Chapter 16

10.5K 1.5K 23
                                    

Kursi di sebalahku lagi-lagi tak terisi. Sang pemilik tidak kunjung hadir selama tiga hari berturut-turut tanpa keterangan.

Aku rindu dialog singkat yang membawaku menelusuri cerita-cerita masa lampau. Aku rindu tidur malamku diganggu tatkala ia menyetel musik rok keras-keras. Aku rindu pengalaman canggung ketika kita pertama kali bertemu di masa orientasi. Aku rindu.

Hari-hariku di sekolah terasa luar biasa membosankan. Aku ingin cepat-cepat pulang. Aku ingin cepat-cepat melihat keberadaan Demitrio dan Nenek Maar di sana.

"Bu, Nenek Maar ke mana ya?" tanyaku lesu sambil mengganti-ganti chanel televisi.

"Kemarin, ibu lihat Nenek Maar pingsan, lalu digotong sama siapa gitu Ibu kurang tahu. Ada perempuan berkacamata yang terlihat panik saat Nenek Maar dibawa masuk ke mobil." Ibu berusaha mengingat-ngingat seraya mengaduk secangkir kopi di pantry.

Refleks, aku menoleh kepada Ibu. "Pingsan? Terus-terus? Demitrio sama Nenek Maar ke mana?" selidikku mengintrogasi.

Ibu mengendikkan bahu. "Ibu juga nggak tau, saat itu Ibu lagi beres-beres di balkon kamar kamu, terus dari bawah Ibu liat kejadian itu. Saat Ibu mau nyamperin, Nenek Maar keburu dibawa masuk ke mobil."

"Sekarang kondisinya gimana?"

"Ibu kurang tau, Ron, sampai sekarang juga belum pulang."

Seketika, aku bangkit. Otakku perlahan memahami situasi kali ini. Kuraih kontak sepeda motor Bang Aksa di atas meja televisi. Hari ini, abangku tidak ada bimbingan gap year, kemungkinan besar ia tidak akan keluar rumah, otomatis sepeda motornya bisa kugunakan.

"Ibu, aku pergi dulu, ya. Penting," pamitku seraya melenggang pergi. Tak kudengar lagi ucapan-ucapan Ibu yang mulai samar dari dapur.

Aku tahu, lokasi mana yang menjadi tujuanku saat ini.

Untuk menemukan jawaban. Untuk membongkar tanda tanya yang selama ini kucari-cari.

***

"Ada apa, Sharon?" Coach Andrews menaikkan sebelah alisnya ketika menyadari sosok asing di sanggar beladiri khusus anak-anak.

Dulu, di awal perkenalan, pria bersabuk hitam itu pernah bercerita selain menjadi guru olahraga dan pembina klub Silat di SMA Pelita 2, beliau juga mengajar di klub silat Harapan. Maka, saat aku membutuhkan bantuan Coach Andrews secara mendadak, aku bisa menemuinya di bangunan ini setelah mencarinya di Google Maps.

"Tau nggak Coach kenapa akhir-akhir ini Demitrio nggak masuk sekolah?" tanyaku tanpa berbasa-basi.

Coach Andrews tampak terkejut mendengar pertanyaan. Beliau lalu mengajakku menepi untuk mengindari kebisingan ruangan.

"Nenek Maar kritis, Sharon. Beliau dirawat di rumah sakit, keadaannya tidak stabil," ucap Coach Andrews lemah seraya menepuk-nepuk bahuku pelan.

Tubuhku seketika menegang, rahangku membulat, dengan cepat kubekap mulutku sendiri dengan telapak tangan. "Terus gimana?"

Gelengan lirih dari Coach Andrews membuatku makin panik. "Nggak ada perubahan. Dari kemarin-kemarin keadaannya tetap kritis. Beliau bisa bertahan dengan bantuan alat-alat medis."

Kakiku terasa lemas, kepalaku berkunang-kunang. "Demitrio gimana?"

"Demitrio nggak mau sekolah sebelum Nenek Maar sadar. Hal yang paling dia takuti, Ron, ketika dia sekolah, neneknya menghembuskan napas terakhir."

Sambil mengusap wajahku gerah, kutatap Coach Andrews yang juga terlihat muram. "Kalo boleh tau, dirawat di rumah sakit mana?"

"Kamu mau ke sana?" Alih-alih menjawab, pria di hadapanku justru balik menyoal.

"Tentu."

"Ayo, kita pergi sama-sama setelah saya selesei melatih. Tunggu dua puluh menit lagi."

***

Sosok yang selama ini menganggu pikiranku itu duduk dengan kaki berselonjor di kursi rumah sakit. Sorot matanya menerawang jauh ke depan, tampak kosong. Wajahnya muram. Begitu juga dengan ekspresinya. Satu earphone menyumpal telinga kirinya seakan tak digubris.

"Demitrio," panggilku, lirih.

Seseorang yang namanya kusebut itu menoleh, sedikit terkesiap, senyumannya sontak terpulas getir.

Aku mendaratkan tubuh di sebelah cowok itu, merangkul bahunya sebagai tanda pertemanan, lalu berbisik lembut, "Semua akan baik-baik saja."

Cowok itu mengangguk lemah. Menggaet earphone sebelah kanannya yang menjutai, kemudian memasangkannya di telingaku. "Coba dengerin musik hard rock yang selama ini gangguin tidur malem lo."

Aku tertawa kecil, menyambut earphone itu sambil menghentak-hentakan kaki mengikuti iramanya yang meledak-ledak.

Kami tenggelam dalam hening. Terbuai kebisuan yang menenangkan. Sebuah perasaan ganjil menelusup ke batinku, nyaman. Aku tak pernah merasakan ini sebelumya saat sebangku dengan Demitrio.

"Sharon." Suara lemah Demitrio membunuh kesunyian setelah sekian lama.

Aku menoleh tanpa melepas earphone. Sebelah alisku terangkat. "Kenapa?"

"Gue takut."

Sorot mata penuh luka itu membuat dadaku sesak tatkala melihatnya. Kugenggam tangan cowok tersebut, erat. Seakan menyalurkan ketenangan. Kutatap menatap Demitrio penuh rasa iba. Cowok datar itu tampaknya telah mencapai titik rapuh.

"Dulu, waktu umur enam tahun, gue pernah ada di posisi ini, Ron. Nyokap kena kanker serviks studium akhir, pagi itu, bukannya nememin beliau di ICU, gue malah sekolah. Waktu gue udah pulang, nyokap dipanggil Tuhan."

Satu air mata lolos dari benteng pertahanannya.

"Gue bener-bener hancur, Ron. Seseorang yang selama ini menjadi penyemangat gue buat jadi anak yang nggak terus-terusan punya psiko-sosial kandas. Lo sekarang tahu 'kan alasan gue nggak pernah keluar rumah dan bersosialisasi? Lalu, setelah saran dari psikater dan desakan dari nenek, perlahan gue belajar untuk memaafkan masa lalu. Ketika gue sudah berada di posisi ini, Tuhan juga mau ngambil nenek?"

Detik itu juga, aku sadar, wajah datar yang selama ini coba ia pasang di muka publik tak lebih dari sekedar pengalihan.

***

a/n

Maaf maaf maf bangettt updatenya lama banget euy 😭
Sebenernya, aku udah nulis cerita ini sampai klimaks dan tinggal post-post aja. Hanya saja, selalu kehalang kuots :')
Iya tau nggak modal banget emang. Maapkeun. :)
Makasi yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Aku sangatt meng-apresiasi itu ❤

Regards,
Diffean

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang