Sedari tadi, kami hanya saling lirik. Tanpa berniat basa-basi, atau sekedar mengucap sepatah dua kata. Pembina upacara tak bosan menyampaikan wejangannya yang panjang lebar. Demitrio berdiri tepat di sampingku. Aku ingin membuka percakapan dengannya, tapi ragu.
Kuperhatikan wajah lesunya yang semakin memucat terkena paparan matahari. Pandangan Demitrio sayup. Terbesit perasaan khawatir tatkala tubuh jangkung itu nyaris limbung.
"Lo nggak papa?"
Untuk sekian kali, aku dikacangin.
"Lo nggak mau ke UKS?"
Demitrio itu bisu, ya?
Tahu-tahu, dia segera beranjak dari barisan upacar tanpa memancing perhatian karena memang barisan kami di paling belakang.
Perkataan Nenek Maar terngiang di kepalaku.
Sedari kecil, Demitrio mengalami gangguan bersosialisasi. Hal tersebut menjadikan ia sebagai sosok yang anti-sosial, merasa terancam dengan lingkungan sekitar, dan menutup diri. Nenek sedih liat kondisi Demitrio seperti itu.
Tidak hanya itu, pesan terakhir Nenek Maar juga tidak bisa kulupakan begitu saja.
"Sharon, bisa janji satu hal?" Suara lembut Nenek Maar mengalun di pendengaranku pagi itu. Tubuhnya yang kian meringkih, kursi roda yang menjadi teman setianya, membuatku tak tega untuk menggeleng.
"Tolong, Ron, jadi teman yang baik bagi Demitrio. Nenek nggak pengen saat Nenek udah nggak ada, Demitrio masih seperti itu."
Sambil menoleh ke kanan-kiri memastikan semuanya aman, aku berjalan mundur. Perlahan. Memakai alasan sakit perut ke kamar mandi, aku mengikuti jejak Demitrio yang sudah agak jauh. Cowok itu memasuki kelas kami dengan satu dorongan kasar, seolah tidak sabar. Bahunya naik-turun, wajahnya kian pucat pasi dibanjiri keringat. Aku di belakangnya menjaga jarak aman.
Melalui jendela kelas, aku mengintip Demitrio mengeluarkan suatu benda dari dalam tasnya, membalikkan badan seraya menggengam benda itu kuat-kuat. Bahunya naik-turun hebat, dengan cepat aku berlari memasuki kelas.
"Lo kenapa!?" tanyaku panik seraya menghampiri sosoknya.
Ketika mengetahui benda apa yang sedang ia pegang, aku terlonjak. Ternyata, selama ini aku salah besar. Demitrio tidak seburuk itu.
***
"Kenapa nggak cerita dari awal kalo lo punya asma akut?" Meski iba, aku mengendus sebal.
"Kepo aja sih, lo," gerutu Demitrio setelah keadaannya mulai membaik. Ia terbaring lemah di atas ranjang UKS dengan kedua mata menerawang ke langit-langit.
"Coba lo cerita dari awal kalo punya asma akut, pasti nggak bakal---" ucapanku menggantung di udara ketika pintu UKS dibuka perlahan oleh seseorang. Seonggok kepala menampakkan diri.
"Kamu nggak papa, Demitrio?"
Ternyata, itu Bu Anies, wali kelas kami. Demitrio mengangguk, meski aku tahu kelihatannya ia jauh dari kata baik-baik saja.
"Ada yang mau ngomong sama kamu," gumam Bu Anies, lirih. Sebelah tangannya menggengam ponsel. Ia menatap Demitrio penuh harap.
Demitrio mengalihkan wajah. "Nggak mau, Tante."
Kedua alisku sontak bertaut. Tante? Bu Anies tantenya Demitrio?
"Ayolah, Rio," ucap Bu Anies sekali lagi, memelas. Demitrio tampaknya teguh pada pendirian. Dua orang itu membuat lipatan di keningku semakin dalam.
"Jangan manggil Rio, Tante."
"Ya sudah, kalau begitu." Sambil mengulas sesimpul senyum masam, Bu Anies kembali berbicara pada seseorang di sebrang telepon seraya melangkah keluar.
Aku melayangkan tatapan bingung ke arah Demitrio. Wajah pemuda itu mengeras. Ekspresinya sulit ditebak. Sorot mataku layu, ada luka yang berusaha ia sembunyikan.
"Jangan bilang siapa-siapa." Hanya kalimat itu yang ia sampaikan setelah jeda yang cukup panjang di antara kami.
"Masalah lo ponakannya Bu Anies?"
"Bisa tinggalin gue sendiri?" Tanpa memalingkan wajahnya dari langit-langit UKS, Demitrio mendesis, dingin.
Aku bangkit, mulai menarik langkah. Akan tetapi, sebelum sosokku benar-benar menghilang di hadapan Demitrio, bibirku sempat menyahut, "Kalau lo butuh apa-apa, bilang gue."
Perasaan simpatik mendorongku untuk kenal dekat dengan Demitrio lebih jauh.
***
Sepulangnya Bapak dari tugas dinas di luar kota, beliau memborong buah tangan dan beberapa gantungan kunci. Ibu sibuk mengemas oleh-oleh yang akan dibagikan untuk tetangga ketika aku melangkah memasuki ruang keluarga.
"Sharon, bisa minta tolong kasih ini ke Nenek Maar?" pinta Ibu seraya menyodorkan seplastik makanan ringan. "Sekalian yang akrab sama Demitrio, ya, dia kan teman sebangku kamu."
Tidak ada pilihan lain, aku mengangguk. Dengan seragam putih abu-abu yang masih melekat di tubuh, aku melenggang ke rumah tetangga sebelah. Kuketuk pagarnya beberapa kali, alih-alih Nenek Maar dengan kursi rodanya yang keluar, justru Demitrio yang membukakan pintu dengan wajah lesu. Kejadian tadi pagi di UKS, terngiang kembali di benakku.
"Kenapa?" tanyanya, dingin.
"Dari---"
Ketika kalimatku tergantung di udara, Nenek Maar menyembul dari daun pintu. Raut wajah teduhnya menyiratkan keceriaan.
"Masuk, Ron, masuk dulu," sapa beliau sumringah. Demitrio mengerucutkan bibir, memelesat kembali ke rumah melewati Nenek Maar yang begitu saja.
Pertemuan kedua dengan Nenek Maar tidak secanggung saat kali pertama. Aku dan beliau duduk di ruang tamu yang lembap dan enggap karena tidak adanya ventilasi.
Tiba-tiba, aku terusik antara percakapan Bu Anies dan Demitrio. "Nek, Bu Anies itu tantenya Demitrio?"
Wajah tenang dan meneduhkan Nenek Maar tidak menunjukan ada yang salah dari pertanyaanku. Jadi, aku kembali menyoal. "Kemarin aku liat Demitrio manggil Bu Anies 'tante'."
"Memang." Senyum simpul Nenek Maar terpatri samar. "Dia tidak pernah bererita?"
"Nggak sama sekali."
Senyum simpul yang terulas di bibir Nenek Maar seketika berubah misterius. "Ada banyak rahasia dari Demitrio yang enggak kamu ketahui, Sharon. Semakin kamu mengenal Demitrio, semakin pula kamu dibawa ke dunianya yang abu-abu."
"Abu-abu?"
Nenek Maar mengiyakan. "Dia abu-abu, dia kelabu."
***
a/n
Beberapa hari yang lalu, ada seseorang yang DM aku, minta visualisasi tokoh ini, jujur aja dari awal aku enggak mempersiapkan tokoh visualisasinya, yang ada di bayanganku itu ya karakter Demitrio yang aku gambarkan. :"
MianhaeeeSincerely Yours,
Diffean

KAMU SEDANG MEMBACA
Incredible Feeling
Genç KurguMenurut rumor yang beredar, anak tetangga sebelah rumahku psikopat. Ada juga yang bilang, dia si pengedar narkoba yang anti sosial. Lebih parahnya lagi, sewaktu kami masih taman kanak-kanak, ia pernah digosipkan seorang vampir haus darah oleh imajin...