Chapter 7

13.4K 1.8K 50
                                    

Jauh di luar ekspetasi, Demitrio Airlangga tidak lain tidak bukan tetangga sebelah rumahku! Aku benar-benar syok, sungguh. Belasan tahun aku bertetangga dengan cowok tersebut, tetapi baru kali ini aku mengetahui wujudnya secara gamblang.

Dulu, sewaktu kami masih taman kanak-kanak, ia pernah digosipkan sebagai hampir haus darah, atau psikopat berdarah dingin. Bahkan, yang lebih kejam, pengedar narkoba anti-sosial. Akan tetapi, saat bertemu sosoknya secara kebetulan di masa orientasi, rumor-rumor menyeramkan tentang dirinya hilang dalam sekejap.

Seperti saat ini, ketika aku  duduk menopang dagu sambil mendengarkan ocehan Bu Indry, Demitrio duduk di sebelahku dengan pipi menempel di atas meja, kedua mata terpejam, dan asyik berkelana di dunianya sendiri.

Kami berdua layaknya sosok asing yang tak saling mengenal. Padahal, selama belasan tahun bertetangga. Ia sama sekali tak tertarik untuk membuka percakapan. Paling tidak, berinteraksi sekecil apapun. Sebangku dengan Demitrio tak ada bedanya sebangku sama tembok! Dia itu datar sekali! Nyaris tidak ada emosi di wajah putih pucatnya.

Aku mengendus malas, benar-benar mati bosan. Satu hari di kelas IPS 1 aku masih belum mempunyai teman. Jujur saja, kekecewaanku pada hasil tes membuatku malas berada di kelas ini. Lalu, bisa-bisanya cowok disampingku ini pindah jurusan!?

"Bab pertama pelajaran Sejarah wajib kali ini adalah Masa Pra-Aksara di Indonesia, ya." Setelah sesi perkenalan yang amat membosankan, akhirnya beliau mulai masuk ke inti pelajaran hari ini.

Kuhembuskan napas lelah. Untuk membuat siswi-siwi di kelas ini kebosanan, pelajaran sejarah juaranya. Belum dimulai saja aku sudah mengantuk.

"Tolong itu yang di belakang sendiri, temennya dibangunin, ya." Bu Indry menunjuk ke arahku dengan spidol papan tulis. Lalu, sorot matanya berpindah ke Demitrio.

"Heh, bangun," bisikku sambil menguncang-guncang tubuh Demitrio. Bu Indry memasang raut masam, sejurus kemudian melanjutkan penjelasannya yang tertunda, menuliskan Indonesia Masa Pra-Aksara besar-besar di whiteboard.

Demitrio mengerjap, matanya melirikku malas.

"Udah ada guru." Sebisa mungkin, aku menghindari tatapan tajamnya dengan dalih menulis catatan yang ada di papan.

Tanpa membalas ucapanku, paling tidak berterimakasih, cowok itu menopang dagu memerhatikan penjelasaan Bu Indry.

Aku curiga, di dalam tubuh Demitrio ada kutub selatan dan utara, ya? Atau, cowok itu enggan mengeluarkan suara karena jika membuka mulut wajahnya langsung retak-retak?
Kalau kalian ingin beli es batu sepabrik-pabriknya, coba aja ngobrol sama Demitrio!

"Sebelum saya lanjut ke materinya, saya mau mengetes pemahaman kalian tentang bab pra-aksara di Indonesia. Udah pernah dipelajarin, dong, di kelas 3 SMP." Bu Indry menyeringai jahil. Sorot matanya menelisik satu per satu di antara kami, mengedar ke penjuru ruangan, seakan mencari mangsa.

Sontak, seisi kelas menunduk dalam-dalam bak ada beton besi yang tersampir di bahu mereka.

Eh, ralat. Bukan seisi kelas. Tampaknya, ada satu siswa yang anteng-anteng saja pada posisi menopang dagu. Sepertinya, itu menjadi sasaran yang empuk bagi Bu Indry.

"Kamu, yang barusan tidur di kelas, coba sebutkan urutan masa pra-aksara di Indonesia."

Tanpa gentar dan keraguan sedikitpun, Demitrio menjawab lugas. "Paleolithikum, mesolithikum, neolithikum, megalithikum."

"Tepat!" Senyum manis terpatri lebar di bibir Bu Indry. Sekilas, aku meliriknya, tapi lagi-lagi wajahnya datar.

"Manusia-manusia pendukung di zaman pra-aksara?"

Tangan kanan Demitrio mengudara. "Secara garis besar ada pithecanthropus, meganthropus, dan homo."

"Mungkin, temen-temenmu ada yang belum paham, bisa dijelaskan Demitrio?" Bu Indry berjalan ke arah Demitrio sambil menyodorkan spidol whiteboard. "Tidak keberatan, bukan?"

Demitrio mengangguk singkat, mengambil spidol itu cepat, lalu segera memelesat ke depan kelas penuh percaya diri. Sosok dingin itu menggoreskan pena membentuk peta konsep Masa Pra-Aksara Indonesia. Sejurus kemudian, mulai menjelaskan secara lugas kepada teman-teman sekelas. Caranya menerangkan bak seorang guru yang amat terstruktur nan sistematis. Bahkan, tak jarang dia mampu menyikat ludes segala pertanyaan yang datang dari teman-teman kami.

Tanpa sadar, bibirku mengeja, "keren!"

***

"Lo suka sejarah, ya?" Sekembalinya Demitrio dari depan kelas, aku menyerbunya dengan pertanyaan.

Ia hanya mengangguk. Tanpa perlu repot-repot menatap lawan bicaranya. Cowok berwajah putih pucat itu menekuri buku sejarah yang terbuka.

"Suka banget?"

"Lo kepo banget, ya?" Untuk pertama kalinya Demitrio membuka suara di hadapanku, perkataannya keluar justru menyebalkan.

Sambil mendumel, aku tetap memujinya. "Lo tadi keren banget, gila!"

Hening. Dia sibuk dengan dunianya sendiri.

"Gimana, sih, supaya nggak bosen belajar sejarah?"

Jujur saja, aku membangun interaksi dengan Demitrio dengan tujuan mengorek informasi mengena hobi-nya yang memutar lagu-lagu lawas hard rock.

"Kenapa lo banyak tanya?" Tampaknya, ia terganggu dengan pertanyaanku. Demitrio mengerling sinis yang berarti berisik-lo.

"Ya, kan, gue kepo," cibirku, malas.

"Anak-anak, boleh minta perhatiannya sebentar?" pinta Bu Indry, setelah suasan kelas hening, beliau melanjutkan, "Untuk bab ini, Ibu akan membentuk kelompok beranggotakan dua orang. Kelompoknya gimana? Sesuai teman sebangku. Tugasnya akan Ibu beritahu di pertemuan berikutnya.

Refleks, aku menatap Demitrio, tak disangka Demitrio juga balik menatapku. Melalui kontak mata, aku seolah berujar.

Heh kita sekelompok!

bersambung

a/n

Akhirnya dua orang sebangku ini sadar jika rumahnya sebelahan :)

Sincerely Yours,
Diffean

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang