Chapter 18

10.5K 1.4K 21
                                        

Secarik surat dari Bu Anies kemarin perlahan membawaku menuju titik terang. Surat tersebut merupakan surat serupa yang kutemukan ketika Demitrio membuangnya dari jendela kamarnya.

Historia Magistra Vitae.

Ternyata, sobekan kertas yang dulu merupakan surat undangan ini.

Tercetak nama si pengirim Demitryan Hayamwuruk dalam bagian belakang amplop. Aku yakin, pasti ini Ryan kakak laki-laki Demitrio. Dia yang mengajak Demitrio untuk berkompetisi lagi di bidang Sejarah. Menurut hasil duga-dugaku, Demitrio enggan mengikuti perlombaan tersebut karena akan bertemu Demitryan, sementara, ia masih kesal terhadap kakak laki-lakinya itu.

Jadi, hal yang bisa kulakukan sekarang adalah, membantu Demitrio memaafkan masa lalunya. Membuat hubungan kedua kakak-beradik itu seperti dahulu kala.

Ketika tak sengaja kuamati isi di dalam amplop lebih jauh, sorot mataku mendapati sebaris alamat email yang disertakan.

ryanhw@gmail.com
Konfirmasi ya di email itu ya, Rio, kalau mau ikut olimpiade. Aku tunggu :)

Ryan.

Tanpa berpikir dua kali, kugaet ponsel di atas meja belajar lalu mengetikkan pesan elektronik kepada seseoramg. Semoga saja lekas dibalas. Semoga.

From : sharon.allyssa@gmail.com
To      : ryanhw@gmail.com

Hai, Ryan.
Gue Sharon, temen deket Demitrio. Ada sesuatu yang perlu gue bicarain sama lo.
Nice to meet u :)
Salam kenal, Demitryan Hayamwuruk.

***

"Bu, Demitrio jadi tetangga kita waktu aku masih TK, ya?"

Alih-alih Ibu yang menjawab, Bang Aksa justru dengan cepat mengalihkan pembicaraan. "Eh, Ron, parah banget sih lo. Masa dulu Demitrio digosipin vampir haus darah waktu masih TK," sahutnya sesaat setelah meneguk segelas soda dingin.

Aku meringis mengingat gosip-gosip hasil imajinasi liar anak-amak komplek Perumahan Semanggi kala itu. Ibu yang sedang memotong buah semangka kupas akhirnya angkat bicara. "Iya, dari TK kayaknya, Ron. Kenapa?"

Ketika bibirku sudah terbuka untuk menjawab pertanyaan Ibu, ponselku tiba-tiba bergetar, menandakan sebuah notifikasi baru. Kukeluarkan ponsel dari saku celana, menggeser layarnya, lalu tertegun sejenak tatkala baru kusadari ternyata notifikasi tersebut berasal dari balasan email Demitryan.

From : ryanhw@gmail.com
To      : sharon.allyssa@gmail.com

Hai juga, Sharon.

Woah? Benarkah? Rio sudah membuka diri? Bisa tidak besok atau hari ini kita bertemu di Be Kraft?

Salam kenal balik Sharon Allyssa.

Bola mataku nyaris melompat keluar. Sontak, aku menjerit tertahan karena rasa bahagia.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, kujawab email tersebut.

From : sharon.allyssa@gmail.com
To      : ryanhw@gmail.com

Hari ini, gue bisa.

***

Tak pernah terbayangkan di benakku, kalau petang ini aku akan bertemu Ryan di Be Kraft!

Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan seraya mengetuk-ketuk meja karena gugup.  Tubuhku berbalut rok balon denim selutut dan outer hijau toska, dipadu sepatu sneakers putih. Rambutku seperti biasa dikucir kuda.

Kumainkan poni tengahku hingga suara sapaan seseorang membuatku spontan menengadah.

"Sharon Alyssa?"

Seorang pria berambut ikal dengan kemeja hitam mengulurkan tangan ke arahku. Senyuman yang tersungging di bibirnya tampak hangat.

"Oh, hai, Demitryan." Aku berdiri, menjabat tangannya sambil tersenyum lebar.

Demitryan mengerling pada mejaku yang kosong.  "Belum pesan makanan? Dari tadi, ya?"

"Oh enggak, kok. Gue nungguin lo, baru mesen." Kupanggil pelayan Be Kraft untuk memesan sesuatu. Demitryan pun melakukan hal yang sama. Selagi menanti pelayan membawakan pesanan masing-masing, kami membuka percakapan basa-basi.

Berbanding terbalik dengan Demitrio yang cenderung menutup diri, datar, serta misterius, Demitryan justru kebalikannya. Sosok itu sangat terbuka, hangat, dan enak diajak ngobrol hingga larut. Dia ramah sekali, sangat kontras jika dibandingkan Demitrio yang dingin dan wajah tembok.

Tak terasa, pelayan membawakan pesanan kami. Sambil mengiris sepotong waffle ber-topping sundae ice cream, aku menyudahi basa-basi.

"Ryan, gue mau bantu lo deket sama Rio lagi."

Serta-merta, Demitryan menatapku penuh harap. Ia meneguk frapuchino latte sebelum menimpali, "Lo udah tau semuanya?"

Aku mengangguk. "Dari Bu Anies. Tante lo."

"Tapi, apa ada kemungkinan, Sharon? Lama-lama, gue mulai putus asa, padahal setiap hari gue mencoba menelpon Rio, tapi tetep nggak pernah diangkat."

Seperti sumbu kompor yang disulut, ingatan tentang aku dan Demitrio yang berada di perpustakaan lalu ada telepon masuk dari seseorang seperti menghubungan kepingan-kepingan puzzle di otakku. Jadi itu telpon dari Ryan!?

"Bokap lo, Yan, mungkin bisa bantu?"

Demitryan menggeleng lemah. "Nggak ada harapan juga, Ron, sama aja. Tapi, gue yakin Demitrio sebenernya masih sayang sama gue tapi kehalang gengsi dan ego."

"Kenapa nggak coba ketemu langsung?"

Tawa Demitryan kontan berderai, terdengar hambar. "Gue dianggurin, dong."

"Kalo ketemu lagi sama Demitrio gimana? Gue yang siapin semuanya."

"Lo yakin?" Ia menyoal, sangsi.

"Bisa---"

Dering telpon di saku kemeja Demitryan tiba-tiba mengintrupsi kalimatku. Cowok itu mengintrupsi sejenak, berdiri dari tempatnya, sejurus kemudian menepi sejenak.

Kuperhatikan ia lamat-lamat dari sini. Ekspresi Demitryan tampak terpukul. Perasaanku tiba-tiba diserbu kegelisahan.

Tidak ada yang lebih menyebalkan selain Demitryan kembali ke meja kami sesaat setelah lima menit menelpon seseorang sambil berkata, "Nenek Maar meninggal."

***
a

/n

Spesial hari ini, aku update dobel huwaa. Makasii banyak untuk vote dan komentarnya. Makasi juga yang udah sempetin waktu buat baca. Luv yaa! ❤

Maaf kalo akhir-akhir ini aku jarang nongol di wattpad dan jarang update. Organisasi dan seabrek tugas kepanitiaan bener-bener menguras waktu :')

Papay

With luv,
Fean

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang