Sepanjang perjalanan pulang menuju Jakarta, kami hanya saling bungkam. Aku lebih memilih membuang wajah ke arah jendela kaca mobil daripada bertatap muka dengan Demitrio. Kekalutan akan kepergian pemuda tersebut menghantui pikiranku sedari tadi.
Kutopang dagu sambil menghela napas berat. Putaran kilas balik tentang penjelasaan Om Andy dan Ryan di meja makan sebelum berangkat terngiang di kepalaku.
"Maaf, ya, Sharon. Om belum bercerita sama kamu sepenuhnya. Itu semua atas kehendak Demitrio."
"Ron, rumah ini terbuka lebar buat lo. Lo boleh banget main-main ke sini. Atau nanti kita yang berkunjung ke rumah lo."
Sebuah tepukan pelan mengkagetkanku dari lamunan panjang. Aku refleks menoleh, mendapati sepasang mata coklat madu yang sedang memerhatikanku serius.
"Sharon, lo nggak perlu sedih. Kita pernah punya kenangan bahagia, kan? Lo inget bagian itu aja. Jangan yang lain." Seulas senyum tulus terpatri sempurna di bibir lawan bicaraku.
Aku berdecak sebal. "Jadi, ini jawaban atas sikap dan pernyataan ganjil lo sewaktu kita trip ke Sangiran?"
"Ron...." Suara Demitrio terdengar memohon.
Namun, aku tak mengacuhkannya. Mengendikkan bahu singkat, kulemparkan pandangan ke sembarang arah selain manik mata lawan bicaraku.
Aku berusaha membendung benteng pertahanan. Sudah cukup menangis kemarin malam. Tidak lagi hari ini.
***
Apakah sikapku egois?
Aku tak mau kehilangan teman satu-satunya di kelas. Siapa yang akan menjadi teman sebangkuku nanti?
Tapi, di sisi lain aku juga enggan membiarkan Demitrio terus menerus tenggelam dalam masa lalunya.
Kenapa aku ini labil sekali, sih.
Dulu, aku menjadi orang yang paling bersemangat membantu Demitrio terbebas dari masa lalu setelah Bu Anies. Bahkan, hingga terlalu mencampuri urusannya dengan menghubungi Demitryan.
Akan tetapi, ketika perlahan luka di pemuda tersebut mulai mengering, ia membuka diri, lalu memilih pergi ... kenapa aku jadi tidak rela?
Seperti ada sesuatu hilang.
Karena terlalu larut memikirkan perpisahan dengan Demitrio, aku jadi mengantuk. Kusandar kepala pada jendela mobil. Lalu, mulai memejamkan mata.
Samar-samar, ketika kesadaranku perlahan menghilang, kurasakan gerakan seseorang sedang membelai rambutku lembut.
Nyaman.
Satu kata yang mampu menggambarkan semuanya.
Indra pendengaranku menangkap suara bariton berbisik setelah itu. "Maaf, kalo keputusan gue ngebuat lo kecewa. Makasi juga udah jadi temen pertama gue. Gue sayang sama lo, Sharon."
***
Sesampainya di rumah, aku langsung mengurung diri di kamar. Ibu menanyakan bagaimana liburanku di Sanggiran. Akan tetapi, aku enggan menjawab. Mood-ku terlalu buruk untuk menjawab pertanyaan beliau.
Tiba-tiba, perkataan Demitrio ketika aku hampir terlalap di perjalanan pulang menciptakan kilas balik.
Maaf, kalo keputusan gue udah buat lo kecewa. Makasi juga udah jadi temen pertama gue. Gue sayang sama lo, Sharon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incredible Feeling
أدب المراهقينMenurut rumor yang beredar, anak tetangga sebelah rumahku psikopat. Ada juga yang bilang, dia si pengedar narkoba yang anti sosial. Lebih parahnya lagi, sewaktu kami masih taman kanak-kanak, ia pernah digosipkan seorang vampir haus darah oleh imajin...