Chapter 21

10.1K 1.4K 54
                                    

"Gimana perkembangan laporannya?" tanyaku seraya mendaratkan ransel di sebelah Demitrio. "Katanya, lo ke perpustakaan kota?"

Hening. Demitrio tidak mengangkat wajahnya sedikit pun dari atas meja. Kebiasaan, huh.

Demi apa pun, ini masih jam enam lebih lima menit. Masih terlalu pagi untuk cowok ini tidur di kelas. Bahkan, bel masuk pembelajaran saja belum menyanyi dia sudah duluan tertidur.

Dengan kesabaran yang tersisa, kucolek bahu Demitrio. Namun, usahaku enggan membuahkan hasil.

"Dem, ini masih pagi," dumelku, kesal. Refleks, aku teringat kalau cowok yang satu ini hobi mendengarkan musik rock di jam dua belas malam. Dugaanku, hobi Demitrio tidur di kelas tak lain tak bukan juga karena kebiasannya ngalong ketika malam hari.

Erangan dari Demitrio yang merasa terganggu membuat decakan girang meluncur dari bibirku. "Bangun, kek, gue mau tanya perkembangan tugas mapel sejarah. Hari ini 'kan ada jamnya Bu Indry."

Mengangkat kepalanya sedikit dari meja, Demitrio bergumam tidak jelas. "Ron, kurang seru bikin laporan kalo datanya nggak valid." Seperti dugaanku, setelah berbicara begitu, ia kembali menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan.

Astaga, benar-benar Mr. Tembok. Apakah mengangkat kepala dari meja sangat berat?

"Gimana caranya bikin bukti-bukti valid kalo kita aja belum lahir saat peristiwa itu terjadi?" Kedua alisku bertaut. Memandangkan dengan sorot menuntut penjelasaan.

"Lo mau pinjem mesin waktunya Doraemon? Lucu."

Menguap sesaat, Demitrio menjetikkan jemarinya di udara. "That's right."

Aku mencibir. "Ternyata, selain sulit ditebak lo juga gila."

Demitrio tiba-tiba menegakkan tubuh, membuatku sontak terkesiap. Netra yang memerah dan lingkaran hitam di bawah kelopak matanya menandakan cowok itu butuh jam tidur lebih banyak di siang hari, sementara di malam hari ia beraktivitas.
Nokturnal sekali hidupnya.

"Sabtu kosong, kan?" Ia melempar pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu maksudnya apa. Jadi, aku memilih diam.

"Nggak mau tahu pokoknya hari Sabtu harus kosong."

"Lah?"

Demitrio tidak sedang mengigau, bukan? Kenapa baru saja bangun tidur pertanyaan yang dilemparkan justru aneh-aneh.

"Sabtu ikut gue pinjem mesin waktunya Doraemon." Setelah mengatakan hal tersebut, Demitrio kembali menempelkan pipinya di atas meja. Sedetik kemudian, kesadaran cowok itu terenggut ke alam mimpi.

Sialan.

***

"Maksud lo apa, sih?" Aku masih mengejar penjelasaannya ketika jam istirahat berdering. Sementara Demitrio tampak tak mengindahkan, cowok itu beranjak dari kelas dengan langkah gontai.

Aku mengekor di belakangnya. Punggung lebar cowok tersebut tertimpa seberkas cahaya matahari. Sedikit bergoyang seiring langkahnya yang dipercepat. Tapi, tiba-tiba, cowok itu berhenti. Aku nyaris terantuk punggung tersebut kalau tidak berhati-hati.

"Ada apa?" Aku berjalan mendahuluinya. Menatap Demitrio dengan kening bertaut dalam. Pandangan Demitrio tampak kosong dalam sekejap.
Seakan mendapatkan secercah ide, kuikuti arah tatapan Demitrio tertuju. Tanpa mendengar penjelasannya pun, aku tahu.

"Lo ... tertarik ikut?"

Sedetik kemudian, ekspresinya kembali tak terbaca. "Lupain." Cowok jangkung tersebut melanjutkan langkah. Ia berbelok ke arah perpustakaan ketika di ujung koridor kelas X.
Berjalan membelah hening di antara puluhan rak buku dan suasana perpustakaan dingin serta senyap, Demitrio menuju sudut ruangan tempat air conditioner berada. Tanpa ba-bi-bu, cowok itu menyandarkan tubuhnya ke tembok, duduk merosot di lantai, sejurus kemudian memejamkan mata.

Aku mendengus. "Kerjaan lo di sekolah kalo nggak tidur ya makan. Tapi, gue heran. Nilai lo sempurna terus. Beda, ya, otak orang jenius sama otak kentang kayak gue."

Tak mendapat tanggapan. Tentu saja. Aku sudah terbiasa dengan perilakunya setiap jam istirahat.

"Sebenernya, lo tuh beneran pengen masuk IPS nggak, sih, Dem? Gue yakin, kalo lo masuk IPA juga mampu," gerutuku mirip emak-emak depan komplek.

"Daripada IPS belajar Sejarah mulu otak lo. Gue mah, jangankan belajar sejarah dunia, sejarah Indonesia aja gue nggak tahu."

Tanpa kuduga, Demitrio menegakkan tubuh. Napasnya memburu tampak terkejut.

"Apa gue nggak salah denger!?" tanyanya spontan. "Gue tadi belum sepenuhnya tertidur terus denger pengakuan seseorang yang ... nggak tahu sejarah negaranya sendiri?" Mulai deh, hiperbola.

"Sesimpel ... masa kolonialisme di Indonesia lo enggak tahu?"

"Tau. Dikit. Banyak lupanya." Iya tahu, daya ingatku memang payah.

"Taun berapa bangsa Spanyol dan Portugis datang ke Indonesia?"

"Mana gue tahu!" akuku menyerah. "Eh. Kok Spanyol Portugis, bukannya Belanda dulu?"

"Payah lo," sindir Demitrio. "Belanda yang paling akhir datang ke Indonesia karena sebelum itu, negara tersebut masih terjajah oleh bangsa lain. Orang pertama yang sampai ke Indonesia Cornelis De Houtman pada tahun 1697. Sementara Spanyol 1611 di Selat Malaka, Portugis 1612. Tapi, mereka nggak bertahan lama karena baik Portugis dan Spanyol melakukan perjanjian Sarogosa untuk mengakhiri perselisihan di antara keduanya. Setelah Spanyol dan Portugis enggak berkuasa, gantian kongsi dagang VOC yang meng-eksploitasi kekayaan alam di Nusantara."

"Jadi?" Aku sedikit heran melihat perubahan Demitrio, ketika bercerita panjang lebar mengenai Sejarah, cowok itu terlihat tidak sedang mengantuk berat sama sekali. Akan tetapi, kalau membahas yang lain saja dia ogah-ogahan!

"Spanyol, Portugis, VOC yang berkuasa---semi koloniaslisme lah, Republik Bataf---gabungan antara Belanda dan Prancis akibat peristiwa kaum nasionalisme di Belanda sana, nggak lama direbut Inggris, Inggris mengalami politik runyam di Eropa sana, kekuasaan kembali di tangan Belanda, hingga akhirnya jatuh ke tangan Kekaisaran Jepang. Tapi, Ron, di setiap peristiwa banyak banget kejadiannya. Itu gue cuma bilang urut-urutannya, ya. Belum termasuk politik etis dan perkembangannya."

Demitrio tiba-tiba menatapku. Aku yang belum siap diperhatikan dengan sorot seperti itu jadi salah tingkah.

"Kayaknya, kita beneran musti pinjem mesin waktunya Doraemon buat ke masa lalu."

"Maksud lo?"

"Kita pergi ke masa lalu pake mesin waktu. Sekalian untuk tugas Sejarah dan mengisi otak udang lo yang nol besar masalah Sejarah."

Aku mendengus. Tapi, Demitrio tampak tak acuh. "Gini, Sabtu besok lo kosong, kan?"

"Kenapa?"

"Kita trip ke Sanggiran!"

****

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang