Chapter 14

11.8K 1.5K 42
                                    

Menyelami dunia Demitrio, membuatku sadar, betapa banyak luka yang cowok berwajah pucat itu sembunyikan. Tak sedikit topeng yang ia perlukan untuk menutupi sendu yang hadir menghantui hidupnha. Dalam setiap alunan musik cowok itu di tengah malam, ada luka yang berusaha ia tutup rapat-rapat.

Namun, ketika bersamaku, ia terlihat biasa saja. Terkesan dingin dan enggan bersuara. Seperti sekarang, ketika kami berdua ke perpustakaan kota untuk mencari literatur tugas sejarah minat sepulang sekolah, Demitrio berjalan di sampingku tanpa berinsiatif memecah keheningan. Kami berdua menyusuri rak-rak buku dalam diam.

Demitrio tiba-tiba menghentikan langkah, aku sontak melemparinya dengan sorot meminta penjelasan.

"Buku tentang Suriname," bisik cowok itu mengingat kami berdua sedang berada di perpustakaan.

"Maksudnya?" Aku mengerling pada buku yang diambil Demitrio. "Bukannya kita nyari buku tentang masa pra-aksara?"

"Ibu gue gadis Jawa Suriname, Ron. Maka dari itu gue selalu tertarik dengan hal yang berhubungan dengan Suriname," aku cowok itu seraya berjalan ke kubikel baca. Merasa tertarik karena Demitrio mulai membuka cerita tentang keluarganya, aku pun mengekori di belakang.

Aku mendaratkan tubuh di sebelah Demitrio yang tengah mengeluarkan dompet, menunjukkan sebuah foto lama yang robek dan tidak lagi utuh. Dahiku berkerut. Kenapa bagian foto itu ada yang robek? Sengaja dirobek kah atau....

"Nyokap lo?"

Demitrio mengigit bibir bagian bawahnya. Walaupun ia enggan mengangguk, aku yakin jawabanku tepat. Di dalam foto usang tersebut, tampak seorang wanita paruh baya berahang tegas khas orang Eropa, akan tetapi terdapat kontur wajah oriental juga mendominasi. Senyumannya lebar menghadap kamera.  Foto lama yang berwarna kekuningan itu membuatkku tak begitu jelas untuk mengenali.

"Suriname itu negara yang deket Belanda itu  bukan, sih?" Otakku mencoba mengingat nama Suriname yang sekilas pernah dikenalkan Bang Aksa. "Itu 'kan di Benua Eropa, kenapa ada Jawa Suriname?"

"Lo nggak tau sejarah Jawa Suriname?" Demitrio justru balik menyoal. Cowok itu menepuk dahinya gemas tatkala menatapku yang malah cengengesan.

"Emang apa, sih, hubungannya Jawa sama Suriname?"

"Jelas ada-lah. Nyokap gue namanya Xavierus Widyastuti Soerjono. Lo melihat ada yang janggal  dari namanya, nggak?"

Otakku mencerna informasi dengan cepat, hingga baru menyadari memang ada tang ganjil dari nama barusan. "Nama depannya bule nama tengah dan belakangnya jawa?" tebakku sangsi.

Demitrio sontak menjetikkan jari. "Nah. Itulah salah satu keunikan nama orang Jawa Suriname. Nama depan mereka menggunakan nama Belanda atau Inggris, tetapi nama belakang tetep Jawa, dong."

"Asal usulnya gimana, sih?"

"Bahasa Jawa di Suriname adalah bahasa Jawa yang berkembang ketika orang-orang Jawa di datang ke Guyana Belanda yang kini bernama Suriname secara bergelombang sejak tahun 1880-an. Tentu saja karena dibawa Belanda dari Jawa. Sebagian besar dari mereka adalah kuli kontrak buta huruf yang tak punya pilihan. Akhirnya, mereka bekerja di perkebunan gula atau perkayuan. Selama kurun waktu 1890 hingga 1939, sebanyak 33 ribu orang Jawa dikapalkan ke Suriname sebagai calon kuli perkebunan. Mereka menggantikan kuli asal India yang dianggap banyak ulah.

Orang-orang Jawa yang jauh dari tanah leluhur mereka itu kemudian beranak-pinak, dan tetap berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Kebanyakan mereka beragama Islam seperti halnya kebanyakan orang-orang Jawa."

Decak kagum meluncur dari bibirku ketika mendengarkan penjelasan panjang Demitrio. Selama 16 tahun aku hidup, baru tau ada orang Jawa di Suriname.

"Terus-terus, kebudayaan orang Jawa Suriname juga sama kayak orang Jawa di sini, nggak?"

"Tentu, Sharon. Mereka berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa, melakukan adat istiadat khas orang Jawa, bahkan di sana ada makanan ala orang Jawa. Pokoknya, kebudayaan Jawa di sana kental banget, deh."

"Ih, Dem, lo tau begituan dari mana, sih?"

"Dari Ibu gue." Ada nada bangga yang terselip ketika Demitrio mengucapkan kalimat barusan. "Dulu, waktu gue masih kecil, Ibu selalu menceritakan sejarah bangsa-bangsa setiap kali gue mau tidur. Ibu gue juga seorang konservan Museum Manusia Purba Sangiran di Surakarta, gue selalu diajak ke sana setiap hari Minggu. Hal itu yang membuat gue lambat laun cinta dengan Sejarah." Demitrio menghela napas panjang ketika menceritakan tentang sosok yang dipanggilnya Ibu. Kuperhatikan wajah putih pucat itu yang dilanda sendu.

"Sekarang, Ibu lo di mana?"

Wajah Demitrio mendadak sendu, ia menunduk sesaat, kemudian menatapku dengan pandangan kosong. "Udah meninggal."

Sepertinya, aku pertanyaanku salah. Mungkin saja, Demitrio sensitif terhadap hal tersebut.

"Maaf," kataku, refleks.

"Nggak papa." Demitrio bangkit, mengembalikan buku tentang Suriname, lalu berjalan mendahuluiku. "Dari Sejarah yang dikenalkan nyokap, gue belajar satu hal, Ron. Kalau 'sejarah' akan tetap abadi, kepada orang-orang yang mengingatnya, teruntuk orang-orang yang selalu mengenangnya. Meski nyokap gue udah meninggal ketika gue kelas 5 SD, tapi sejarah nyokap akan selalu teringat sebagai bentuk keabadian."

Aku terperangah mendengarnya, kutatap Demitrio yang tembok dan misterius ini lamat-lamat. "Dem, are you okay?"

Satu anggukan membuatku menghela napas, lega.

"Lo tau 'kan, Ron, kalau nama lengkap gue Demitrio Airlangga? Seseorang yang memberikan nama tersebut juga nyokap gue, loh. Nyokap gue jatuh cinta terhadap Raja Airlangga ketika memerintah Kerajaan Kahuripan setelah berhasil mempertahankan kerajaan tersebut dari mertuanya Darmawangsa. Saat Airlangga mencapai puncak kejayaan pun, kata nyokap dia nggak melupakan Narottama dan pengikut-pengikut setianya sejak dari nol."

Yang kutangkap dari Demitrio, setiap kali membicarakan ibunya, wajahnya berseri-seri dan terlihat amat bangga.

Tiba-tiba, ponsel cowok itu berdering. Aku sontak menoleh ke arahnya, ia dengan cepat mengeluarkan ponsel, menempelkannya di telinga, lalu mengucap salam.

"Demitrio?"

Aku mendengar suara bariton yang asing dari Sang Penelpon. Perubahan wajah Demitrio mampu kutelisik dengan jelas. Rahangnya mengeras, telapak tangannya terkepal kuat. Sekali sentakan, ia mematikan ponsel.

"Siapa?"

"Bukan siapa-siapa," sahutnya dingin sambil kembali berjalan.

Aku hanya mematung di tempat. Sepertinya, aku tak mampu berenang dalam kubangan luka Demitrio lebih jauh.

***

sumber :

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang