Nama : Sharon Alyssa
Gugus : Pattimura
Diterima di kelas : X IPS 1Setelah membaca pengumuman resmi dari sekolah yang baru saja dibagikan, aku mendesah berat. Kecewa dengan hasil yang baru saja dibagikan. Alih-alih ke MIA 1, aku justru ke kesasar di jurusan IPS.
"Masuk mana lo, Ron?" Faya menyikut lenganku, cewek berponi tengah itu menyimpan barang-barangnya di tas, lalu bangkit.
"IPS." Aku tertunduk lesu. Sedetik kemudian, menoleh pada Faya. "Eh, lo mau ke mana?"
Faya memutar bola matanya. "Ke kelas barulah."
"Nggak nunggu apel penutupan MPLS dulu baru ke kelas baru?"
"Taruh tas dulu di sana, toh selesei upacara juga langsung adaptasi ke kelas masing-masing, kan?"
Aku mengikuti komando Faya, menyampirkan tas ransel di bahu lalu dengan langkah berat mengikuti langkahnya. "Lo masuk kelas mana?" Suaraku memecah keheningan.
"MIA 6."
"Sebelahan sama kelas gue, dong?"
Lagi, aku menjawabnya lesu. Masuk ke kelas IPS adalah hal yang sangat tidak kuinginkan, paling tidak, jika aku ke jurusan MIPA meskipun akhir, itu lebih baik. Oke, aku harus beradaptasi dengan anak IPS lain.
"Gue masuk dulu, Ron." Faya melambaikan tangan ke arahku, lalu, badan mungilnya bergerak gesit memasuki kelas berpalang X MIA 6.
Aku memaksakan seulas senyum seraya menarik langkah memasuki kelasku sendiri. Karena masih kecewa dengan hasil tes tersebut, tanpa sengaja aku menyenggol bahu seseorang yang hendak keluar kelas.
"Maaf," ucapku refleks sembari menengadah.
Seorang cowok berwajah putih pucat, berahang tegas, bibir tipis merah muda pecah-pecah dan sorot setajam elang itu seolah menyedotku dalam lubang hitamnya. Seketika, tatapan kami saling bertemu. Terkunci. Tak mau lepas. Otot-ototku menegang.
Ia mendecih singkat, lalu melanjutkan langkah tanpa menoleh ke arahku lagi. Aku memandang kepergiannya dengan posisi yang masih sama.
Namanya siapa tadi?
Terlalu banyak teka-teki untuk memecahkan sosoknya.
"Waktunya apel penutupan MPLS, Ron!" Tahu-tahu, Faya menepuk bahuku dari belakang. Entah kapan datangnya cewek yang satu ini. Tak perlu diperintah dua kali segera kutaruh tas ranselku asal di bangku yang masih tersisa. Pilihan tempat dudukku jatuh pada kursi kosong berpenghuni tas ransel hitam polos di pojok belakang kelas.
"Yuk." Kugandeng lengan Faya lalu kami berdua memelesat ke lapangan depan.
***
Akhirnya, aku 'resmi' menjadi murid putih abu-abu setelah melalui rangkaian masa orientasi. Hari efektif pembelajaran baru dimulai besok! Akan tetapi, antusias menyambut tahun ajaran baru sontak surut tatkala mengingat aku diterima di jurusan IPS.
Kulepas topi abu-abu berbordir SMA Pelita 2 lalu menyimpannya di kolong meja, ketika aku hendak berbalik menghadap papan tulis, sesosok pria bernadan jangkung berdiri tepat di sebelah kiriku.
"Eh?" Aku mendadak salah tingkah.
Oh, tolong! Jangan katakan kalau tas hitam polos di sampingku ini punyanya?
Wajah datarnya sulit sekali untuk kutebak. Tak kujumpai secercah emosi pun di sana.
Tanpa banyak bicara, ia duduk di sebelahku, sejurus kemudian menenggelamkan wajah dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja."Hai." Berani bertaruh, suaraku barusan luar biasa gugup.
Aku tidak bisa membayangkan nasib satu tahun ke depan jika menghabiskan hari dengan sosok yang super duper misterius ini.
Salah seorang panitia OSIS berjalan memasuki kelas sambil membawa secarik kertas. Perhatianku sontak teralih. Aku mengalihkan atensi dari cowok di sampingku lalu ke kakak OSIS di depan.
"Permisi semuanya." Manik mata kakak kelas tersebut menelisik satu persatu penghuni X IPS 1. "Di sini ada yang namanya Demitrio Airlangga?"
Mataku terbelalak. Tanpa sadar, tangan kananku refleks membekap mulutku sendiri.
Demitrio Airlangga?
Bukankah ia masuk ke kelas MIPA 1?
Kenapa jadi nyasar ke IPS?
Jangan bilang....
Ayolah, Sharon, di luar sana puluhan bahkan ratusan siswa berlomba-lomba mendapatkan kelas MIA 1, sedangkan Demitrio Airlangga melepaskan kelas tersebut secara cuma-cuma? Kepalaku menggeleng tak mengerti.
"Saya." Suara bariton itu berasal dari cowok di sebelahku. "Saya Demitrio Airlangga."
Tunggu-tunggu, otakku tak mampu mencerna informasi baru secara mendadak. Kuperhatikan cowok berparas putih pucat tersebut dengan tatapan penuh selidik.
"Ikut Kakak sebentar, yuk. Bawa tasmu."
Cowok itu---err ... maksudku Demitrio Airlangga, bangkit dari kursi sesaat setelah menarik tas ransel polos hitamnya. Aku memandang kepergiannya dengan berjuta tanda tanya. Seluruh atensi di kelas terfokus satu objek. Demitrio Airlangga. Hingga sosok itu lenyap ditelan jarak pun, desas-desusnya masih juga terdengar.
"Bukannya Demitrio anak MIA 1 ya? Kok bisa masuk IPS?"
"Denger-denger, dia pindah jurusan."
"Kenapa bisa pindah jurusan? Kan udah enak masuk MIA 1, tanpa seleksi lagi."
Tiba-tiba, kepalaku terasa pening. Terlalu banyak teka-teki yang menunggu dipecahkan di sini.
***
Entah alam semesta yang sedang berkonspirasi denganku atau bagaimana, yang jelas, saat ini aku berkesempatan bertemu Demitrio Airlangga, lagi.Sorot mataku tanpa sengaja menangkap sosok berpunggung kurus itu sedang mengayuh sepeda di Komplek Perumahan Semanggi.
Aku mencolek Bang Aksa berkali-kali. "Liat, Bang! Liat Bang! Itu Demitrio Airlangga temen sekelas gue!"
Bang Aksa menghentikan sepeda motornya secara mendadak. Aku terjengkal ke depan, menabrak punggung yang dibalut jaket putih. "Apaan, sih, ngerem mendadak,"gerutuku sebal.
"Dia Demitrio Airlangga tetangga kita, Ron?"
"Entah, ikutin aja dulu." Aku menepuk bahu Bang Aksa, memberikan intruksi untuk segera menjalankan motornya. Bang Aksa yang juga didekap oleh rasa penasaran, akhirnya mengikuti Demitrio Airlangga juga.
"Sharon, Aksa, mau ke mana?" Ibu yang sedang menyiram tanaman di halaman rumah berteriak sambil menggacung-acungkan slang air yang padam.
Tanpa sadar, selama membuntuti Demitrio, kami berdua berada di depan pagar rumah. Bang Aksa sontak menoleh ke arahku, tatapannya seakan berkata loh-kok-sampai-di-rumah?
Aku juga balik menatap Bang Aksa penuh tanda tanya. Butuh satu menit bagi kami untuk menyadari jika....
"JADI ITU WAJAHNYA DEMITRIO TETANGGA SEBELAH RUMAH KITA!?"
***
a/n
Yah wajah Demitrio akhirnya ketauan 😂
Kelanjutannya gimana ya kira-kiraSincerely Yours,
Diffean
KAMU SEDANG MEMBACA
Incredible Feeling
Подростковая литератураMenurut rumor yang beredar, anak tetangga sebelah rumahku psikopat. Ada juga yang bilang, dia si pengedar narkoba yang anti sosial. Lebih parahnya lagi, sewaktu kami masih taman kanak-kanak, ia pernah digosipkan seorang vampir haus darah oleh imajin...