Masih teringat jelas di benakku, ketika seorang pria berjas hitam berjalan tergesa menghampiri Demitrio. Satu langkah di belakangnya disusul pemuda---yang sepertinya---seusia dengan kami menunduk dalam tak berani menatap sorot mata tajam Demitrio, ada kebencian terpancar di sana.
Untuk kali pertama, aku melihat Demitrio se-emosional itu. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal, giginya bergemelatuk menahan amarah. Sekali sentakan, ia menarik tanganku, pria berjas hitam tersebut pun refleks memanggil namanya.
"Rio!"
Merasa tak digubris, sosok tersebut pun mempercepat langkah. "Rio, tunggu kami. Ryan juga mau ngobrol sama kamu."
Seketika, ingatanku dilempar pada potongan kejadian ketika Demitrio tidak sukanya namanya disebut Rio.
Apa ini memiliki keterkaitan?
"Di sini dulu, ya."
Sontak, aku terkesiap. Lamunanku buyar dalam hitungan detik. Serta-merta, aku memutar pandangan ke arah cowok bermata teduh yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Tepat di sampingku.
Ribuan pertanyaan menyergap batinku dalam hitungan detik. Menciptakan pertanyaan besar yang berputar-putar di kepalaku. "Kenapa nggak mau nemuin orang tadi? Itu siapa? Bokap lo?"
Demitrio berdecak. "Iya."
Saat itu juga, aku baru sadar, kalau selama ini Demitrio tak pernah menceritakan anggota keluarganya yang lain kecuali ibunya dan Nenek Maar. Aku merasa ... ada rahasia kecil yang ia sembunyikan.
"Kok kabur?"
"Belum saatnya lo tau, Ron."
***
Tanpa sengaja, aku berpapasan dengan Bu Anies di koridor kelas XII. Ada yang berbeda dari guru honorer tersebut. Mulai dari lingkaran hitam di bawah kelopak matanya, wajah kusut kurang tidur, hingga mata bengkak yang sangat kentara.
Bu Anies tampak ragu-ragu menghentikan langkahku, wanita paruh baya itu mengigit bibir bagian wajahnya gamang sebelum memutuskan.
"Sharon," sapanya, lirih.
Aku refleks mengerling. "Iya? Ada apa, Bu?"
Dengan wajah ragu yang mendominasi, beliau mengajakku menepi di ujung koridor. Mencari tempat sepi yang jarang dijamah siswa lain. Aku menantikan kalimat pertama yang diucapkan Bu Anies seraya memilin dasi sekolah secara asal.
"Sharon, percaya enggak kalau Ibu bilang kamu satu-satunya orang yang deket sama Demitrio? Kalau kamu berhasil masuk ke lingkaran pertemanan Demitrio?"
Terjadi hening yang cukup panjang. Lisanku menimbang-nimbang respon apa yang hendak kuutarakan. Kalau boleh jujur, aku tidak pernah menyangka akan sedekat ini dengan tetangga sebelah rumahku yang amat misterius. Berteman dengan Demitrio mengajarkanku satu hal jika pribahasa don't judge a book by is cover memang ada benarnya.
"Sepertinya."
Bu Anies menggengam erat tanganku, lalu menatapku dengan sorot penuh harap. "Ibu sangat berharap sama kamu, Sharon. Bantu Demitrio keluar dari masalahnya. Ajak dia berdamai dengan masa lalunya."
"Dengan cara?" tanyaku seraya memilin bibir ke bagian dalam. "Apa saya tidak terlalu mencampuri urusan Demitrio, Bu?"
Bu Anies menggeleng tegas. Beliau mengambil sesuatu berkelir putih dari saku kemejanya. "Mulai dari hal yang simpel, Ron. Bujuk Demitrio ikut lomba Sejarah. Kamu tahu 'kan seberapa tergila-gilanya cowok itu dengan Sejarah? Tapi, Demitrio seringkali menolak karena dia takut akan bertemu Ryan di sana. Dia menghindari Ryan dan Ayahnya."
Kejadian di rumah sakit kala itu memicu kepingan ingatanku. "Ryan siapa?'
Sambil menghela napas panjang, Bu Anies mulai bercerita.
"Demitrio mempunyai kakak laki-laki, namanya Demitryan. Mereka memiliki banyak sekali kesamaaan meskipun secara fisik berbeda. Baik Rio maupun Ryan, mereka berdua sama-sama penggila Sejarah. Dulunya, mereka akrab sekali, Sharon, akan tetapi semenjak kedua orangtua mereka memutuskan bercerai ketika Demitrio berumur lima tahun, hubungan kakak beradik itu tidak lagi sama."
"Memang sedari dulu, hubungan Mama dan Papa Demitrio tidak pernah akur, Ron. Mereka selalu saja bertengkar. Terkadang, saling membanting barang-barang. Hal tersebut tentu menganggu kondisi psikologis Demitrio saat itu. Apalagi, melihat kedua orangtua teman-temannya yang akur, membuat ia minder dan menjadi objek bullyan serta kekerasan verbal. Tekanan batin ditambah lagi rasa kepercayaan dirinya yang anjlok menjadikan Demitrio seperti itu hingga beranjak remaja."
"Ia benci Ryan yang memilih tinggal bersama papanya. Ia benci papanya yang menikah lagi dengan perempuan selain mamanya. Dia nggak rela dengan semua kemungkinan itu. Keluarganya tercerai berai. Papana menikah lagi, mamanya menikah lagi, Ryan menurut pada papanya. Ia tidak suka hingga pada akhirnya memilih tinggal bersama Nenek Maar lalu menjadi tetanggamu, Ron."
"Tapi di balik rasa tidak sukanya, dia sebenarnya sangat menyayangi papa dan Ryan. Hanya saja, ia perlu waktu untuk sedikit berbincang dan membuka diri."
Hatiku terenyuh mendengar kisah kelam Demitrio dari Bu Anies. Apa itu penyebab sorot luka yang biasa kujumpai ketika menatapnya?
"Kamu tahu juga nggak, Ron, kalau alasan Demitrio menyetel lagu rock setiap jam dua belas malam itu apa?"
Sontak, aku mengggeleng.
"Menutupi luka-lukanya," ujar Bu Anies seraya mengulas senyum hambar. "Dulu, papa dan mamanya adu mulut saling bentak dengan nada tinggi setiap jam dua belas malam. Ia benci suara-suara itu. Lalu, ia mulai mengenal genre musik rock saat tidak sengaja melewati toko CD sepulang sekolah, sejak saat itu Rio jatuh cinta dan menjadikan lagu tersebut untuk mensamarkan cekcok sengit kedua orangtuanya. Informasi itu saya dapatkan dari psikater yang biasa menemani Demitrio. Kamu tahu juga tidak kenapa baru kali ini Demitrio bersekolah dan membuka diri dengan lingkungan luar padahal sebelumnya ia homeschooling?
"Tidak. Kenapa?"
"Karena bujukan dari Nenek Maar dan dukungan Sofia---psikater Demitrio."
Kutatap Bu Anies lamat-lamat sembari memantapkan diri sebelum berucap, "Apa yang bisa saya lakukan, Bu?"
"Bantu Demitrio keluar dari masa lalunya, buat dia lebih terbuka pada lingkungan sekitar. Saya yakin, kamu bisa."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Incredible Feeling
Teen FictionMenurut rumor yang beredar, anak tetangga sebelah rumahku psikopat. Ada juga yang bilang, dia si pengedar narkoba yang anti sosial. Lebih parahnya lagi, sewaktu kami masih taman kanak-kanak, ia pernah digosipkan seorang vampir haus darah oleh imajin...