Harusnya, jam pelajaran olahraga pagi ini diisi oleh Bu Utari, akan tetapi, kudengar info dari guru piket jika Bu Utari sedang cuti hamil dan digantikan oleh Pak Andrews, coach-ku di klub Silat.
Coach Andrews menitahkan kami untuk membentuk lingkaran besar, lalu berlarian mengelilingi lapangan. Aku yang tergabung dalam klub Silat, sudah terlalu biasa berlarian keliling lapangan belasan kali. Rambut kucir kudaku bergoyang ke sana ke mari seiring tubuhku yang bergerak lincah. Berbeda kondisi fisikku, berbeda pula keadaan fisik Demitrio. Cowok itu tampak sangat terengah-engah dengan keringat yang membanjiri pelipisnya. Debu dan pasir dari paving block lapangan belakang SMA Pelita 2 menambah kerusuhan sistem pernapasannya. Ia seketika menghentikan langkah, wajahnya pucat pasi, aku juga ikut berhenti berlari seraya menolah.
"Demitrio, lo nggak papa, kan?" Teriakanku sontak memancing perhatian seluruh siswa kelas X IPS 1, semua mata tertuju pada satu titik. Demitrio Airlangga.
Coach Andrews dengan tangkas menuntut Demitrio beranjak dari lapanganSorot mataku sempat menangkap Demitrio yang mengeluarkan sesuatu bewarna biru tua dengan selang dari saku seragam olahraga. Ketika menggunakan benda itu, lagi-lagi bahunya naik-turun. Tanpa sadar, kakiku melangkah mengikuti coach Andrews beserta Demitrio dalam diam. Mereka berdua tiba di UKS sekolah. Sementara aku menjaga jarak dengan bersembunyi di pilar koridor Lab Fisika.
Ketika dua orang tersebut sudah sepenuhnya berada di dalam UKS, aku berani untuk mencuri dengar pembicaraan mereka."Jangan memforsir tubuh terlalu berlebihan, Rio."
"Demitrio, jangan diubah menjadi Rio." Samar-samar, kulihat Demitrio memejamkan mata sambil terbaring lemah di atas brankar. Beberapa detik kemudian, ia menoleh pada Coach Andrews. "Kalau sudah tidak ada keperluan, Bapak boleh meninggalkan saya sendiri," gumam cowok itu tanpa menatap lawan bicara.
Coach Andrews menggeleng enggan. "Demitrio, apa kamu tidak mau mempertimbangkan keputusanmu sekali lagi?"
Kudekatkan indra pendengaranku agar lebih jelas mencuri dengar pembicaraan.
Apa? Keputusan apa?
"Nggak, Pak," jawab Demitrio acuh tak acuh.
"Tante Anies bukankah sangat kecewa?"
Rasa penasaranku kian menggebu. Mereka berdua sedang membicarakan apa, sih?
"Tapi, Pak, saya nggak bisa."
"Apa yang membuatku tidak sanggup mengikuti olimpiade---"
Belum sempat Coach Andrews menyeleseikan kalimatnya, tanpa sengaja tubuhku terjungkal ke depan lantaran terlalu dekat menempelkan telinga di daun pintu. Jeritanku mengudara, menyadari pintu akan terbuka cepat atau lambat. Aku terjerembab dengan pintu UKS yang menjeblak lebar. Bodo, Sharon!
Demitrio memekik kaget, Coach Andrews pula. Ia memutar bola matanya malas saat mengetahui keberadaanku yang berusaha mencuri dengar. Sambil menyengir lebar, aku bangkit, menjulurkan jari telunjuk dan tengahku membentuk huruf 'V'.
"Lo tadi denger apa?" selidik Demitrio seraya menegakkan tubuh. Sorot matanya menatapku tajam.
"Nggak."
"Boong." Benar kata Bang Aksa, sepertinya aku tidak jago berbohong.
Aku menggaruk rambut kucir kudaku yang tidak gatal, sambil mengigit bibir bagian bawah, aku berujar, "Err ... denger dikit, sih. Paling cuma Olimpiade---"
"Sejarah!" Coach Andrews tiba-tiba menambahi, membuat Demitrio kontan mendelik tidak suka.
"Nggak usah, Pak," keluh cowok berwajah putih pucat itu sembari menggeleng tegas.
"Kenapa?" tanyaku, spontan.
Demitrio mendecih. "Kepo amat lo."
"Gue kira, kompetisi ini cocok banget sama lo, Dem," komentarku tanpa diminta. "Bukannya lo jago banget Sejarah? Kompetisi ini bakal jadi lahan yang tepat untuk mengembangkan kemampuan itu."
"Sok tahu," elak Demitrio, malas.
"Kenapa sih nggak mau?"
"Kenapa sih lo banyak nanya?" Cowok itu balas menyoal. Aku merenggut gusar seraya beranjak ke sisi brankar. Memberikan tatapan memelas pada Coach Andrews untuk meninggalkanku berdua dengan Demitrio agar aku membujuknya lebih lanjut. Coach Andrews setuju dan segera melenggang keluar.
"Kenapa, sih, lo nggak mau daftar Dem?" Tak jera aku bertanya alasannya. Biarkan saja. Rasa penasaranku kian meledak.
Kedua tangan Demitrio mengudara, tampak pasrah terhadap pertanyaanku yang bertubi. "Gue males ketemu Rian, puas lo?"
Dahiku sontak bergelombang. "Rian?"
"Setiap kali lomba sejarah, Rian selalu ikut. Jadi, kalau ikut olimpiade ini besar kemungkinan gue ketemu Rian."
"Rian siapa?" Demitrio mengibaskan tangannya di udara, enggan menanggapi penyelidikanku lebih lanjut, cowok itu justru mengeluarkan satu buah permen coklat dari saku kemeja. Melihat salah satu makanan favoritku dikonsumsi Demitrio, aku sontak memekik.
"Gue mau, gue mau, bagi dong!"
Satu buah permen coklat kini beralih ke tanganku. Aku menyobek bungkus pelindungnya seraya mengerling Demitrio yang sedang mengunyah.
"Lo tau sejarah coklat, Sharon?"
"Nggak, makasi."
Demitrio terkekeh pelan. "Dulu, makanan coklat merupakan hidangan Para Dewa, Ron. Selain itu, coklat juga dijadikan sebagai alat pembayaran penduduk peradaban Mokaya dan Olmec."
Oke, kuakui kekuatan menghapal Demitrio begitu cemerlang. Aku terbengong sendiri mendengarkan ceritanya.
"Lo tau, Ron, pada tahun ke berapa biji coklat ditemukan?" Cowok berwajah putih pucat di sampingku melempar pertanyaan. Ia menoleh sambil menahan seringai yang tak kumengerti apa maksudnya.
"Udah, udah nggak usah dijawab gue tau lo nggak ngerti."
Aku mengerang berat. "Apaan, sih? Belom juga gue jawab," gerutuku sebal, membuat Demitrio mengulum senyum asimetris.
"Tahun berapa coba?" tanya cowok itu terdengar mengejek.
"Tahun---"
"Cokelat ditemukan sekitar 4.000 tahun lalu di Mesoamerika. Tanaman cokelat pertama kali ditanam pada masa peradaban Mokaya dan Olmec," potong Demitrio cepat. "Pada masa itu, cokelat bernama theobroma cocoa."
Decak kagum meluncur dari bibirku. Kulayangkan tatapan terpikat pada Demitrio yang duduk di sampingku.
Meski kutau dia sedang mengalihkan pembicaraan, tetapi aku menghargai usahanya.
Mungkin, Demitrio perlu waktu untuk menceritakan Rian.
***
a/n
Huaaa akhirnya bisa update di sela-sela UAS 😭 maaf lamaaa.
sources :
https://www.google.com/amp/s/bobo.grid.id/amp/08677168/sejarah-cokelat-di-dunia

KAMU SEDANG MEMBACA
Incredible Feeling
Teen FictionMenurut rumor yang beredar, anak tetangga sebelah rumahku psikopat. Ada juga yang bilang, dia si pengedar narkoba yang anti sosial. Lebih parahnya lagi, sewaktu kami masih taman kanak-kanak, ia pernah digosipkan seorang vampir haus darah oleh imajin...