah jauh berbeda dengan setahun yang lalu. Ada yang hilang dari kehidupan Gisel. Tapi sepertinya ia belum menyadari hal itu, atau mungkin saja ia memang tidak peduli.
"Oh iya ma, sekarang kita lagi gak di Indonesia 'kan?" tanya Gisel saat menyadari sesuatu.
"Iya, kita ada di Australia sekarang."
"Humm... pantes, pas aku buka mata aku liatnya kak Freeza," ucap Gisel dengan senyum tipis.
Mamanya ikut tersenyum melihat senyum tipis itu di wajah Gisel. Wajah yang sudah tak sama lagi seperti terakhir kali ia lihat. Ia tidak yakin akan reaksi Gisel nanti setelah melihat apa yang berbeda dari wajahnya.
***
Suasana ruangan Gisel kini dipenuhi oleh keluarganya. Ada orangtuanya, kakaknya, nenek dan kakeknya beserta keluarganya yang lain.
"Akhirnya Gisel sadar jugaaa," pekik seorang cewek berambut sebahu sambil memeluk erat Gisel.
Gisel meringis karena pelukan itu. Lengannya masih sakit karena luka goresan kaca. Bukan sekedar goresan sih tapi tusukan soalnya pecahan kacanya nancap di lengan Gisel.
Seorang cowok yang berdiri di dekat mereka pun langsung menjitak kepala cewek yang memeluk Gisel.
"Eh, itu Gisel kesakitan bego!" seru cowok itu.
"Ishh, Lo juga jitaknya jangan kenceng amat! Sakit nih!" sungut cewek itu.
"Lo juga meluk Gisel kekencangan bego!" sentak Vian. Yap, Vian adalah sepupunya Gisel, begitupun dengan cewek tadi yang bernama Emily.
"Stop stop!" Gisel langsung menghentikan perdebatan antar saudara itu. Vian dan Emily langsung bungkam. Vian dengan ekspresi sinis melihat Emily. Emily dengan ekspresi kesalnya.
"Viaaann!" Pekik Emily yang membuat seluruh penghuni ruangan itu langsung menutup telinga.
"Apa sih Lo, teriak teriak! Budek nih telinga gue denger suara cempreng Lo!" Vian melempar tatapan kesal pada Emily.
"Lo ngapain natap natap sinis kayak gitu heh? Gue gak suka!"
"Dihh, serah gue dong! Mata, mata gue. Yang natap juga gue. Apa masalahnya," Kata Vian dengan santai mengabaikan Emily yang sudah siap meledak. Cewek itu paling benci dan tidak suka jika ditatap sinis oleh seseorang.
"Hei hei! Ada apa sih ribut-ribut?" Seorang perempuan tua menghampiri mereka.
"Vian tuh nek!" Rengek Emily pada orang yang dipanggilnya nenek itu.
"Hm, kalian ini ya, cucu nenek baru sadar dan kalian sudah buat keributan di depannya? Apa itu pantas?" tanya nenek mereka dengan suara tak menandakan emosi apapun.
Keduanya kembali bungkam setelah sang nenek angkat bicara. Sementara itu, Gisel di tempatnya sudah mati-matian menahan tawa melihat ekspresi kedua sepupunya. Jika nenek sudah berkata, tutuplah mulut seketika.
"Omaa, peluukk!" rengek manja Gisel pada neneknya yang masih menatap kedua sepupu itu. Di keluarganya hanya Gisel yang memanggil neneknya dengan sebutan Oma. Menurutnya itu lebih cocok mengingat neneknya itu blasteran Jerman-indonesia. Tapi tidak ada bedanya juga sih, mau dipanggil nenek atau Oma, tidak masalah.
"Cucunya Oma kangen yaa? Sini Oma peluk!" Omanya itu langsung memeluknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Gisel tersenyum dalam pelukan Omanya. Begitu halnya dengan mereka semua yang ada di ruangan itu. Sejak tadi hanya diam memandangi perdebatan anak-anak itu hingga akhirnya datang sang nenek melerai.
Bahagia yang sederhana. Cukup melihat mereka yang kita sayangi tersenyum bahagia, maka kita pun akan ikut bahagia bersamanya.
"Tentu itu hanya sebagian orang, tidak semuanya."
.
.
.
.Huhuu updatenya telat banget...maap ya
Makasih buat kalian yang menyempatkan waktu buat baca cerita gaje plus ngaret ini:( lama banget up nya:((D
an maaf juga untuk komen² yg gk prnh ku balas, bukan berarti aku gk mau balas, tpi ya itu, sinyal di rumah gk bagus...cuma satu atau dua biji, suka ngilang, terus bukan 4G, 3G atau H, tapi E, jelek kan sinyalnya??:((
Sekali lagi maap buat kalian yang nunggu lama, nunggu itu nggak berat kan? Cukup rindu aja yang berat, eh?:))
See you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Badgirl Is Mom?
Teen FictionMemiliki anak di usia muda bukanlah hal yang diharapkan Gisel, apalagi mengingat bagaimana anak itu bisa hadir ke dunia. Dan karena anak itu, masalah datang dalam hidupnya. Apalagi saat sahabatnya mengetahui ia memiliki bayi. Dan yang menjadi teka-t...