Chapter 10

13.5K 1.7K 30
                                    

Satu minggu sebangku dengan Demitrio, tak ada bedanya sebangku dengan angin. Kami jarang sekali membuka percakapan jika tidak ada hal mendesak dan maha penting. Satu minggu di kelas ini pula, aku masih memiliki satu teman. Itu pun tidak terlalu akrab, namanya Riris, gadis berjilbab yang duduk tepat di depan bangkuku. Bukannya aku tidak suka berinteraksi, lagi-lagi, berada jurusan di IPS membuat hari-hariku terasa membosankan.

"Sharon, nanti ada mapel Sejarah wajib, kan? Ada PR, nggak?" tanya Riris seraya membalikkan badan menghadapku.

Aku yang sedang mencatat jadwal latihan dari grup ekstrakulikuler Pencak  Silat terhenti, menengadah ke Riris, lalu menyibak poni sampingku yang turun menganggu pengelihatan.

"Setau gue nggak ada, soalnya Bu Indry cuma bilang hari ini bakal bentuk kelompok."

Anggukan dari Riris bersamaan dengan derap langkah Bu Indry yang memasuki kelas. Semua penghuni kelas X IPS 1 sontak mendongak, duduk di tempatnya masing-masing, kelas yang semua sebelas duabelas seperti Pasar Kamis, mendadak hening dalam hitungan detik.

Kusikut Demitrio yang sedang terlelap dengan pipi menempel di atas meja. "Heh, ada guru."

Demitrio mengucek sebelah matanya sambil mengerang kecil. Aku kembali fokus pada Bu Indry yang mulai membacakan sesuatu di depan kelas.

"Seperti janji Ibu kemarin, hari ini kalian akan membentuk kelompok. Kelompoknya dua-dua, anggotanya sama temen sebangku."

Mendengar kalimat terakhir Bu Indry, serta-merta aku melirik Demitrio. Demitrio juga ternyata balas mengerlingku. Melalui sorot matanya, bisa kutarik maksud tersirat dih-lo-sekelompok-sama-gue?

Aku mencibir pelan. "Lah, mau gimana lagi, yang nentuin Bu Indry, kan."

"Tugas kelompok kali ini membuat laporan hasil pengamatan terhadap masa pra-aksara di Indonesia. Waktu pengerjaannya Ibu berikan waktu empat minggu, ya. Ada yang mau ditanyakan?"

Seorang siswa berambut ikal mengangkat tangannya di udara. "Bu, masa pra-aksara di Indonesia 'kan dibagi menjadi beberapa zaman. Banyak banget, Bu. Disebutin semua?"

"Iyalah. Mangkannya kamu saya beri waktu pengerjaan satu bulan. Lalu, untuk hasil analisisnya, kalian bisa mencari literatur-literatur dari luar, tapi jangan lupa juga cantumkan sumber."

Desahan panjang terdengar seluruh penghuni X IPS 1. Eh, ralat. Ada yang tidak mengeluh seperti murid yang lainnya. Siapa lagi kalau bukan Demitrio Airlangga! Dia suka banget pelajaran Sejarah, ya? Wajahnya yang santai-santai saja tanpa emosi membut pradugaku berarti benar.

"Pengerjaannya bisa dimulai dari sekarang."

"Mampus," keluhku malas. Sejurus kemudian, menoleh ke Demitrio. "Gimana, nih, Rio?"

Wajah Demitrio yang datar tanpa emosi tiba-tiba mengeras saat panggilan Rio aku sematkan. Ia seketika menegakkan tubuh. "Jangan manggil gue, Rio."

"Iya-iya Demitrio," ralatku sedikit merasa bersalah. "Jadinya gimana, nih?"

"Ya enggak gimana-gimana."

Aku berdecak. "Lo bisa sesantai itu, ya, hebat," sindirku, sinis.

"Rempong banget sih sekelompok sama lo." Demitrio membuka-buka buku sejarahnya tanpa minat. "Santuy, dong," komentar cowok itu tajam.

"Nggak! Gue nggak bisa santuy kalo nih tugas belom kelar. Kapan kerkel? Lagian kita tetanggaan, hehe." Aku meringis sambil cengengesan menghadapi Demitrio yang super-duper datar.

"Besok, ke rumah gue." Hanya itu yang dia ucapkan sebelum kembali menempelkan pipi di atas meja, mejamkan mata, beberapa detik setelahnya hilang kesadaran tak memedulikan omelanku sama sekali. Dasar Demit!

***

Latihan sore ini cukup melelahkan, ketahanan fisikku benar-benar diuji setelah push up 50 kali, sit up 50, teknik dasar Pencak Silat seperti kuda-kuda, sikap pasang, tendangan dan yang lain dikerahkan hari ini. Coach Andrews meminta kelas X berlatih ekstra karena sebentar lagi akan ada seleksi perwakilan sekolah dalam pekan O2SN.

Keringat mengucur deras membasahi seragam IPSI-ku. Aku beranjak dari tengah ruangan seraya merapikan rambut kucir kudaku yang mencuat tidak karuan. Duduk berselonjor di tepi ruangan seraya menghabiskan satu teguk air mineral.

Coach Andrews menyudahi latihan hari ini dengan berdoa bersama dan high five lima jari ala klub Silat SMA Pelita 2. Satu persatu dari anggota klub yang lain mulai keluar meninggalkan ruangan, hanya tersisa aku dan Coach Andrews. Kuraih tas ransel maroon milikku, lalu mulai memelesat keluar. Akan tetapi, sebelum rencanaku itu terealisasikan, Coach Andrews tiba-tiba memanggil namaku, ragu. Sontak, aku menoleh, kedua alisku berkedut.

"Kamu kelas X IPS 1 kan, Ron?"

"Iya, memangnya kenapa, Coach?"

Coach Andrews tampak ragu sesaat sebelum mengucapkan. "Sekelas sama Demitrio Airlangga?"

Lagi, kepalaku mengangguk. "Kenapa?"

"Nggak, nggak papa, lupain aja." Senyum palsu di wajah Coach Andrews membuatku nyaris mati penasaran. Gelagatnya benar-benar mencurigakan. Menyadari perubahan sikapku, pria berbadan tinggi besar bersabuk hitam garis satu itu terbatuk kecil.

"Coach Andrews kenal Demitrio?"

Beliau mengiyakan.

"Oh, jadi apa yang tadi mau disampaikan Coach Andrews?" desakku dihantui rasa penasaran.

Kedua tangan Coach Andrews mengudara, seakan pasrah. "Bisa jadi teman yang baik untuk anak itu, Ron?"

Tunggu dulu. Kenapa kalimatnya sama persis seperti permintaan yang diucapkan Nenek Maar?

"Nggak papa, Ron, saya hanya ingin menyampaikan hal tersebut."

"Serius? Tidak ada hal lain, Coach."

Pria berbadan bongsor itu menggeleng tentatif. "Kamu sekarang boleh pulang."

Meski sangsi, aku mengangguk, mengiyakan perkataan Coach Andrews walau bibirku sangat ingin menyuarakan apa benang merah yang terjadi antara beliau, Bu Anies, dan Nenek Maar yang sangat misterius. Tak ada pilihan lain, aku memutuskan berpamitan pulang, lalu terburu keluar menemui Bang Aksa yang sudah stand by menjemput di depan pagar SMA Pelita 2.

***

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang