Chapter 27

9K 1.3K 91
                                    

Sial.

Sudah lebih dari empat jam mataku hanya terpejam tetapi enggan terlalap. Padahal, tidak ada suara bising musik hard rock Demitrio maupun hal yang mengganggu lainnya.
Akan tetapi, kesadaranku masih terisi penuh. Benakku dipenuhi putaran kilas balik potongan percakapan Demitrio, Ryan, dan Om Andy. Alasan utamaku terkena insomnia.

Aku menghela napas panjang. Bangkit dari tempat tidur, lalu beranjak mengambil segelas air mineral di dapur. Berharap segelas air mineral tersebut mampu membantuku cepat terlelap ke alam bawah sadar.

Namun, aku yang baru pertama kali di rumah ini, tidak mengetahui di mana letak dapur berada. Mataku celingak-celinguk mencari petunjuk. Di tengah redupnya pencahayaan ketika larut malam, aku jadi tidak menyadari kehadiran seseorang yang sedari tadi berdiri di belakangku.

"Ngapain lo?"

Aku terlonjak, nyaris berteriak. Dengan sigap, kubalikkan badan ke arah datangnya suara bariton tersebut terdengar

Sesosok pria dengan wajah putih pucat, rambut hitam pekat berantakan, serta alis tebal bak ulat bulu bertaut menyaksikan kehadiranku. Hoodie putih kebesaran yang ia gunakan membuat suasana jadi semakin horor.

Aku refleks mendengus malas ketika mengetahui identitas sosok tersebut. "Ngagetin aja, sih, lo," komentarku seraya mendengus sebal.

Sebagai respon, ia hanya terkekeh kecil. "Lagian lo juga, udah tau sekarang jam dua malem, eh malah keluyuran sendiri," balas Demitrio sambil melanjutkan langkah.
"Kalo gue 'kan maklum, biasanya juga gue di atas jam dua belas malem selalu nyetel musik hard rock."

Aku mencibir. Tetapi, mengekori langkahnya. "Sialan lo! Gara-gara kebiasaan absurd lo itu gue selalu uring-uringan sama Bang Aksa, tau, rebutan masalah kamar."

Tawa Demitrio kontan meledak mendengar pengakuanku. Tawa renyah yang jarang ia tunjukkan ketika bersama orang asing. Entah kenapa, pipiku bersemu menyadari fakta aku bukanlah orang asing di hidup cowok misterius itu. "Tapi, bentar lagi lo nggak bakal berantem lagi sama Bang Aksa, loh, masalah musik hard rock gue. Berani jamin, deh."

"Maksud lo?" Dahiku bergelombang. Menuntut penjelasaan. "Lo mau tobat dengan nggak nyetel musik kenceng-kenceng lagi?"

Demitrio menampilkan seulas senyum asimetris. Sorot matanya berubah sedu. Ada sesuatu dari dalam dirinya yang tak mampu kuketahui.

"Eh, by the way lo mau ke mana ngikutin gue?"

Aku refleks menghentikan langkah. "Dapur. Dapurnya ada di mana, ya?"

"Oh, sama berarti, gue juga mau ke sana bikin mi instan."

"Makanan lo mi instan mulu, ye," cibirku sambil menyeringai jahil.

"Dalam hidup, kita sudah memilih racun masing-masing, Ron. Kalau fuck boy di luar sana milih racunnya rokok, yaudah gue mi instan."

Kutoyor pelan kepala Demitrio tatkala kami berdua sampai di dapur. Pemuda itu hanya terkekeh tapi tidak membalas. Dia segera memelesat ke pantry mengambil satu buah mi instan.

"Mau mi instan juga, Ron?" tanyanya sambil merebus air.

Aku menggeleng lirih, mengambil segelas air mineral dari lemari pendingin lalu meneguknya hingga tandas.

"Lo kenapa belum tidur-tidur?" Demitrio menghentikan aktivitasnya sejenak, ia menoleh menatapku intens.

Hal yang sedari tadi menganggu pikiranku, akhirnya kuutarakan juga. "Lo ... mau pindah ke Solo?" Aku menggigit bibir bagian bawah kuat-kuat, ragu menantikan jawabannya.

Tolong, katakan jika ia akan bilang tidak.

Aku tidak siap dengan perayaan perpisahan.

Demitrio seketika menunduk, menghindari tatapan mataku. Pemuda itu bergeming sambil menautkan jemarinya.

"Apa bener, Dem?" desakku merasa penasaran. Kristal bening menggenang di kelopak mataku tanpa bisa dicegah. Pandanganku seketika buram. Sekali saja berkedip, air mataku dipastikan tumpah ruah.

"Dem, gue udah denger percakapan lo sama Om Andy dan Rian," bisikku dengan tangis tertahan.

Demitrio menghela napas berat.  Ia mengacak rambutnya putus asa. Sorot matanya memancarkan kekalutan yang luar biasa.
"Maaf."

Hanya itu yang ia iucapkan. Aku tak habis pikir.

"Gue nggak ngerti maksud lo," kataku sambil menggeleng pelan. Air mataku lolos dari benteng pertahanan tanpa bisa dicegah, tetapi segera kuseka karena ingin terlihat baik-baik saja.

"Memang, kemarin gue bilang ke elo belum siap. Tapi, setelah dipikir ulang, mau nggak mau gue harus siap." Demitrio mematikan kompor teringat air rebusannya telah mendidih. Pemuda itu kemudian beranjak ke arahku, lalu mendekapku erat dalam pelukannya. "Ron ... capek kucing-kucingan terus sama masa lalu. Gue nggak mau hal serupa yang terjadi kepada nyokap, terulang kembali sama bokap dan Ryan. Gue harus bisa mengurangi keegoisan diri sendiri."

Tangisku meledak ketika berada di dalam pelukannya. Peduli setan dengan terlihat baik-baik saja. Aku sedang sangat tidak baik-baik saja. Ketakutan akan sebuah perpisahan membuat pikiranku menerawang liar.

"Nggak usah nangis, Sharon. Kita masih berteman, kok." Demitrio berbisik lirih tepat di indra pendengaranku. Tangan kanannya mengudara untuk mengelus puncak kepalaku lembut, seakan memberi suntikan semangat. "Lagipula, gue sama siapa di Jakarta? Nenek Maar udah meninggal. Ini juga keputusan yang berat. Gue nggak mau ninggalin Jakarta, tapi di sisi lain, gue juga capek kucing-kucingan sama masa lalu."

Di sela isak tangis, aku menyoal. "Kapan lo mulai pindah ke Solo?"

"Secepatnya. Kemungkinan ... besok."

"Kenapa terlalu mendadak?" Aku menengadah, kedua alisku bertaut, sementara bibirku mencebik kesal.

"Maaf. Gue baru cerita. Sebenernya, sejak Nenek Maar meninggal, gue diajak bokap sama Ryan tinggal di sini. Lo tau alasan gue nggak masuk setelah kepergian Nenek Maar? Karena gue diem-diem pergi ke Solo, Sharon."

Kedua mataku sontak terbeliak. Pantas saja aku tidak mendengar suara musik hard rock-nya di jam 12 malam.  Kini, semua benang merah di kepalaku terjawab pula.

"Tapi, gue bingung harus cerita gimana sama lo. Gue takut bikin lo sedih, Sharon," sahut Demitrio seraya menyeka air mataku dengan telapak tangannya. "Mangkannya, gue ngajak lo ke Museum Sangiran dan menyusun skenario seolah-olah tanpa disengaja kita ketemu bokap sama Ryan. Tetapi realitanya nggak. Gue yang nyusun semua itu. Gue berharap ... sebelum pindah ke Solo, lo tahu alasan yang sebenarnya dengan jelas. Dengan begitu, perpisahan kita nggak begitu menyedihkan."

Seketika, tangisku kian menderu memecah kesunyian. Malam itu menjadi saksi bisu kekalutan kami berdua.

***

a/n

Maaf feelnya gak dapet :(
Aku emang paling noob deh bikin sad sad begini 😭

Regards,
Diffean

Incredible FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang