Minggu pagi di akhir bulan, berbeda dari minggu-minggu sebelumnya. Kata Ibu, Bapak akan datang hari ini jam delapan pagi setelah tiga bulan dinas di Magelang, Jawa Tengah.
Aku bangun tepat ketika fajar mulai menyingsing di cakrawala. Alasannya satu, aku hendak membantu Ibu menyambut kedatangan Bapak. Sambil mengumpulkan nyawa, kutarik gorden kamar, menampakkan sebuah jendela yang terbuka lebar. Kamar Demitrio terlihat sedikit jelas dari sini. Ruangan bercat abu-abu gelap itu menarik atmosferku.
Saat kutilik lebih dalam, ada sang empunya kamar berdiri membelakangiku di sana. Dalam balutan kaos biru langit, kedua tangannya saling bertaut di wajah dengan bahu naik-turun. Hal serupa seperti yang kulihat di gudang sekolah dekat klub Silat.
"Sharon, buruan turun." Ibu menyahut dari luar kamar, meski aku penasaran dengan apa yang diperbuat Demitrio, aku tetap turun menuruti perintah Ibu.
Kami berdua menuruni anak tangga tangga menuju dapur, hendak membuat brownis coklat kesukaan Bapak untuk kejutan kecil-kecilan kepulangan beliau.
Sambil mengocok telur, aku memanggil Ibu. Selayaknya orang normal lain ketika disapa, Ibu menoleh sembari satu tangannya menakar tepung terigu.
"Bu, Dedemit jadi temen sekelasku. Selama enam belas tahun aku hidup, baru kali ini ketemu dia langsung."
Dahi Ibu kontan bergelombang. "Dedemit siapa? Setan?"
"Bukan, Demitrio, siapa lagi?" Aku menunggu reaksi Ibu. Tetapi, beliau kelihatannya masih datar-datar saja. Maka, aku pun melanjutkan. "Demitrio jadi temen sekelasku, Bu. Dia sekolah di SMA Pelita 2, parahnya dia teman sebangkuku!"
Jauh di luar ekspetasiku, Ibu justru bersorak girang. Sangat berbanding terbalik dengan Bang Aksa yang syok berat, mata Ibu berbinar-binar.
"Wah! Kabar bagus. Kalo gitu, harus dirayakan, Ron."
Rahangku nyaris jatuh tatkala mendengar ide gila Ibu. Mataku terbeliak sempurna dengan pandangan protes. "Loh? Kenapa harus dirayain segala? Sikap Demitrio aneh banget, Bu. Dia nggak pernah sosialisasi sama teman sekelas yang lain. Kalo istirahat, hobinya di gudang sekolah. Nyebat, kali," cibirku seraya memindahkan kocokan telur ke pantry.
"Heh, nggak boleh ngomong, gitu. Kamu aja yang belum mengenal Demitrio."
Aku menyesal telah membahas Demitrio sekarang.
"Bapak nanti sampe di rumah jam berapa, Bu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Ibu tiba-tiba menoleh, senyuman kalemnya terukir samar. "Sharon, karena kamu udah jadi temen sebangkunya Demitrio, nanti kasih brownis coklatnya, ya, kalau sudah jadi. Anterin ke rumah nenek Maar."
Bibirku kontan mengerucut. Bola mataku berpendar ingin protes, menyebalkan. Yang benar saja aku harus mampir ke rumah Demitrio?
Seumur-umur, aku tidak pernah berkunjung ke rumah bertingkat dua dengan pagar berkarat serta hiasan tanaman layu di samping rumahnya. Lalu, untuk kali pertama, aku harus berkunjung ke sana sambil membawa brownis? Mimpi buruk.
***
"Permisi, assalamualaikum," ujarku seraya mengetuk-ketuk pagar rumah nomer 19.
Akan tetapi, tidak ada
tanda-tanda sang Pemilik Rumah akan keluar membukakan pintu."Permisi." Sekali lagi, tidak terdengar jawaban.
Kupilin tali tempat brownis kukus coklat yang mengantung di tangan. Alih-alih gugup, aku justru takut. Sekilas, bangunan ini seperti rumah horor yang tak terawat.
Ketika badanku mulai berpindah haluan, kakiku menarik langkah untuk beranjak pulang, terdengar sahutan seseorang dari dalam. Samar-samar, indra pendengaranku menangkap 'sebentar, ya'.
Tidak lama kemudian, munculah seorang nenek tua yang duduk di atas kursi roda. Badannya terlihat ringkih, kerutan halus di wajah dan tangannya menandakan usianya sudah tak lagi muda, seluruh rambutnya nyaris memutih. Untuk sesaat, aku menegang.
Nenek tersebut melemparkan seulas senyum ramah kepadaku, dengan langkah yang tertatih-tatih mengenakan kursi roda, ia membukakan pagar sembari menyuruhku masuk ke dalam.
Aku membeku di tempat, merasakan ledakan emosi menyerbu batinku.
"Sharon, mampir dulu, yuk."
Nenek Maar ternyata ramah sekali. Beliau mengetahui namaku pula. Padahal ekspetasiku selama ini, Nenek Maar adalah sosok nenek-nenek tua yang menyebalkan, cerewet, judes, dan mengerikan bak nenek sihir.
Tanpa mengikis senyum ramah di bibirnya, beliau menuntutku hingga ke ruang tamu. "Duduk dulu, Ron, mau minum apa?"
Aku menggeleng cepat, sejurus kemudiam menampilkan seulas senyum kikuk. "Nggak usah repot-repot, Nek, aku cuma mau ngasih ini aja, kok," kataku canggung seraya menyerahkan brownis kukus coklat tersebut.
"Makasi, Ron. Bilang juga sama Ibumu makasi." Nenek Maar menerima bingkisan tersebut tanpa melunturkan senyum lebarnya. "Maaf, ya, tadi lama. Demitrio lagi nggak ada di rumah soalnya, biasanya dia yang bukain."
Alisku kontan berkedut. "Demitrio nggak ada di rumah?" Kepalaku mengedar ke sepenjuru ruangan, bangunan lembap dengan cat tembok putih susu terkelupas itu tampak sunyi.
"Iya, barusan aja keluar, ke psikater."
Rahangku seolah jatuh, tatapanku mengerling Nenek Maar tidak percaya. "Kenapa ke psikater?"
"Kamu bisa jaga rahasia?" Setelah memastikan keadaan di ruangan aman, Nenek Maar menggeser kursi rodanya mendekat ke sisiku. "Sedari kecil, Demitrio mengalami gangguan bersosialisasi. Hal tersebut menjadikan ia sebagai sosok yang anti-sosial, merasa terancam dengan lingkungan sekitar, dan menutup diri. Nenek sedih liat kondisi Demitrio seperti itu."
Tiba-tiba, hatiku sedikit terenyuh. Aku mampu mengorek sekelumit informasi seputar Demitrio.
Sejak saat itu, harusnya aku sadar, semesta sedang mempermainkanku.***
a/n
Huaaa akhirnya bisa update lagi huhu.
Semoga terhiburSincerely Yours,
Diffean

KAMU SEDANG MEMBACA
Incredible Feeling
Novela JuvenilMenurut rumor yang beredar, anak tetangga sebelah rumahku psikopat. Ada juga yang bilang, dia si pengedar narkoba yang anti sosial. Lebih parahnya lagi, sewaktu kami masih taman kanak-kanak, ia pernah digosipkan seorang vampir haus darah oleh imajin...