Chapter 5

16K 1.8K 22
                                        

Sudah kubilang berkali-kali bukan, kalau dalam hal menganggu orang tidur, Demitrio juara satu? Katakan saja, ia pandai membangunkanku tengah malam dengan suara musik hard rock.

Tapi, lain cerita dengan hari ini. Mataku sulit terpejam meski alunan lagu dari kamar Demitrio menyala menendang-nendang. Melalui meja belajarku yang mengarah ke jendela kamar Demitrio, mentransferkan bebunyian yang membuat belajarku terganggu. Konsentrasiku pecah. Padahal, besok nerupakan hari terpenting tes penjurusan IPA-IPS, sedari SMP aku sudah berambisi masuk ke kelas unggulan IPA 1 di SMA Pelita 2. Jadi, besok merupakan kesempatan emas untuk mewujudkan impianku.

Namun, angan-angan tersebut sirna ketika Demitrio menyalakan musik favoritnya bervolume kencang. Huh.

Bagaimana bisa aku belajar dengan tenang!?

Kututup buku Detik-Detik IPA dan Matematika di meja belajar, tangan kananku menopang dagu dengan sorot mata memicing lurus ke depan. Sementara otakku bekerja memikirkan cara menghentikan suara musik cowok misterius itu.

Menegurnya? Percuma! Berbicara dengan Demitrio hanya akan membuang-buang energi.

Marah-marah? Sepertinya, tidak akan membantu banyak.

Lama aku bergeming di sana hingga tak sadar jika gorden kamar cowok tersebut terjeblak lebar, menampakkan sebuah kamar gelap gulita yang hanya memiliki penerangan redup dari lampu meja belajar. Sontak, mataku  melebar tatkala sang Pemilik Kamar membuang secarik kertas dari jendela. Tubuhku menegak tanpa sadar  untuk melihat wajah Demitrio dengan jelas.

Sial.

Remang pencahayaan yang minim membuat sosoknya sebatas siluet. Kakiku menendang udara bebas seraya berdecak sebal.

Nyaris saja! Sedikit lagi aku mengetahui wajah misterius Demitrio.

Setelah membuang secarik kertas tersebut, cowok itu pun dengan tenang duduk di meja belajarnya. Menggaet sebuah buku tebal yang tidak kuketahui judulnya, lalu mulai menekuni di tengah redupnya cahaya kamar dan musik hard rock yang menderu-deru.

"Gila, sih," decakku kagum tanpa sadar. "Eh tapi, apaan tuh yang dibuang Demitrio? Itu kertas apa?"

Rasa penasaranku mulai menggebu. Mengalahkan segala kemungkinan lantaran saat ini sudah jam 12 malam, aku membulatkan tekad untuk memungutnya. Tanpa berlama lama lagi, aku bangkit, menuruni anak tangga, mengendap-endap mengambil kunci pintu dan pagar dari dalam vas ruang tamu, lalu menutupnya kembali dengan sangat hati-hati agar Ibu tidak mendengar.

Jalanan di Komplek Perumahan Semangi pada malam hari teramat sepi. Belum lagi remangnya lampu jalanan. Aku bergidik, dengan cepat kucari kertas yang dijatuhkan Demitrio. Tanpa menunggu lama, kertas itu menyapa di indra pengelihatanku. Aku segera memungutnya dan membawanya masuk ke dalam rumah.

"Apa, ya, kira-kira isinya," gumamku pada diri sendiri. Sambil bersandar di sofa ruang tamu, kubaca kertas milik Demitrio itu perlahan.

Historia Magistra Vitae!

Sontak saja, alisku berkedut. Ini surat apa, ya?

Pendaftaran Sarasvati 2019 akan dibuka. Kamu tidak berminat
ikut?
Aku yakin, kamu pasti hebat.

Salam Historia.

"Hah? Sarasvati?" Kubalik surat tersebut barangkali menemukan informasi. Tapi nyatanya, tidak.

Apa itu Sarasvati?

Kenapa ada tulisan historia magistra vitae? Kira-kira, artinya apa, ya?

***

Soal tes penjuruan benar-benar membuatku kebakaran jenggot. Harapanku masuk ke kelas MIPA 1 semakin pupus. Baru saja mengerjakan soal nomer satu, kepalaku seperti ditimpa bom atom. Aku mendesah, betapa beruntungnya Demitrio Airlangga yang tak perlu repot-repot mengerjakan soal-soal ini tapi sudah masuk ke kelas MIPA 1.

"Udahlah nggak usah terlalu dipikirin." Faya berusaha menghibur, cewek berponi tengah itu mengajakku mengisi perut di kantin daripada memikirkan hasil tes penjuruan tadi.

"Mau IPA, IPS, sama aja, Ron. Semua tergantung setiap individunya." Gadis itu berjalan mengomandoiku.

"Kira-kira, jam berapa ya pengumumannya?" Aku bertanya ragu, menghentikan langkah.

"Kata panitia, sih, hari ini sepulang sekolah kalo enggak besok." Faya mengangkat bahu, lalu kembali menarik langkah.

Aku tak siap mengetahui hasilnya, sungguh.

***

Hari ini merupakan hari pertama klub Silat mengadakan latihan. Para anggota baru berkumpul di dalam klub membentuk lingkaran besar, satu persatu mengenalkan diri, kelas dan tujuan mengikuti klub.
Belum ada latihan fisik, hanya cuap-cuap dan basa-basi agar saling mengenal. Latihan baru berakhir ketika jarum jam menunjukkan pukul 5 tepat. Matahari nyaris menggelincir ke peraduannya. Koridor-koridor SMA Pelita 2 senyap tanpa derap langkah. Anak-anak klub yang lain sudah pulang, hanya aku yang tersisa sendiri di depan gerbang menunggu Bang Aksa.

Namun, Bang Aksa sulit dihubungi. Kemungkinannya hanya satu, Bang Aksa masih di tempat bimbingan belajarnya mengejar gap year. Harusnya, tahun ini ia menjadi mahasiswa baru tapi diundur karena mengejar gap year.

Adzan maghrib berkumandang dan Bang Aksa belum menunjukkan keberadaan batang hidungnya. Kucoba sekali lagi menghubungi Bang Aksa, tapi hasilnya sama aja. Lelah. Aku menghembuskan napas berat.

Tiba-tiba, sesosok pria jangkung dengan masker biru melenggang keluar dari gerbang dengan mengayuh sepeda gunungnya. Aku terkesiap. Kukira, tinggal aku saja yang tersisa di sekolah ini, ternyata ada lagi.

Saat kuamati lebih teliti, ternyata sosok bermasker itu merupakan orang yang sama seperti kulihat di gudang sekolah tempo hari.

"Ron, ayo pulang. Maaf lama, tadi gue ada kelas tambahan soalnya." Bang Aksa tiba-tiba sudah berdiri di sampingku, cowok itu menyerahkan helm lalu menyuruhku segera naik ke boncengan.

Sebuah ide gila tiba-tiba menyembul di atas kepalaku bak bola lampu.

"Bang, lo liat cowok yang pake sepeda gunung itu, kan? Ikutin, Bang." Meski raut Bang Aksa tampak binggung, ia menuruti perintahku.

Lima belas menit aku mengikuti cowok itu, lima belas menit pula aku diperangkap kebingunan.

Tunggu, tunggu, ini 'kan jalanan rumahku!?

"Sharon, penyelidikan abal-abal lo bisa sampe di sini aja, nggak? Gue mau liat live streaming gambar anime di Instagaram," keluh Bang Aksa, "Dan lagi, kenapa jalannya cowok itu kayak jalanan rumah kita ya, Ron?"

Alisku berkedut. Saat ini, semua serba teka-teki. Karena Bang Aksa sibuk mendumel ini-itu, ia tak memerhatikan jejak cowok misterius tersebut. Hingga akhirnya hilang, sosoknya tidak dapat ditemukan. Sialan.

***


Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang