Chapter 1

42.4K 2.6K 96
                                    

Every time when I look in the mirror.
All these lines on my face getting clearer.
The past is gone.
It went by, like dusk to dawn
Isn't that the way.
Everybody's got the dues in life to pay.

Lantunan musik hard rock dari grup band yang tidak kukenal mengalun cukup keras di sepenjuru kamarku. Perlahan, kedua mataku terbelalak tatkala ditendang secara paksa dari alam bawah sadar. Bibirku konstan menggerutu. Selalu. Seperti ini. Di atas jam dua belas malam, kamar di samping rumahku menyetel lagu-lagu lawas yang sangat memuakkan. Satu kata mampu mewakili segalanya, berisik.

Mataku merem-melek menahan kesal akibat terbangun tengah malam. Kutarik selimut hingga menutupi wajah, kemudian berusaha terpejam. Akan tetapi, hasilnya nihil. Aku sulit sekali kembali ke alam bawah sadar. Padahal, tadi sempat dilamar Shawn Mendes!
Tidak tahan dengan suara bising yang  memekakkan telinga, kuberanikan diri untuk melenggang ke balkon kamar dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.

Sebuah kamar dengan jendela tertutup gorden yang menghadap tepat ke balkon kamarku menjadi asal muasal alunan musik hard rock itu terdengar.

"Kecilin, dong." Meski aku tahu tidak akan mendapat balasan, bibirku tetap bersua. Kedua tanganku terulur menutup daun telinga. Jengkel setengah mati terhadap kebiasaan anak laki-laki abnormal yang tinggal di sebelah rumah. Lagi-lagi, hembusan angin malam yang menyahut teguranku. Si pemilik tampaknya acuh tak acuh dan asik mendengarkan musik hard rock tersebut. Kuhentakan kaki sebal di lantai balkon seraya memelesat menuju kamar abang di lantai bawah.
Oke, sepertinya, malam ini aku harus menumpang tidur di kamarnya, lagi.

"Abang, bukain," pintaku, memelas. Kugedor pintu kamarnya, barangkali ia tertidur pulas hingga tidak mengindahkan. Satu ketukan, tak terdengar jawaban.
Dua sampai lima, tanggapan yang keluar justru erangan abangku yang merasa terganggu.

Malas menunggu terlalu lama di ambang kamarnya, kudorong pintu itu keras-keras hingga terjeblak lebar. Huh, jurus tendangan bulan sabit yang diajarkan di ekstrakulikuler pencak silat berguna juga di saat seperti ini. Ketika pintu kamar terbuka, indra pengelihatanku disambut sesosok pria jangkung yang sedang meringkuk di bawah selimut tebal.

Ibu yang terusik dengan kebisingan di kamar sebelah, akhirnya terbangun dengan langkah terserat sembari mengucek mata. "Ada apa, sih, Ron?"

Aku mengerucutkan bibir. Tak perlu dijelaskan, Ibu tampaknya sudah paham dengan kode yang kuberikan.

"Demitrio lagi?" Beliau mulai putus asa. "Sharon, Demitrio nggak seburuk yang kamu pikirkan." Ibu pun mengulas senyum lebar tatkala kedua matanya memerah menahan kantuk.

"Lantas? Dia eksplosif?" Kuseret langkah malas memasuki kamar Bang Aksa. Ibu mengekori di belakang.

"Bukan gitu, Ron. Jangan nilai seseorang hanya dari cover-nya. Ingat?"

Jujur saja, aku tidak habis pikir dengan wejangan ibu mengenai anak laki-laki misterius di samping rumah.

Kenapa ibu tak pernah absen membela Demitrio? Mengubah citra Demitrio senormal anak-anak yang lain?

"Iya, Bu, iya." Untuk mempertahankan kesopanan, kulayangkan seulas senyum singkat kepada beliau seraya membaringkan tubuh di sisi ranjang Bang Aksa.

Setelah memastikan suasana kembali kondusif, Ibu berbalik, mulai menarik langkah. Akan tetapi, ketika menyentuh daun pintu, beliau sempat menengok ke belakang. Tatapannya menyelidik ke manik mataku. Tegas, sekaligus lembut. "Besok hari pertama kamu sekolah 'kan, Ron? Tidur sana, jangan sampai kesiangan. Besok hari pertama kamu jadi anak putih abu-abu."

Perkataan ibu mengingatkanku pada satu realita.

Hari pertama sekolah! Itu artinya, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah akan berlangsung, besok!

Dan, tentu saja aku tidak mau mengacaukan hari pertama di bangku SMA hanya karena bangun kesiangan. Dengan cepat, kupejamkan mata dan mulai merapal berbagai doa, hingga akhirnya kesadaranku perlahan menghilang. Pupus. Aku pun tertidur.

***

"SHARON, LO APAIN LAGI PINTU KAMAR GUEEE."

Untuk sesaat, aku tersedak makaroni keju buatan Ibu ketika teriakan Bang Aksa merayap hingga ke meja makan. Keteguk segelas air mineral sebelum menyahuti omelannya. "Maaf, Bang. Salah sendiri kemarin gue ketuk pintu lo berkali kali tapi nggak dibukain."

Bang Aksa mendengus gusar memerhatikan daun pintunya yang sedikit rusak akibat tendangan bulan sabitku kemarin malam. Kemudian, cowok berkacamata minus itu berjalan tergesa ke meja makan seraya melayangkan tatapan dingin yang dapat diartikan, tanggung-jawab-lo.

"Siapa yang mau benerin pintu gue, heh?"

Aku mendecak. "Elah, gampang."
Kulahap makaroni keju tersebut hingga suap terakhir tanpa memedulikan gerutuan Bang Aksa. Bagiku, ini sudah biasa. Bahkan, terlalu biasa. Mendobrak pintu kamarnya merupakan rutinitasku jika Demitrio sudah berulah dengan menyetel lagu lawas bertempo cepat. Indra pendengaranku tidak tahan, sungguh.

Omong-omong, apa aku sudah memperkenalkan kalian siapa Demitrio? Tetanggaku yang sangat misterius itu?

Belum, ya?

Oke, kuberi tahu sekarang.

Namanya Demitrio. Usianya 16 tahun. Dia menempati rumah minimalist tak terawat di samping rumahku, tinggal bersama nenek tua yang bernama Maar. Baik Nenek Maar atau Demitrio tak pernah bersosialisasi dengan warga sekitar. Meski Demitrio dan Nenek Maar tetangga sebelah rumahku, kami tidak pernah membangun interaksi. Sama sekali tidak. Bisa dihitung dengan jari kapan Demitrio keluar rumah selama 16 tahun terakhir. Dia anak laki-laki abnormal yang pernah kukenal.

Kami tidak pernah mengobrol. Sedikit yang kutahu tentang Demitrio, itu pun menurut rumor dan gosip yang beredar dari anak-anak komplek perumahan ini.

Hobi Demitrio menyetel lagu-lagu lawas yang sangat memuakkan dengan mixtape-nya. Cowok itu seolah beraktivitas pada malam hari dan mengurung diri saat siang. Tak ada yang tahu apa dan bagaimana dia sekarang.

"Sharon, ayo udah telat!"

Aku tersentak. Dengan cepat, kulirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan. Sepuluh menit lagi! Sepuluh menit lagi gerbang sekolah akan ditutup! Sial, karena menceritakan Demitrio aku jadi lupa waktu. Kugaet tas ransel lalu bergegas menyusul Bang Aksa di teras rumah.

***


a/n
Yeay! Cerita baru lagi.

By the way, cerita ini terinspirasi dari banyaknya siswa yang nggak suka pelajaran sejarah 😂

Menurut temen-temen sekelas, pelajaran sejarah itu ngebosenin parah! But, aku ingin mengubah peresepsi tersebut dengan membuat cerita Incredible Mixtape. Pelajaran sejarah itu asik!

Sebagai anak IPS, aku suka banget pelajaran ini WKWKWK.

Dan jujur aja, aku pengen buat cerita yang mengandung pelajaran-pelajaran sejarah di sekolah namun bertema teen literature. Akhirnya, lahir juga Incredible Feeling

Sincerely Yours,
Diffean

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang