Chapter 11

13.1K 1.7K 12
                                        

Sore ini, aku dan Demitrio memulai kerja kelompok. Aku  datang lebih awal satu jam dari kesepakatan sebelumnya. Lagipula, rumah kita sebelahan, aku tak perlu repot-repot datang tepat waktu, aku juga masih ingin mengobrol lebih banyak dengan Nenek Maar.

Nenek Maar menyambut kedatanganku hangat dengan kedua tangannya yang merajut kaos kaki abu-abu.

"Ada apa, Ron?"

Aku celingak-celinguk di daun pintu rumah Demitrio yang sedikit reyot. "Kok sepi, Nek? Demitrio mana?"

"Tumben nyari Demitrio." Senyum keibuan di bibir keriput Nenek Maar tak pernah absen menenangkan.

"Ada kerkel, Nek." Aku melangkah ke ruang tamu. Duduk di sofa berdebu sisi kiri Nenek Maar.

"Kerkel apa?"

"Sejarah. Demitrionya mana?"

"Dia belum pulang dari psikater." Nenek Maar meletakkan kaus kaki rajut abu-abunya di atas meja kecil dekat sofa. Sejurus kemudian, mengerling ke arahku. "Mau Nenek kasih liat 'harta karun'?" ujar nenek renta tersebut seraya mengutip kata harta karun.

Kedua mataku sontak berkilat cerah. "Wah, harta karun apa, Nek?"

Nenek Maar menoleh ke kanan-kiri, seolah hal yang akan disampaikannya maha penting sehingga jangan sampai ada orang lain yang tahu, setelah memastikan semuanya aman, nenek berusia 70 tahunan itu berbisik, "Harta karunnya Demitrio. Mau lihat?"

Tanpa berpikir dua kali, aku mengangguk antusias. Nenek Maar terkekeh pelan, kemudian memberikan aba-aba kepadaku untuk mengikuti langkahnya. Aku menurut, enggan bertanya lebih jauh. Akhirnya, kami berdua sampai di sebuah tangga menuju lantai atas. Di sebelah anak tangga tersebut, terdapat sebuah tongkat. Nenek Maar merenggut tongkat itu dan dengan tertatih-tatih bangkit dari kursi rodanya.

"Eh, Nenek nggak papa?" tanyaku seraya membantunya berdiri.

Nenek Maar mengangguk. "Tenang, udah biasa kok, Ron."

Dengan sigap, aku menuntut Nenek Maar menaiki  satu persatu anak tangga walau terseok-seok. Ketika mencapai anak tangga terakhir di lantai dua, sebuah kamar berdaun pintu kayu jati menyambut indra pengelihatanku untuk kali pertama. Di depan pintu itu, terdapat gantungan bertuliskan, Kamarnya Demitrio.

Kedua mataku kontan mengerjap "Nek, ini kamarnya Demitrio yang terhubung dengan jendela kamarku, kan?"

Sekaligus, kamar yang menjadi asal-muasal lantunan musik hard rock di atas jam dua belas malam.

Nenek Maar mengangguk singkat. "Masuk, yuk, Ron, Nenek beritahu harta karun terbesarnya Demitrio." Beliau memutar kenop pintu sekali hentakan. Sesaat kemudian, pintu kamar terjeblak lebar, menampakkan sebuah ruangan luas yang bernuansa abu-abu. Cat temboknya, perabotannya, pernak-perniknya, semua serba monokrom. Kakiku  tanpa sadar memasuki ruangan.

Jadi ini, ruangannya Tuan Tembok yang tak pernah kuketahui isinya. Luas juga ternyata, dua kali lebih luas dari ekspetasiku selama ini. Kamar Demitrio lebih tertata dari ruangan-ruangan lain di rumah lawas ini.

"Mana, Nek, harta karunnya Demitrio?" tanyaku seraya menoleh kepada Nenek Maar.

Nenek Maar bergeming, akan tetapi jari telunjuknya terarah pada sebuah rak buku putih di dekat jendela. Beliau mendekat ke sana sembari menggandeng lenganku.

"Hal yang paling berharga bagi Demitrio setelah musik hard rock." Nada sendu terselip dalam perkataan Nenek Maar yang biasanya hangat dan ceria. Nenek tua berkacamata itu meraih salah satu buku koleksinya secara asal. Judul buku itu Sejarah Indonesia Jilid V.

Mataku terbeliak. Rahangku mengangga tanpa sadar. Jadi ini harta karunnya Demitrio? Buku-buku Sejarah yang sangat membosankan? Kuteliti lagi kumpulan buku pada rak tersebut.

Keserakahan VOC, Tragedi Berdarah Amboyna, Konstatinopel Dan Perkembangannya, Indonesia Dalam Sejarah Dunia, Peristiwa-Peristiwa Penting Di Dunia, History Of Java, History Of Celebas.

Tunggu-tunggu, kenapa isinya buku Sejarah semua?

Apa otak Demitrio tidak meledak membaca buku sejarah sebanyak dan setebal ini?

Tiba-tiba, peristiwa ketika Demitrio mampu menjawab pertanyaan bertubi dari Bu Indry dengan cepat terputar di otakku, hingga semuanya mencapai titik terang.

Oh, Demitrio maniak sejarah. Harus kuakui, ini keren!

Baru saja aku hendak mengambil salah satu buku dari koleksi cowok berwajah pucat tersebut, terdengar klakson mobil dari depan rumah. Tidak lama disusul derap langkah seseorang membuka pagar.

"Demitrio sudah datang!" ujar Nenek Maar terdengat panik. "Ayo, Sharon, kita segera turun sebelum ketahuan." Ajakan beliau membuatku mau tak mau meninggalkan ruangan ini meski rasanya ingin berlama-lama menyelami dunia Demitrio.

Sebelum Demitrio membuka pintu rumah, untung saja kami berdua telah berada di lantai bawah. Nenek Maar lantas bersikap senormal mungkin dengan berpura-pura melanjutkan rajutan kaus kaki abu-abunya sementara aku memainkan ponsel.

"Assalamualaikum," sahut Demitrio sesaat sebelum mengetuk pintu. Satu detik setelahnya, disusul suara melengking yang sudah tidak asing lagi mengucap kata yang sama.

Demitrio masuk bersama Bu Anies sambil menenteng sebuah kresek berlogo Gramedia. Seketika, kedua mataku terbeliak. Demitrio juga tak kalah terkejut, cowok itu terkesiap dengan dahi bergelombang meminta penjelasaan.

"Lo kok udah nyampe? Kan janjinya kemaren jam dua belas," gerutu Demitrio seraya mengerling sinis.
Berbeda dengan respon Demitrio, berbeda pula respon yang Anies 

"Sharon? Tetanggan sama Demitrio, ya?" Aku segera bangkit sembari menyalami tangan Bu Anies. Sorot mata Bu Anies berbinar tatkala menatapku.

Bu Anies merangsek ke arahku secara spontan. Mendekatkan bibir pada indra pendengaranku. Lalu, berbisik lirih, sangat lirih, "Bisa jadi teman yang baik untuk Demitrio?"

Tak ada yang bisa kulakukan saat ini selain mengangguk. Terlalu bingung untuk sekadar menolak karena ada tiga orang berbeda yang mengucapkan hal serupa.

Sharon, bisa janji satu hal sama Nenek? Tolong, jadi teman yang baik untuk Demitrio.

***

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang