Chapter 22

9.6K 1.2K 18
                                    

Ini gila!

Ajakan Demitrio berkelana ke Sangiran bukan sekedar omong kosong. Cowok berwajah datar tersebut menepati janjinya jika Sabtu ini ia akan mengajakku ke Sangiran.

Sebenernya, aku tak pernah tahu apa itu Sangiran. Semacam kafe? Wahana permainan? Atau apa, sih? Malah jangan-jangan tempat penyewaan mesin waktu Doraemon. Oke, baiklah, khayalanku mulai melaju ke tahap halusinasi. Sepertinya, aku memang sudah harus terlelap ke alam bawah sadar. Karena nyatatanya, selama dua jam belakangan aku hanya memejamkan mata di atas tempat tidur dengan pikiran yang berkelana jauh.

Gerah dengan diri sendiri yang mengalami insomnia, aku memilih bangkit dari tempat tidur. Duduk di meja belajar bertopang dagu sambil menatap kalender duduk yang kuletakkan tak jauh dari sana. Dalam kalender tersebut, tepat pada tanggal 22 Februari, tercipta lingkaran sedikit oval dengan spidol merah menyala bertuliskan 'Sama Demitrio Ke Sangiran'.

Besok! Besok aku akan pergi ke Sangiran. Jangan bilang kalau aku mengalami insomnia lantaran pergi dengan Demitrio besok pagi, tidak. Aku hanya penasaran. Tidak ada perasaan yang lebih dari teman, kok.

Tapi, mengingat fakta hanya berduaan saja .... argh!

Tidak-tidak. Besok tidak akan kubiarkan hanya aku dan Demitrio saja yang trip ke sana.

Seakan sebuah bohlam menyempul di atas kepalaku, kukeluarkan laptop di bawah laci meja belajar seraya menatap jendela kamar Demitrio yang terbuka. Alunan musik hard rock yang membisingkan telinga sukses membuat mataku enggan terpejema. Semakin terang benderang pengelihatanku pula, kian pula aku mendapatkan secercah ilham.

Jemariku menari lincah di atas papan keyboard. Menuliskan secarik pesan singkat kepada seseorang melalui electronic message tatkala laptopku sudah menyala.

Alunan musik Across The Universe milik The Beatles menyapa indra pendengaranku. Siapa lagi kalau bukan dari Demitrio?

demitryanhw@gmail.com Ryan, besok gue mau ke sangiran bareng, mau ikut?

Setelah menekan ikon kirim, tiba-tiba terdengar ketukan di jendela kamarku. Aku bangkit. Asal suaranya dari balkon kamar. Angin malam membelai helaian rambutku yang mencuat dari cepolan. Hening. Tidak ada apa-apa siapa-siapa di sana. Ketika aku hendak berbalik, kakiku tanpa sengaja menginjak sesuatu. Sontak, aku mematung.

Berjongkok untuk memungutnya, kedua alisku pun saling bertaut. Secarik kertas yang di dalamnya ada kerikil ini siapa pengirimnya?

Sebuah nama terlintas dalam pikiranku dalam hitungan detik.

"Demitrio?" Kepalaku refleks menoleh ke jendela kamar rumah nomer 19 yang terbuka. Cowok itu tampak menunduk menghindari sorot heranku.

Masih dengan posisi yang sama, kubuka lipatan di kertas tersebut.

Sharon.

Tiga hari setelah nenek meninggal, bolehkah gue berpesan? Jaga diri baik-baik.

Bilang goodbye jangan?

Alisku kian bertaut. Maksudnya apa, sih?

Aku kembali masuk ke kamar. Menyobek bagian tengah buku tulisku, lalu mulai menyoal.

Maksud lo apa? Gue nggak paham. Lo mau bunuh diri nyusulin nenek?

Kuletakkan penaku di atas meja belajar. Berharap-harap cemas dengan jawaban cowok misterius itu. Kerikil dari surat sebelumnya kumasukkan ke secarik kertas balasan. Meremasnya hingga massa benda tersebut kian bertambah. Sejurus kemudian, kulempar ke arah jendela Demitrio.

Yash. Kena.

Demitrio bergerak dari posisinya. Menyusuri balkon kamar, lalu menunduk. Memungut surat balasan dariku. Setelah itu membawanya ke meja belajar.

Cukup lama aku menanti respon darinya. Hingga jarum jam berderik 60 menit lebih cepat, masih belum ada tanggapan apapun. Aku menempelkan wajah pada meja belajar. Memejamkan mata. Hingga kesadaranku direnggut ke alam mimpi.

***

"Ron, ada Demitrio, tuh." Bang Aksa tiba-tiba berada di kamarku. Cowok itu duduk di meja belajarku dengan melipat kedua tangan. "Tumben-tumbenan dia berbaur. Ada apa? Lo jadian sama dia?"

Mendengar nama Demitrio merayap di kamar, seketika aku terlonjak dari tempat tidur. Tanpa menjawab pertanyaan Bang Aksa yang super ngelantur, aku segera bergegas ke kamar mandi. Cerobah. Bisa-bisanya aku kesiangan saat diajak ke Sangiran.

Bang Aksa memandangiku dengan kedua alis bertaut. Kemudian, cowok itu mulai meninggalkan kamarku tanpa lupa berpesan, "Buruan, ya. Dia udah nunggu daritadi."

Butuh waktu beberapa menit bagiku di kamar mandi dan berpakaian sebelum turun menemui Demitrio di ruang tamu.

Seperti biasa, tak ada riasan make up di wajahku. Hanya pulasan bedak tabur dan liptink untuk melindungi bibirku dari tabir surya. Tubuh semampaiku berlapis kaus putih polos dengan basic cardigan army dan celana kain senada. Rambutku dikucir kuda tanpa pernah tergerai.

"Maaf lama." Aku salting begitu sampai di depan Demitrio. Ada Ibu yang menemani cowok tersebut. Ibu bangkit, tersenyum ramah kepada Demitrio sesaat sebelum menyengol bahuku dan melontarkan seringai menggoda.

"Udah deket aja, nih. Jadian, ya, kalian?"

"Apaan, sih, Bu," dumelku, lirih. Kubuang pandangan jauh-jauh agar tidak terlihat salah tingkah. Enggan prasangka orang rumah semakin runyam, kutarik Demitrio untuk segera bangkit meninggalkan rumah.

"Kami pergi dulu, ya!" pamitku spontan seraya mencium tangan Ibu. Demitrio pun melakukan hal serupa.

"Kalo udah sampe Sangiran, kabarin." Ibu menasehati. Wanita setengah abad itu menemaniku dan Demitrio hingga di depan pagar. Demitrio tersenyum tapi tak membantah. Cowok itu menuntutku pelan sementara aku hanya mengekor.

"Kita naik apa?"

"Masih nanya naik apa?" Kedua alis cowok di depanku bertaut. "Kita kan mau nge-trip."

"Jangan bilang....."

Yeah. Perasaan buruk menelusup tanpa diundang. Sial.

***

a/n

Maaf. Hapeku rusak guys 🙃
Karena keterbatasan dalam menulis di kala hape rusak, aku jadi slow update. Huhu. Semoga nggak pada lupa ya sama alur cerita ini karena sangking lamanya nggak di up WKWKWKWKKW.

Sincerely,
Diffean

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang