Chapter 25

9.1K 1.2K 37
                                    

Bisakah waktu berhenti berputar barang satu detik saja?

Tolong, aku tak ingin kebersamaanku dengan Demitrio berpetualang menjelajah Sangiran akan berakhir secepat ini. Tak pernah ada di ekspetasiku, aku akan sedekat ini dengan anak tetangga sebelah rumah yang dulunya misterius itu.

"Capek, ya? Istirahat dulu, ya, Ron."

Setelah lelah berkeliling Sangiran, Demitrio membawaku ke musholla sebentar untuk menunaikan ibadah lalu lanjut beristirahat di bawah bangku panjang yang telah disediakan. Posisi kami sangat berdekatan sekarang. Nyaris tak ada celah. Dalam jarak sedekat ini, mampu kutelisik dengan jelas pahatan sempurna wajah pucat Demitrio.

Demi panci, wajan, dan teman-temannya, kenapa aku baru menyadari wajah Demitrio tergolong tampan?

Karena tidak sadar telah memerhatikan wajah cowok itu terlalu lama, ia menyadari tatapanku juga.

"Ngapain lo ngeliatin gue gitu banget?" Alisnya terangkat sebelah. Sementara kepalanya balas memerhatikanku dengan seringai jahil. "Kalo naksir ... gue nggak tanggung jawab, ya."

Aku jadi salah tingkah. Kubuang pandanganku jauh-jauh ke sembarang arah. Menghindari pipiku yang bersemu merah agar tidak terlihat Demitrio.

Cowok di sampingku terkekeh pelan. "Lo lucu, deh, kalo lagi salting."

"Siapa juga yang salting!?" elakku mencari pembelaan.

Demitrio mencibir. Sejurus kemudian, ia mengeluarkan sebuah laptop dari dalam tas. Aku seketika terperangah. Bagaimana bisa cowok itu membawa laptop ketika kami tengah berpetualang?

Dahiku bergelombang. "Buat apa?" Kuamati gerak-geriknya yang sedang menyalakan laptop lalu mengambil sebuah flashdisk dari dalam saku celana.

"Sebenernya, tujuan utama gue ngajakin lo ke sini selain untuk melengkapi data dari tugas Sejarah Bu Indry." Demitrio mendengus. Jemarinya menari lincah di atas papan keyboard. "Laporannya gue kerjain sendiri semua. Lo nanti tinggal print out terus serahin ke beliau minggu depan pas udah deadline. Ngerti?"

Benakku merasa ada hal ganjil yang berusaha ia sembunyikan. Tak tahan didera rasa penasaran, aku pun menyoal. "Lah? Kok, cuma gue? Harusnya, kan, kita berdua yang nyerahin tugasnya ke beliau. Kita sekelompok, Dem."

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Demitrio justru mengusap wajahnya putus asa. "Sharon, udah lah pokoknya lo sendiri aja yang ngumpulin tugas ke Bu Indry. Lo mau dapet nilai, kan?" tukas Demitrio untuk terakhir kalinya sebelum fokus cowok tersebut kembali terpusat pada laptop.

Aku menghela napas panjang.

Apa, sih, hal yang sedang ia sembunyikan?

"Demitrio, gue binggung."

Serta merta, cowok di sampingku merasa terusik. Jemarinya yang bergerak lincah di atas papan keyboard seketika terhenti. Tatapan matanya mengerling kepadaku penuh tanda tanya.

"Kenapa? Lo haus?" tanyanya sembari mengambil sebotol air mineral dari dalam ransel lalu menyerahkannya kepadaku. "Minum, gih. Atau lo capek? Bentar lagi, ya. Ini gue tinggal melengkapi data aja, kok."

Bukan. Bukan itu yang kumau. Aku hanya perlu penjelasan.

Menyadari responku yang tak ubahnya seperti patung, Demitrio menghela napas lelah. "Kenapa, sih, Sharon?" Cowok itu menarik uluran tangannya yang menyodorkanku air mineral.

"Lo yang kenapa."

"Sharon, kalo gue cerita---"

Ucapan Demitrio menggantung di udara karena tatapan matanya tanpa sengaja bersirobok dengan dua sosok pria yang tampak familiar sedang berjalan mendekat.

Aku sontak mengikuti arah pandangnya. Bola mataku refleks membeliak sempurna tatkala kusadari siapa dua pria tersebut. Betapa terkejutnya aku ketika sosok itu kian mendekat hingga akhirnya terbongkar jelas identitas mereka.

"Hai, Rio!" sapa mereka antusias melupakan keberadaanku.

"Apa kabar?" sambung seorang pria setengah abad yang tampaknya sudah tidak asing lagi.

Sepertinya, aku pernah melihatnya.

Tapi, di mana ya?

Mataku memicing, mencoba mengenali pria setengah abad tersebut.

"Hai, Sharon! Kita ketemu lagi, ya."

Lamunanku sontak terhenti ketika seorang pemuda ber-hoodie navy memanggil namaku. Ia menjabat tanganku ramah.

Saat itu, baru kusadari ternyata dua pria tersebut merupakan abang dan papa Demitrio yang pernah kulihat di pemakaman Nenek Maar.

Seketika, perhatian pria berkacamata itu terusik kepadaku. Senyum lebar pria tersebut makin terkembang tatkala melihatku yang duduk berdekatan dengan Demitrio.

"Sharon? Teman pertama Rio, ya?"

Aku meneguk ludah, kelu.

Apa kata beliau?

Teman pertama?

Jadi, sebelum kehadiranku cowok di samping ini tak memiliki teman sama sekali?

Oh ayolah, Sharon, jangan lupakan fakta Demitrio adalah seorang anak anti-sosial dulunya!

Berdeham sejenak, aku tersenyum canggung. "Iya, Om. Saya temannya Demitrio."

"Om Andy senang bertemu dengan kamu, Sharon," sahutnya ceria seraya menjabat tanganku.

Setelah sekilas perbincangan, sekarang benang kusut yang menganggu pikiranku mulai terurai sedikit demi sedikit. Pantas saja ketika kukirimkan electronic massage kepada Ryan, cowok itu menuturkan akan pergi ke Sangiran. Katanya pula kita akan bertemu di sana.

Ternyata, ia janjian pergi ke sini bersama papa-nya untuk bertemu Demitrio selepas perang dingin bertahun-tahun, huh?

Namun, yang sampai saat ini mengganjal pikiranku, kenapa Demitrio harus mengajakku pula?

Tidak bisakah hanya ia sendiri yang datang menemui papa dan abangnya?

Apakah benar alasannya untuk mengajakku menjelajah Sangiran semata-mata untuk melengkapi data tugas Sejarah?

Atau, ada maksud tersembunyi lain?

Ah. Semakin banyak pertanyaan yang tak mampu kuketahui jawabannya.

***

a/n

Beberapa part menuju tamat, nih.
Guys, nanti total 30 part, satu part epilog, satunya lagi bonus chapter.

Nanti, bonus chapternya berisi masa kecil Demitrio dan Sharon yang nggak akur sama sekali (gimana mau akur kalau mereka nggak saling kenal yak 🙈) Wah! Wah!

Sincerely,
Diffean

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang