Chapter 19

10.1K 1.4K 14
                                        

Luka itu kembali tergores. Basah. Tak pernah membaik hingga akhirnya dipaksa menguak.

Tim medis berpakaian putih berusaha menstabilkan detak jantung Nenek Maar yang melemah, akan tetapi hasilnya nihil. Nenek tua yang biasanya tersenyum ramah dengan kursi roda setianya kini terbujur kaku dipeluk kain kafan. Lantunan ayat suci bergema di sepenjuru ruangan. Duka menyelimuti rumah bernomer 19. Beberapa warga komplek Perumahan Semanggi turut hadir, segelintir anggota keluarga Demitrio pun melakukan hal yang sama. Tetapi, tidak dengan sosok itu sendiri. Sosok dingin nan misterius yang kini tersudut di pojok kamarnya sambil memeluk lutut. Ia membenamkam kepala dalam-dalam tanpa mau bergabung dengan yang lain.

Aku yang menyaksikan kejadian tersebut secara langsung merasa sesak.

"Demitrio." Kupanggil namanya, hati-hati. Di samping daun pintu kamar serba monokrom tersebut, kuketuk pintunya perlahan sesaat sebelum menarik langkah ke dalam.

Demitrio menengadah. Ada lingkaran hitam di bawah kelopak matanya. Rambutnya acak-acakan. Tatapannya sayu, kosong, dan menyedihkan. Satu kata yang mampu mendeskripsikan keadaan Demitrio saat ini. Keputus asaan. "Ron, gue nggak bisa nangis lagi karena terlalu sering berteman dengan luka kali, ya?" Cowok itu pun memaksaan seulas senyum, meski kutahu ada sebongkah batu besar yang menghimpit dadanya.

Aku mendekat ke arah Demitrio. Lalu, ikut berselonjor tepat di sebelahnya.

"Mau tau cara keluar dari sini?"

Ia menoleh.

"Berdamai dengan masa lalu. Ke bawah, lalu temui keluarga besar lo di sana. Menyelesaikan. Bukan meninggalkan."

"Tau apa lo tentang masa lalu gue?" sindir Demitrio, tajam. "Lo nggak pernah ngerti, Ron, gimana rasanya jadi bahan bullyan fisik dan verbal bahkan dikucilkan di sekolah. Lo nggak pernah paham gimana rasanya ... hampir setiap hari kedua orangtua lo berantem dan saling banting barang-barang. Lo nggak pernah tau  gimana rasanya ketika keluarga tercerai berai dan mereka berdua memilih untuk menikah lagi masing-masing."

Demitrio menggeleng frustrasi. Ia mengacak rambutnya putus asa. "Selama ini, gue tinggal bareng Nenek karena enggan memilih harus hidup bersama Mama atau Papa. Gue muak punya saudara tiri dan mama-papa tiri karena kedua orangtua gue memutuskan menikah lagi. Lo tahu, alasan gue mau sekolah di sekolah umum karena siapa? Nenek. Karena nenek juga gue jadi rajin dateng ke psikolog."

"Tapi...." Kalimatku menggantung di udara. "Lo bisa memaafkan kesalahan nyokap lo yang nikah lagi, Dem."

Demitrio menghela napas panjang. Ia enggan menjawab.

"Gue yakin, lo sangat rindu ketemu bokap dan Ryan kakak lo di bawah sana. Tapi, gengsi dan ego mengalahkan semuanya." Aku menatap wajah Demitrio lamat-lamat. Berusaha meyakinkan. "Jangan sampai, ada penyesalan seperti kejadian yang menimpa nyokap lo terulang kembali. Saat bokap dan Ryan udah nggak ada, lo yang nyesel sudah menyia-nyiakan mereka selagi masih hidup."

Seketika, kurasakan sesuatu yang berat bersadar di bahuku. Mataku mengerling mencari tahu akibatnya. Ternyata Demitrio yang sedang menangis dalam diam. Kristal bening meluruh juga bersama luka yang belum sepenuhnya luluh. Kutepuk bahunya lirih beberapa kali untuk menenangkan.

Berada di situasi seperti ini membuat pandangan mataku terasa buram. Satu kali kedipan saja, aku yakin, air mataku tumpah ruah.

"Lo bakal baik-baik aja, Dem. Ada gue. Ada Ryan. Ada bokap lo. Ada mama tiri lo yang nggak kalah perhatian."

"Lo tau gue punya kakak gue Ryan dari mana? Gue nggak pernah cerita, tuh," timpalnya sambil memutar bola mata. Cowok itu bangkit dari posisinya. Mengusap kasar matanya untuk menyeka kristal bening. "Dan, satu lagi, apa lo tau alasan gue nggak suka sama Ryan, mama dan papa? Janga sok tau."

"Lantas, kenapa?"

"Waktu itu, gue ngajak Ryan tinggal sama Nenek daripada sama Papa atau Mama. Tapi, Ryan pilih sam Papa. Gue nggak suka di situ, gue males ketemu Ryan. Dia setuju Mama sama Papa nikah lagi. Dia nurut-nurut aja dengan keputusan orangtua kami."

"Dem ... se-nggak sukanya lo sama mereka berdua, itu tetap keluarga lo. Apa lo nggak merindukan mereka?"

Hening. Cowok itu tampak sibuk mengeluarkan emosi.

"Turun yuk sama gue?"

***

Dugaanku selama ini, Demitrio rindu papa dan kakaknya. Aku tak mau cowok misterius itu menyesal untuk kesekian kali ketika dua orang yang ia sayang itu pergi lantaran dikalahkan ego serta gengsi.

Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat sorot kerinduan. Begitu pula dengan papa dan kakaknya.
Mereka berdua hanya saling tatap dengan jangka waktu lumayan lama. Hingga suara bariton pria berambut cepak dengan pakaian hitam menyeruak, "Papa kangen banget sama kamu, Rio."

"Gue juga, Rio. Tapi, selama ini telpon-telpon gue nggak pernah lo angkat."

Demitrio mengalihkan pandangan, meski kutau dia ingin melepas rindu. Ketidaksukaannya pada Ryan dan papanya lambat laun meluruh karena sebenarnya ia hanya perlu waktu. Hanya itu yang ia butuhkan saat ini. Agar lukanya dengan cepat memulih. Agar abu-abu di hidupnya akhirnya beralih.

***

a/n

Maaf. Kaku banget ya kayak kanebo kering? 😭 efek lama ngga nulis astaga. Semoga masih suka ya :"

Umm, kayaknya, karena bentar lagi cerita ini bakalan tamat, aku mau bikin cerita baru lagi. Yash!

Sedikit spoiler, cerita baru nanti bakalan kayak Connection Your Internet gitu deh. Enggak baku sama sekali, dan satu part maksimal 500 word. Atau 400 maybe (?)
Gitulah. Terus juga konfliknya yang ringan-ringan aja ala anak SMA. Lagi-lagi, genre-nya teenlit. Masih cooming soon ya! ❤

Sincerely,
Diffean

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang