Chapter 26

9K 1.3K 30
                                    

Aku tak sepenuhnya mengetahui, bagaimana proses Demitrio mulai membuka diri dengan lingkungan sekitar. Maksudku, sejak kapan ia mampu menerima kehadiran papa dan abangnya? Atas luka-luka yang ia terima di masa lalu, jadi cowok itu sudah dapat menerima segalanya, ya?

Setelah perbincangan di bangku panjang Museum Sangiran, aku menangkap sikap ramah Om Andy---papa Demitrio---serta Ryan yang tak kalah terbuka. Akan tetapi, hanya Demitrio yang enggan banyak berbicara serta setia dengan wajah dingin nan misteriusnya itu.

Aku mengerti. Dia belum terbiasa.

Namun, berdamai dengan masa lalu setelah kehilangan Nenek Maar serta orang-orang terdekatnya merupakan sikap yang patut kuacungi jempol.

"Sharon, kamu sudah izin dengan orang tuamu? Atau perlu Om Andy yang mengizinkannya?" tanya papa Demitrio dari balik pengemudi.

Aku terkesiap. Lamunan panjangku seketika buyar. Aku lupa memberitahukan ibu jika akan menginap di rumah Om Andy yang terletak di Jalan Delima X, Kota Surakarta tak jauh dari lokasi Museum Sangiran berada. Mengingat waktu yang tidak memungkinkan untukku bersama Demitrio pulang ke Jakarta malam-malam begini, Om Andy dan Ryan menawarkan penginapan di rumah mereka. Toh, besok juga masih hari Minggu.

Jadi, tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Sepertinya Demitrio juga mau menerima tawaran baik tersebut. Buktinya, cowok itu patuh-patuh saja saat kami berempat masuk ke dalam mobil Om Andy.

Benar memang dugaanku, Demitrio sudah membuka diri.

Tapi, sejak kapan?

Aku juga tidak tahu.

Mungkinkah di hari pemakaman Nenek Maar?

"Mungkin, om saja yang mengizinkan? Takutnya, nanti Ibumu tak percaya, Ron," sahut Om Andy lagi menyadarkan lamunanku yang berkelana jauh.

Namun, setelah dipikir-pikir perkataan Om Andy ada benarnya juga. Maka, tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi, kuambil benda pipih persegi panjang dari dalam tas ransel, membuka kontak nomer telepon Ibu, lalu segera memencet ikon telpon bewarna hijau.
Tidak lama kemudian, panggilan telponku diangkat oleh Ibu. Om Andy terlibat perbincangan singkat dengan beliau di tengah fokusnya yang mengendarai mobil. Sementara aku memerhatikan percakapan keduanya dalam diam.

"Sharon," bisik Demitrio membuatku sontak terkesiap.

Aku lantas menengadah. "Kenapa?"

"Gue mau jujur," sahutnya nyaris tak terdengar.

Kedua alisku bertaut melihat tingkah anehnya. Sikap yang ia tunjukkan ketika di dalam kereta kini terbawa kembali di mobil perjalanan pulang.

"Tapi enggak di sini. Gue belum siap."

"Maksud lo---"

Ucapanku terpaksa menggantung di udara tatkala Om Andy menoleh ke belakang seraya menyerahkan ponsel pintarku. Senyum mengembang terpatri sempurna di bibir beliau yang sedikit keriput. "Sudah, Ron. Ibumu mengizinkan. Beliau berpesan, jaga diri baik-baik, ya."

"Makasi, Om," tukasku, tulus.

"Ini masih lama, ya?" celetuk Demitrio setelah sekian lama ia lebih banyak diam.

Ryan seketika mendongak dari earphone ketika indra pendengarannya menangkap suara adik tunggalnya mulai membuka percakapan.

"Bentar lagi sampe, kok, Rio."

Sebagai tanggapan, cowok itu hanya membuang napas kasar seraya melipat kedua tangan di depan dada. Tampak tidak terlalu berminat.

Setelah itu, sepanjang perjalanan diisi obrolan basa-basi Ryan, Om Andy, dan tentu saja aku.

***

Sebuah rumah bertingkat dua dengan pulasan cat kuning gading itu menyambut indra pengelihatanku tatkala mobil Om Andy berhenti tepat di depan pagar hitam yang menjulang tinggi. Tak lama kemudian, Ryan segera turun untuk membukakan pagar tersebut.

Mobil yang kami tumpangi melaju memasuki pekarangan rumah. Seorang wanita yang kutaksir seusia dengan Ibu tersenyum ramah sambil melambaikan tangan ke arah kami.

Setelah mobil terparkir di dalam garasi, Om Andy keluar disusul aku dan Demitrio ada di belakang. Tatkala aku hendak menyamakan langkah dengan Om Andy, tiba-tiba Demitrio mengurungkan niatku. Cowok berwajah pucat itu meremas lenganku, tanda khawatir. Kepalanya menggeleng lirih. Sementara sorot matanya menyiratkan luka yang belum sepenuhnya pulih.


"Gue belum siap," bisik Demitrio di sampingku

Alisku bertaut. "Kenapa?"

"Dia itu Ibu tiri gue. Sejak Papa dan Mama cerai, Papa langsung nikah sama wanita itu. Dia mantan Papa di zaman SMA."

"Lo belum berdamai dengan masa lalu itu, Dem?"

Demitrio tampak ragu sejenak. Ia menghela napas panjang. "Gue sudah memutuskan, Sharon. Gue nggak mau menuruti ego dengan nggak saling sapa dengan Ryan dan Papa. Gue takut hal yang sama menimpa Mama terjadi pada Ryan dan Papa pula."

"Lantas, kenapa masih sulit menerima semuanya yang sudah berlalu?"

"Lo tahu, Sharon, terkadang beberapa hal di dunia ini mampu 'sembuh' sendirinya dengan waktu."

Kutepuk lembut bahu Demitrio. Berusaha menenangkan. Senyumku terpatri lebar, seolah memberikan suntikan keberanian.

"Apa waktu 12 tahun selama ini masih kurang, Dem?"

Percakapan kami terpaksa menggantung di udara karena kedatangan dua orang dewasa. Om Andy dan ibu tiri Demitrio menyuruh kami berdua untuk masuk ke dalam rumah mengingat hari yang telah menggelap. Demitrio bergeming, tapi tak menolak.

Wanita yang menjadi ibu tiri Demitrio itu menyambut kedatanganku hangat. Sebelum memasuki ruang tamu, beliau sempat berbisik lembut.

"Makasi, ya, Sharon, sudah menjadi teman Demitrio. Berkat kamu perlahan dia mulai menerima masa lalunya."

Aku tersenyum kecil sebagai balasan. Andai saja ibu tiri Demitrio ini tahu sebelum berteman dengan anaknya kami berdua sering uring-uringan karena kebiasaan cowok itu menyetel musik hard rock di atas jam 12 malam.

Ibu tiri Demitrio mengantarku sampai di depan kamar tamu. Sebelum beranjak, beliau tersenyum ramah dan menawarkan makan malam. Tapi, segera kutolak karena merasa tidak enak hati terlalu merepotkan.
Setelah sosok ibu tiri Demitrio tak terlihat lagi, aku berniat menutup daun pintu rapat-rapat.

Akan tetapi, sebelum rencanaku terealisasikan, samar-samar percakapan Om Andy, Ryan, dan Demitrio menyapa indra pendengaranku. Obrolan mereka tampak serius.

"Kamu beneran siap tinggal di sini, kan?"

"Papa senang kamu sudah memutuskan menetap di Solo daripada di Jakarta."

Seketika, tubuhku menegang. Perasaan ganjil menelusup di benakku tanpa mampu dicegah. Ketakutan akan berpisahan menghantui pikiranku hingga enggan memejamkan mata.

Apa rencana yang disembunyikan Demitrio?

***

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang